Swasembada daging sapi telah direncanakan sejak tahun 2000 tetapi belum bisa terealisasi hingga tahun 2014. Pada tahun 2010, ditetapkan lima program utama program swasembada daging sapi tahun 2014 yaitu penyediaan bakalan sapi, peningkatan produktivitas dan reproduktivitas ternak sapi lokal, pencegahan pemotongan sapi betina produktif, penyediaan bibit sapi, dan pengaturan stok daging sapi dalam negeri.
Prof. Ir. Zaenal Bachrudin, M.Sc mengatakan program percepatan swasembada daging yang dilihat dari kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman yang dimiliki Indonesia. Kekuatan yang dimiliki Indonesia antara lain posisinya yang berada di garis khatulistiwa, produksi komoditi pertanian yang beraneka ragam, dan sumber tenaga kerja yang melimpah.
“Kelemahan yang dimiliki Indonesia adalah sistem data nasional yang belum maksimal dan produksi yang didominasi oleh produk primer. Sementara itu, beberapa peluang ada untuk Indonesia antara lain komoditas pertanian Indonesia yang dibutuhkan pasar dunia umumny sudah dikenal pasar, meningkatnya kebutuhan dunia akan komoditi pangan dan bio fuel, serta tren konsumen untuk kembali ke “natural products”,” jelas Zaenal.
Di sisi lain Dekan Fakultas Peternakan UGM, Prof. Dr. Ir. Ali Agus, DAA., DEA mengatakan salah satu solusi mengatasi ‘simalakama’ daging sapi ini, yaitu pemerintah harus menemukan titik keseimbangan ideal antara suplai dan demand daging sapi. Beberapa langkah yang bisa ditempuh antara lain mengevaluasi dan menetapkan angka kuota impor sapi dan daging sapi setiap triwulan pada tahun berjalan dengan melibatkan para pihak terkait.
“Dalam jangka pendek perlu duduk bersama para stakeholders terkait perdagingan sapi (pengusaha, pedagang, peneliti-akademisi, peternak) untuk merumuskan dan menentukan kembali titik keseimbangan suplai dan demand daging sapi di dalam negeri dengan dilandasi semangat kejujuran dan keterbukaan,”pungkas Ali
Solusi Swasembada : Pembibitan Ternak Benahi Dulu
Belum adanya langkah kongkrit menyangkut pembibitan sapi menjadikan salahsatu titik lemah dari swasembada daging di indoneis, hal ini diakui oleh Direktur Jenderal Peternakan Deptan Tjeppy D Soedjana. Menurutnya usaha pembibitan sapi di Indonesia, belum ada. Yang ada adalah usaha sambilan dari usaha penggemukan sapi berhubung usaha pembibitan sapi memerlukan biaya besar dan untung terlalu kecil. "Jadi sapi-sapi yang mau digemukkan untuk dipotong yang betina diseleksi, lalu yang alat produksinya masih bagus diinseminasi buatan sehingga sebelum dipotong sudah ada anaknya lahir, lalu anak ini diseleksi lagi," katanya.
Sementara itu, Dewan Pakar Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia (Apfindo) Rochadi Tawaf, menilai bahwa pencapaian swasembada daging bukan semata tugas dan tanggung jawab Deptan melainkan diperlukan keterlibatan sektor lain, seperti Departemen Ke-uangan, pertanahan, pemerintah daerah, serta semua pihak yang terlibat terkait gizi dan protein.
Peneliti Indonesia Research Strategic Analisys (IRSA) Siti Adiprigandari menilai pembukaan keran impor daging sebesar-besarnya, membuat peternakan rakyat, termasuk industri penggemukan sapi potong, akan semakin tertekan. Sebab, mereka harus bersaing untuk memperoleh pasar di negeri sendiri.
SWASEMBADA DAGING : AKAR MASALAH DAN SOLUSINYA
Sejak lebih dari enam bulan terakhir ini, tepatnya pascalebaran tahun lalu, harga daging sapi merangkak naik dari Rp. 60.000/kg dan puncaknya hingga minggu ini mencapai lebih dari Rp. 90.000/kg yang merupakan harga tertinggi di dunia (rata-rata 38-72 ribu rupiah/kg, Kompas, 4/2/2013).
Tingginya harga daging sapi ini juga memberikan dampak pada praktek bisnis kotor yang dilakukan oleh oknum tertentu, yaitu beredarnya daging sapi glonggongan. Praktek bisnis dengan memaksa memberi air minum sapi (dipompa melalui mulut) hingga 100 liter/ekor sampai sapi ‘teler’ gemetar dan pingsan sebelum dipotong, demi mengeruk keuntungan. Dapat dihitung berapa keuntungan yang diperoleh jika air yang terikut dalam daging misalnya separuhnya saja (50 kg) berarti ada potensi keuntungan 3,5 - 4 juta rupiah/ekor.
Oleh karena praktek kotor bisnis daging sapi yang tidak memperhitungkan peri-kehewanan ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah mengeluarkan fatwa haram mengkonsumsi daging sapi glonggongan. Para pedagang bakso, konsumen mayoritas daging sapi di Indonesia, juga harus ‘berkreasi’ agar dapat bertahan dengan berbagai cara, misalnya substitusi daging sapi dengan daging lain (ayam, jerohan) bahkan ada yang nekat mencampurnya dengan daging babi yang sempat menghebohkan. Jadi dampak negatif tingginya harga daging sapi ini juga sampai pada moral hazard yang sangat merugikan konsumen.
Apa akar masalah dari tingginya harga daging sapi ? Tentu banyak pendekatan dan hasil analisis yang dapat menjelaskan akar masalahnya. Namun, hampir pasti kenyataan bahwa tidak seimbangnya antara suplai dan permintaan daging sapi menjadi menyebab utamanya. Kelangkaan ketersediaan barang akan menyebabkan tingginya harga. Jumlah penduduk Indonesia saat ini kurang lebih 240 juta jiwa. Rata-rata konsumsi daging sapi nasional per tahunnya berkisar 450 ribu ton. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk di atas berarti konsumsi masyarakat kita kurang dari 2 kg/kapita/tahun. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, pasokan daging sapi dipenuhi dari produksi dalam negeri dan dari luar negeri. Diperkirakan 70 % dipenuhi dari dalam negeri dan 30 % dari impor khususnya dari Australia.
Sejak tahun 1990, Indonesia mulai mengimpor sapi hidup dari Australia. Pada tahun 1990, impor sapi 8.061 ekor namun pada tahun-tahun berikutnya tumbuh dan berkembang sangat pesat bahkan secara eksponensial dengan rata-rata 2 kali lipat per tahun dan pada tahun 1997 mencapai 428.077 ekor atau naik 53 kali lipat, dan puncaknya pada tahun 2009 impor sapi hidup dari Australia mencapai 772.868 ekor yang merupakan rekor tertinggi sepanjang 20 tahun sejak 1990 (MLA, 2010). Apabila ditambah dengan nilai impor daging beku dan jerohan yang mencapai 110 ribu ton atau senilai 2,5 triliun (Statistik Peternakan, 2010), maka total nilai impor daging beku dan sapi hidup tahun 2009 mencapai 7,3 triliun rupiah. Akibat impor yang nampaknya sangat berlebihan inilah penyebab anjlok dan terpuruknya peternakan sapi lokal pada tahun 2009. Oleh karena itu dapat dipahami jika pemerintah bertekad untuk mengembangkan sapi agar tercapai swasembada daging sapi pada tahun 2014, salah satunya dengan cara mengendalikan impor daging sapi dan sapi hidup secara bertahap. Diakui atau tidak, kebijakan pemerintah khususnya pengaturan impor akan sangat memengaruhi suplai dan harga daging sapi di dalam negeri. Jika pada tahun 2009 terjadi over supply karena berlebihnya importasi, kondisi saat ini mungkin sebaliknya, yaitu terlalu terbatasnya suplai sehingga harga melambung.
Ketidak seimbangan supply-demand inilah yang menurut saya akar masalah dari melambungnya harga daging sapi. Dalam hal ini dapat dikatakan gagalnya peran pemerintah dalam menjaga dan mengatur keseimbangansupply-demand daging sapi. Mengapa hal ini bisa terjadi ? Ada beberapa kemungkinan yaitu asumsi yang tidak akurat terhadap prediksi potensi produksi daging sapi dalam negeri sehingga over estimate, atau terlalu rendahnya kuota impor atau kedua asumsi tersebut tidak akurat. Faktanya mencari sapi lokal tidak mudah dan tidak adanya stok yang siap untuk dipotong dan harganyapun juga tinggi. Tidak bermaksud menggugat akurasi data populasi sapi hasil sensus sapi yang menemukan angka populasi sapi mencapai 14,8 juta ekor, yang secara teori cukup memenuhi kebutuhan daging sapi dalam negeri. Namun perlu diperhatikan bahwa keberadaan sapi tersebut tersebar luas di seluruh pelosok Indonesia ini, sehingga mobilisasi ke pusat-pusat permintaan daging sapi menjadi tidak mudah. Disamping itu mayoritas (90%) ternak sapi dipelihara oleh para peternak rakyat dengan modus usaha sambilan, sehingga sapi dijual ketika peternak membutuhkan uang. Jika mereka tidak membutuhkan uang, sapi tidak akan dijual. Fakta ini dapat dilihat di pasar-pasar hewan yang relatif sepi pada musim tertentu (awal musim tanam) dan melimpah pada kurun waktu tertentu seperti tahun ajaran baru saat anak masuk sekolah. Inilah ‘simalakama’ dan dilema per-sapi-an di Indonesia.
Satu-satunya solusi mengatasi ‘simalakama’ daging sapi ini adalah pemerintah harus menemukan titik keseimbangan ideal antara supply dan demand daging sapi. Langkah yang sebaiknya dilakukan adalah :
1. Dalam jangka pendek ini, duduk bersama para stakeholders terkait perdagingan sapi (pengusaha, pedagang, peneliti-akademisi, peternak) untuk merumuskan dan menentukan kembali titik keseimbangan supply dan demand daging sapi di dalam negeri dengan dilandasi semangat kejujurandan keterbukaan.
2. Mengevaluasi dan menetapkan angka kuota impor sapi dan daging sapi setiap triwulan pada tahun berjalan dengan melibatkan para pihak terkait.
3. Bersungguh-sungguh (berjihad) dalam mengembangkan industri peternakan sapi di Indonesia melalui berbagai instrumen kebijakan yang memihak kepentingan nasional, mencapai program swasembada daging sapi tahun 2030 (bukan 2014).
Di saat kita berbicara tentang swasembada terutama swasembada daging sapi, ternyata masalahnya kompleks dan ini menjadi Pe Er kita bersama bukan???.
Referensi : di olah dari berbagai sumber .
a. http://ditjennak.deptan.go.id
b .ttp://udayrayana.blogspot.com
c. http://fapet.ugm.ac.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar