Hasil penelitian Syamsul A Siradz dan Siti Kabirun, mahasiswa Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, pada 2003 menyebutkan, lahan pasir pantai DIY yang luasnya mencapai 13.000 hektar memang miskin unsur hara. Di Kulon Progo luas lahan pasir mencapai 4.434 ha.
Kandungan hara lahan pasir hanya terbatas pada fosfor yang jumlahnya sangat sedikit (5,1-20,5 ppm). Sementara itu, bahan-bahan organik lain hanya 0,4-0,8 persen, natrium 0,05-0,08 persen, dan kalium 0,09-0,2 persen.
Temperatur permukaan lahan pasir juga amat tinggi, rata-rata di atas 30 derajat celsius. Embusan angin kencang juga mendukung penguapan air di pantai. Karakter lahan semacam ini sangat tidak menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman.
pertengahan 1985, Sukarman, pemuda Desa Bugel, Panjatan, itu tak sengaja menemukan cara mengolah lahan itu.
Kotoran sapi
Ditemui di kediamannya, Jumat (26/3), Sukarman menceritakan, pengetahuan itu didapat dari hasil mengamati sejumlah batang tanaman cabai merah yang hidup di atas kotoran sapi kering bercampur pasir pantai. ”Dari situ saya berpikir untuk mencoba menanam cabai di atas lahan pasir,” ujarnya.
Eksperimen perdana dilakukan dengan menanam bibit cabai di atas lahan pasir seluas 200 meter. Ladang garapan Sukarman berjarak sekitar 50 meter dari bibir pantai.
Sebelum menanam, alumni Akademi Perindustrian Yogyakarta ini mencampur pasir dengan kotoran sapi. Tanaman cabai dapat tumbuh, tetapi banyak juga yang layu akibat kekurangan air. Setiap hari Sukarman harus menggotong air tawar dari sumur di desa.
”Sekali waktu saya lelah menggotong air, lalu iseng menggali pasir. Ternyata saya mendapatkan air. Sampai kedalaman sekitar 3 meter, air seperti memancar,” kenangnya.
Air dari resapan Sungai Progo tersebut kemudian dialirkan Sukarman ke dalam bak-bak penampungan berbentuk buis (lingkaran) dari bahan cor semen-cikal bakal irigasi ”sumur renteng”.
Sukarman hanya butuh waktu 3 bulan untuk membuktikan keberhasilan pertanian lahan pasir. Ia ingat jumlah panen cabai merah perdana, 17 kilogram. Satu demi satu tetangganya mulai mengikuti usahanya.
Kini, sekitar 6.000 keluarga di 10 desa pesisir Kulon Progo, mulai dari Pantai Trisik hingga Congot, menjadikan pertanian lahan pasir berstatus milik Keraton Paku Alam (Paku Alam Ground) sebagai mata pencaharian utama. Lahan itu juga bisa ditanami semangka, melon, sawi, terung, kentang, jagung.
Dengan luas kepemilikan lahan rata-rata 0,2 ha, setiap keluarga bisa mendapat pendapatan panen minimal Rp 5 juta per tiga bulan. Cabai merah dipetik 1-2 kali per minggu dengan tingkat produktivitas 1 ton untuk lahan 0,2 ha. Harga cabai merah rata-rata Rp 7.000 per kilogram.
Padahal, kata Supriyadi, Ketua Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo, tanaman cabai merah bisa tahan hingga 20 kali petik jika pupuk kandang diberikan intensif.
Kesuksesan pertanian lahan pasir juga menarik minat kalangan akademisi. Dja’far Shiddieq, ahli Ilmu Tanah Fakultas Pertanian UGM adalah salah satu peneliti yang aktif mendatangi pesisir Kulon Progo sejak tahun 1996. Ia kerap membawa mahasiswa belajar sistem pertanian lahan pasir itu langsung dengan petani. Terakhir, ia membawa sekitar 30 mahasiswa dan dosen asing.
Inovasi terbaru yang dilakukan Dja’far adalah menambah lapisan bentonit pada berbagai variasi kedalaman lahan, mulai dari 15 sampai 45 sentimeter. Bentonit bersifat kedap menahan kandungan air lebih lama di lahan pasir. Produktivitas pun pertanian naik 20-25 persen.
Selain itu petani lahan pasir juga menerapkan penggunaan mulsa plastik dan jerami untuk mengurangi penguapan. Dengan demikian, kelengasan tanah benar-benar terjaga dan akar tanaman bisa menyerap air dengan lebih baik.
”Penggunaan mulsa juga mengurangi perkembangbiakan hama dan gulma. Kami tidak perlu lagi menggunakan obat-obatan kimia beracun,” kata Sumanto.
Untuk menghalau tiupan angin kencang yang membawa uap garam, petani memagari lahan garapan mereka dengan pelepah daun kelapa. Sejumlah petani mulai menanam cemara udang. Tanaman berdaun jarum ini juga menjaga permukiman warga dari badai dan tsunami.
Pertanian terpadu
Tidak hanya bermanfaat bagi manusia, pertanian lahan pasir juga bermanfaat bagi ternak. Sisa tanaman pascapanen bisa diolah menjadi pakan ternak. Sebuah siklus terbentuk: limbah pertanian dimanfaatkan ternak dan limbah peternakan berupa kotoran hewan diolah menjadi pupuk kandang.
Dja’far menyebut siklus ini sebagai wujud nyata dari sistem pertanian terpadu sekaligus pertanian organik. ”Pertanian terpadu amat ramah lingkungan, nyaris tak ada limbah terbuang. Zero waste,” kata Dja’far.
sumber dari : kompas cetak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar