Jumat, 04 Januari 2013

WARISAN ORANG YANG TIDAK MEMPUNYAI ANAK


Penanya:
Abdul Salam, Grabag, Purworejo.
(disidangkan pada hari Jum'at, 10 Februari 2006)

Pertanyaan:
Kami lima orang bersaudara: 4 orang laki-laki dan  1 orang perempuan, dengan urutan sebagai berikut:
Pertama: A (laki-laki) telah meninggal dunia sebelum bulan Ramadlan 1426 H yang lalu, meninggalkan seorang isteri Z dan tidak mempunyai anak. Kedua: B (perempuan). Ketiga: C (laki-laki) telah meninggal dunia 15 tahun yang lalu, dengan meninggalkan seorang isteri dan 6 orang anak yang terdiri dari 4 orang anak laki-laki dan  2 orang anak perempuan. Satu di antara anak laki-laki tersebut sudah meninggal dunia dengan meninggalkan seorang isteri. Keempat:  D (laki-laki). Kelima: E (laki-laki). Sampai sekarang harta warisan A belum dibagikan kepada ahli waris. Di kala hidupnya, A  mewasiatkan sebagian hartanya kepada salah seorang anak C.

Harta peninggalannya terdiri dari harta bawaan dan harta hasil usaha selama perkawinan dengan Z. Dalam pada itu Z pun punya harta bawaan dalam menempuh hidup berkeluarga dengan A.
Mohon dijelaskan:
1.    Bagaimanakah cara pembagiannya dan pelaksanaan wasiatnya menurut Hukum Islam?
2.    Bolehkah jika kami melakukan kerukunan dalam pembagian tersebut?
3.    Bolehkah jika sebagian dari ahli waris menshadaqahkan atau mewakafkan sebagian harta waris yang diterima diatasnamakan pewaris?
Kami mohon dengan hormat lagi sangat Majelis Tarjih dapat menjelaskan dengan  disebutkan dalil al-Qur’an dan al-Hadits atau dasar hukumnya. Demikian atas perkenan dan bantuan Bapak,  kami ucapkan terima kasih, dengan iringan do’a semoga kita semua mendapat ridla Allah swt.

Jawaban:
1.    Sebelum dilakukan pembagian harta waris, terlebih dahulu harus dipastikan berapa atau apa saja yang termasuk harta waris yang ditinggalkan oleh A. Menurut hemat kami ada dua hal yang harus diperhatikan:
Pertama: Berkaitan dengan harta bawaan dan pembagian harta bersama. Harta bawaan isteri (Z) dikembalikan kepada Z. Kemudian harta bersama dibagi dua; separoh diberikan kepada Z. Hal ini didasarkan kepada:
a.    Pasal 86 ayat (2) KHI:
Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya.
b.    Pasal 87 ayat (1) KHI:
Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh  masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
c.    Pasal  96 ayat (1) KHI:
Apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama.
Kedua: Setelah jelas harta peninggalan A, yakni harta bawaan A dan separoh harta bersama; kemudian yang harus diperhatikan biaya perawatan jenazah (tajhiz), hutang dan wasiat jika dua hal yang disebutkan terakhir tersebut memeng ada. Dengan kata lain, sebelum harta peninggalan A dibagikan kepada ahli waris yang berhak menerima, maka terlebih dahulu dikeluarkan untuk biaya perawatan di kala sakit dan perawatan jenazahnya, hutang dan wasiat; baru setelah itu sisanya sebagai harta warisan dibagikan kepada ahli waris yang berhak menerima.
a.    Biaya Perawatan Pewaris (Muwarris).
Biaya untuk perawatan sakit pewaris demikian pula biaya untuk perawatan jenazahnya dari semenjak untuk memandikan, mengkafani sampai dengan menguburkannya, jika pewaris memiliki harta harus diambilkan dari hartanya. Jika yang meninggal dunia tidak meninggalkan harta, maka biaya perawatan jenazah dibebankan kepada orang yang menanggung nafkahnya di akhir hidupnya. (As-Sayid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Jilid I halaman 438). Bahkan menurut Ibnu Hazm jika seorang wanita meninggal dunia dan meninggalkan harta, maka biaya perawatan jenazah diambil dari hartanya, bukan menjadi kewajiban suaminya; dengan alasan bahwa harta seseorang dilindungi oleh Syara’, hanya boleh dikeluarkan apabila dibenarkan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah. Al-Qur’an dan as-Sunnah mewajibkan kepada suami untuk memberi nafkah dan tempat tinggal kepada isteri. Mengkafani dan menguburkan tidak termasuk ke dalam pengertian memberi nafkah dan memberikan tempat tinggal.
Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 huruf e, disebutkan: Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya perawatan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.
b.    Hutang
Dalam surah an-Nisa’ (4) ayat 11, dijelaskan bahwa pembagian harta waris dilakukan kepada ahli waris setelah hutang dan wasiat ditunaikan terlebih dahulu. Ketegasan itu berbunyi:
مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوْصِى بِهَا أَوْدَيْنٍ. [النسآء (4): 11]
Artinya: “(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat  yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.” [QS. an-Nisa’ (4): 11].
Dalam Hadits dijelaskan:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: نَفْسُ اْلمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ. [رواه أحمد].
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., dari Nabi saw beliau bersabda: Jiwa orang beriman itu digantungkan dengan hutangnya, sampai hutang itu dilunasi. HR Ahmad.
Dimaksud dengan hutang di sini mencakup hutang yang dilakukan pewaris di kala hidupnya dengan sesama hamba Allah (umat manusia) maupun hutang yang berupa kewajiban yang harus ditunaikan untuk menjalankan agama Allah, seperti: zakat yang belum dibayar, kafarat atau diyat yang belum dibayar dan nadzar yang belum ditunaikan. Semua itu dapat dikatakan sebagai hutang kepada Allah Swt. Dalam hadits dijelaskan:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا ... قَالَ فَدَيْنُ اللهِ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى. [رواه البخاري].
Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra., … Rasulullah saw bersabda: Hutang kepada Allah lebih utama untuk dibayar.” [HR. al-Bukhari].
c.    Wasiat
Berdasarkan pada firman Allah dalam surah an-Nisa’ (4): 11, sebagai telah disebutkan di atas, maka jika pewaris pernah berwasiat semasa hidupnya, harus dipenuhi terlebih dahulu wasiat yang pernah dibuat itu. Orang yang berhak menerima wasiat  pada dasarnya adalah selain orang yang menerima warisan.  Ahli waris yang menerima warisan dapat menerima wasiat bila semua ahli waris menyetujuinya. Rasulullah saw bersabda:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ تَجُوْزُ وَصِيَّةً لِوَارِثٍ إلاَّ أَنْ يَشَاء الْوَرَثَةُ. [رواه الدرقطنى].
Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Tidak boleh ada wasiat bagi penerima warisan kecuali semua ahli waris menyetujuinya.” [HR. ad-Daruquthny].
Dari permasalahan pewarisan yang saudara tanyakan, kami melihat ada seorang anak dari saudara laki-laki pewaris yaitu C yang telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pada A (pewaris). Dalam pandangan jumhur ulama anak C yang telah meninggal dunia terlebih dahulu dari meninggal dunianya A, tidak dapat menerima warisan, karena terhijab (terhalang) oleh saudara-saudara A yang masih hidup. Dengan demikian anak C dapat menerima wasiat dari A yang ketika hidup pernah mewasiatkan sebagian hartanya diberikan kepada anak C. Namun jika menggunakan Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan:
1).    Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris maka kedudukannya dapat diganti oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173.
2).    Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.
Maka anak C (bersama saudara-saudaranya) menjadi ahli waris atau dapat ikut menerima harta waris A. Dengan berdasarkan kepada hadits riwayat ad-Daruquthny di atas, maka anak C tidak berhak menerima wasiat, kecuali semua ahli waris yang lain membolehkannya. Ketentuan ini sejalan dengan ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 195 ayat (3), yang menyatakan: Wasiat kepada ahli waris hanya berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris.
Jika semua ahli waris setuju terhadap wasiat tersebut, maka sebelum harta peninggalan A dibagi kepada para ahli waris, harus ditunaikan wasiat tersebut. Dengan kata lain, harta peninggalan tersebut harus dikurangi dengan wasiat yang diberikan kepada anak C yang diberi wasiat. Besar wasiat tidak boleh lebih dari 1/3 jumlah harta waris. Oleh karena itu wasiat yang diberikan kepada anak C harus dihitung secara cermat. Jika melebihi dari 1/3 jumlah harta waris, maka hanya maksimal 1/3 yang diberikan kepada anak C penerima wasiat. Berdasarkan hadits:
جَاءَنِى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُوْدُنِى عَامَ حَجَّةِ اْلوَدَاعِ مِنْ وَجَعٍ اشْتَدَّ بِى فَقُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنِّى قَدْ بَلَغَ بِى مِنَ اْلوَجَعِ مَا تَرَى وَأَنَا ذُو مَالٍ وَلاَ تَرِثُنِى إِلاَّ ابْنَةٌ أَفَأَتَصَدَّقُ بِثُلُثَيْ مَالِى قَالَ لاَ فَقُلْتُ فَالشَّطْرُ يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَ لاَ فَقُلْتُ فَالثُّلُثُ قَالَ الثُّلُثُ وَالثُّلُثُ كَثِيْرٌ أَوْ كَبِيْرٌ إِنَّكَ أَنْ تَذَرَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءً خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُوْنَ النَّاسَ. [رواه البخارى ومسلم عن سعد بن أبى وقاص].
Artinya: “Rasulullah saw mengunjungi saya pada tahun haji wada’ ketika saya sedang sakit keras. Saya bertanya: Wahai Rasulullah, saya dalam keadaan sakit keras. Bagaimana pendapat anda. Saya kaya dengan harta; tidak ada yang mewarisi harta saya kecuali seorang anak perempuan. Bolehkah saya menshadaqahkan (mewasiatkan) 2/3 hartaku? Beliau menjawab: Jangan. Kemudian saya bertanya lagi: Bagaimana kalau ½ nya wahai Rasulullah? Beliau menjawab: Jangan. Lalu saya bertanya lagi: Bagaimana kalau 1/3 nya? Rasulullah saw menjawab: Ya 1/3; dan 1/3 itu sudah banyak atau sudah besar. Sesungguhnya kamu meninggalkan ahli waris yang berkecukupan lebih baik dari pada meninggalkan mereka dalam keadaan kekurangan yang meminta-minta kepada orang lain.” [HR. al-Bukhari dan Muslim diriwayatkan dari Sa'd bin Abi Waqash].
Apabila wasiat melebihi 1/3 harta waris, diperlukan persetujuan semua ahli waris. Jika ahli waris tidak menyetujui, maka wasiat maksimal hanya 1/3 harta waris. Dalam pasal 195 ayat (2) KHI disebutkan: Wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujui.
Setelah langkah-langkah di atas dilalui, maka tibalah saat pembagian warisan. Perlu kami sebutkan lagi ahli warisnya, yakni terdiri: 1 orang isteri, 1 orang saudara perempuan dan 3 orang saudara laki-laki. Sedangkan harta warisnya ialah harta bawaan A ditambah dengan separoh harta bersama, setelah dikurangi dengan biaya perawatan, wasiat dan hutang.
a.    Isteri (Z), memperoleh  ¼ berdasarkan firman Allah:
وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ. [النسآء (4): 12].
Artinya: “Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan, jika kamu tidak mempunyai anak.” [QS. an-Nisa’ (4): 12].
Jadi istri (Z) di samping memiliki harta bawaannya, juga memperoleh separoh harta usaha bersama dan memperoleh seperempat dari harta waris.
b.    Selebihnya harta waris tersebut dibagikan kepada 1 orang saudara perempuan dan 3 orang saudara laki-laki dengan ketentuan, bagian seorang saudara laki-laki dua kali  bagian saudara perempuan, berdasarkan firman Allah:
وَإِنْ كَانُوْا إِخْوَةٌ رِجَالاً وَنِسَاءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ اْلأُنْثَيَيْنِ. [النسآء (4): 176].
Artinya: “Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri) saudara laki-laki dan perempuan, maka bahagian seorang laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan.” [QS. an-Nisa’ (4): 176].
Dengan cara sederhana dapat diperhitungkan, sebagai berikut:
1 orang saudara  perempuan mendapat: 1 x 1 bagian    = 1 bagian
3 orang saudara laki-laki mendapat: 3 x 2 bagian    = 6 bagian
Jumlah                            = 7 bagian
Jadi dalam pembagian ini:
B (saudara perempuan) mendapat 1/7 bagian, C (saudara laki-laki) mendapat 2/7 bagian, D (saudara laki-laki) mendapat 2/7 bagian dan E (saudara laki-laki) mendapat 2/7 bagian.
Untuk selanjutnya bagian C dibagikan kepada anak-anaknya yang masih hidup, juga dengan ketentuan bagian anak laki-laki memperoleh bagian dua kali bagian anak perempuan, berdasarkan firman Allah:
يُوْصِيْكُمُ اللهُ فِى أَوْلاَدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ اْلأُنْثَيَيْنِ. [النسآء (4): 11].
Artinya: “Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu; bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan.” [QS. an-Nisa’ (4): 11].
Berdasarkan ketentuan ayat tersebut, dapat diperhitungkan sebagai berikut:
      2 orang anak perempuan mendapat: 2 x 1 bagian     = 2 bagian
3 orang anak laki-laki mendapat: 3 x 2 bagian     = 6 bagian
Jumlah                         = 8 bagian
Jadi setiap anak perempuan mendapat 1/8 bagian dan setiap anak laki-laki mendapat bagian 2/8 dari bagian harta waris A yang diberikan kepada C.
   
2.    Melakukan kerukunan dalam pembagian harta waris dalam Hukum Islam disebut dengan tashaluh (perdamaian) atau takharuj (sebagaian ahli waris dengan sukarela keluar dari penerimaan harta waris baik untuk seluruh atau sebagian). Menurut Hukum Islam, pada dasarnya seorang pemilik harta dapat mentasharufkan atau menggunakan harta miliknya sekehendak si pemilik sepanjang tidak dilarang oleh Syara’ (Agama). Atas dasar itu orang yang memperoleh bagian harta waris dapat untuk merelakan harta waris yang diterima itu untuk diberikan kepada ahli waris yang lain, baik seluruh atau sebagian baik dengan imbalan atau tidak. Dalam sejarah pernah terjadi pada diri seorang sahabat, yang kejadiannya sebagai berikut:
أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ تُمَاضِرَ بنت الأِصْبَغِ اْلكَلْبِيَّةِ فِى مَرَضِ مَوْتِهِ ثُمَّ مَاتَ وَهِيَ فِى اْلعِدَّةِ فَوَرَّثَهَا عُثْمَانُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ مَعَ ثَلاَثِ نِسْوَتِهِ آخَرُ فَصَالِحُوْهَا عَنْ رُبُعِ ثُمُنِهَا عَلَى ثَلاَثَةِ وَثَمَانِيْنَ أَلْفًا وَقِيْلَ هِيَ دَنَانِيْرُ وَقِيْلَ هِيَ دَرَاهِيْمُ. [محمد يوسف موسى، التركة والميراث, الصفحة 375].
Artinya: “Abdur Rahman Ibn ‘Auf di saat sakit yang membawa kematiannya, mentalak isterinya yang bernama Tumadhir Binti al-Ishbagh al-Kalbiyah; setelah itu ia meninggal dunia, di saat isterinya masih dalam masa ‘iddah. Kemudian ‘Utsman ra memberikan warisan kepadanya beserta tiga isterinya yang lain. Lalu mereka berdamai sepertigapuluhduanya diganti dengan pembayaran delapan puluh tiga ribu. Ada yang mengatakan dinar ada pula yang mengatakan dirham.” [Muhammad Yusuf Musa, at-Tirkah wal-Mirats, halaman 375].
Pembagian harta warisan dengan tashaluh ini, dilakukan setelah masing-masing ahli waris  mengetahui bagiannya, sesuai dengan ketentuan-ketentuan pembagian harta waris menurut Hukum Islam. Dalam Pasal 183 KHI ditegaskan: Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya.

3.    Pada dasarnya Islam mengajarkan bahwa amal seseorang dinilai sebagai amal shalih, apabila dilakukan oleh dirinya sendiri, bukan oleh orang lain. Dalam al-Qur’an disebutkan:
... لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ ... [البقرة (2): 286].
Artinya: “… ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya, dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya …”. [QS. al-Baqarah (2): 286].
فَاْليَوْمَ لاَ تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئًا وَلاَ تُجْزَوْنَ إِلاَّ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ. [يـس (36): 54].
Artinya: “… Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikitpun, dan kamu tidak dibalas kecuali dengan apa yang telah kamu kerjakan.” [QS. Yasin (36): 54].
أَلاَّ تَزِرُ وَازِرَةُ وِزْرَ أُخْرَى. وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى. [النجم (53): 38-39].
Artinya: “(yaitu) bahwasanya seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan bahwasanya seseorang manusia tidak memperoleh sesuatu selain dari apa yang telah diusahakannya.” [QS. an-Najm (53): 38-39].
Ketentuan umun tersebut dapat berlaku lain, apabila ada dalil yang menunjukkannya. Dalam hal ini, antara lain diterangkan dalam hadits:
عَنِ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ. [رواه مسلم].
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., bahwa Rasulullah saw bersabda: Apabila keturunan Adam meninggal dunia, terputuslah amal perbuatannya kecuali tiga hal: shadaqah jariyah (wakaf), ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang mendoakan kedua orang tuanya.” [HR. Muslim].
Ada pula hadits yang mengajarkan bahwa anak dibolehkan bershadaqah atas nama orang tuanya, yang pahalanya akan dinikmati oleh pewaris juga.
عَنِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّ رَجُلاً قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أُمِّى افْتُلِتَتْ نَفْسُهَا وَأُرَاهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ فَهَلْ لَهَا مِنْ أَجْرٍ إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ. [متفق عليه].
Artinya: “Diriwayatkan dari ‘Aisyah ra., ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi saw: Bahwa ibuku meninggal dunia secara mendadak. Saya kira, andaikata ia sempat berbicara, niscaya ia akan bershadaqah. Apakah ada pahala baginya, jika saya bershadaqah atas namanya? Beliau menjawab: Ya.” [Muttafaq ‘Alaih].
Hadits-hadits Nabi saw mengenai amal anak atas nama orang tua itu merupakan perkecualian dari ketentuan umum tersebut di atas. Dengan demikian, dibolehkan ahli waris menyisihkan sebagian harta warisan dengan maksud untuk shadaqah jariyah atas nama pewaris misalnya untuk membantu pembangunan masjid, rumah sekolah, rumah sakit, pembuatan jalan umum, saluran air dan sebagainya, tetapi bukan hanya untuk sedekahan yang berupa makan minum untuk jamuan tamu-tamu yang datang berta’ziyah, untuk jamuan selamatan tiga hari, tujuh hari dan sebagainya bagi mereka yang datang dalam upacara-upacara kematian yang memang tidak diajarkan. (Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam, halaman 66-67). *dw)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar