Setelah sebulan penuh digodok dan dilatih dibulan yang penuh berkah. Kini tiba hari kemenangan bagi yang telah digembleng dengan berpuasa dan kesabaran. Mari bersama saling bersahutan mengumandangkan takbir dari tiap rumah, musholla dan masjid-masjid yang ada diseluruh plosok negeri ini. Dan senegap mdgunungsari.blogspot.com mengucapkan taqoballahu minna wa minkum minnal aidin wal fa idzin, mohon maaf lahir dan batin.
Tampilkan postingan dengan label Home. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Home. Tampilkan semua postingan
Kamis, 08 Agustus 2013
Selasa, 30 Juli 2013
Hukum Tentang Jenggot dan Cadar
Pertanyaan dari:
H. Syamsul Bahri, BA., KTAM. 1031721,
Jl. Pattimura Gg. Dame Wek IV, Padangsidempuan
(disidangkan pada Jum’at, 10 Rajab 1430 H / 3 Juli 2009 M)
Pertanyaan:
Assalamualaikum Wr. Wb
1. Mohon dijelaskan hukumnya cadar dan jenggot menurut Al-Qur’an dan Hadits
2. Semua istri Nabi Muhammad pakai cadar
3. Orang tidak pakai cadar dan jenggot = ingkar sunnah
Wassalamualaikum Wr. Wb
Jawaban:
1.Masalah Jenggot
Jenggot adalah rambut yang tumbuh menjulur ke bawah pada dagu dan pipi manusia serta lazimnya ini dimiliki oleh kaum lelaki. Di kalangan bangsa tertentu, seperti bangsa Arab dan India, memelihara jenggot hingga terurai panjang merupakan suatu tradisi yang menandakan kebanggaan, kemuliaan dan keperkasaan lelaki yang memeliharanya. Namun di kalangan bangsa lain, memelihara jenggot bukan menjadi suatu tradisi atau kelaziman.
Dalam Islam, terkait dengan masalah jenggot ini, Rasulullah saw bersabda:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مِنْهَالٍ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ زُرَيْعٍ حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ زَيْدٍ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: خَالِفُوْا اْلمُشْرِكِيْنَ، وَوَفِّرُوْا الِّلْحىٰ وَأَحِفُّوْا الشَّوَارِبَ . [رواه البخاري ومسلم]
Artinya: “Telah menceritakan pada kami Muhammad ibn Minhal, telah menceritakan pada kami Yazid ibn Zurai‘, telah menceritakan pada kami Umar bin Muhammad bin Zaid dari Nafi’ (ajudan Ibnu Umar) dari Ibnu Umar dari Nabi saw yang bersabda: “Berbedalah kamu (jangan menyamai) dengan orang-orang musyrik, peliharalah jenggot, dan cukurlah kumis.” [HR. al-Bukhari dan Muslim]
أَخْبَرَنِي الْعَلاَءُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمٰنِ بْنِ يَعْقُوبَ ـ مَوْلَى الْحُرَقَةِ ـ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ الله : جُزُّوا الشَّوَارِبَ وَأَرْخُوا اللِّحَىٰ. خَالِفُوا الْمَجُوسَ. [رواه مسلم]
Artinya: “Telah mengkabarkan padaku Ala’ bin Abdirahman bin Yakub –ajudan al-Hurakah- dari ayahnya, dari Abu Hurairah berkata, bersabda Rasulullah:“Cukurlah kumis, peliharalah jenggot, berbedalah (jangan menyamai) orang-orang Majusi.” [HR. Muslim]
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللهِ: عَشْرٌ مِنَ الْفِطْرَةِ: قَصُّ الشَّارِبِ، وَإِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ، وَالسِّوَاكُ، وَاسْتِنْشَاقُ الْمَاءِ، وَقَصُّ الأَظْفَارِ، وَغَسْلُ الْبَرَاجِمِ، وَنَتْفُ الإِبِطِ، وَحَلْقُ الْعَانَةِ، وَانْتِقَاصُ الْمَاءِ. [رواه مسلم]
Artinya: “Diriwayatkan dari Abdilah bin Zubair, diriwayatkan dari Aisyah, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Sepuluh hal yang termasuk fitrah: mencukur kumis, memanjangkan jenggot, bersiwak, istinsyaq (memasukkan air ke hidung), memotong kuku, mencuci sela-sela jari, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan dan menghemat air.” [HR. Muslim]
Dari riwayat di atas dapat disimpulkan bahwa kita diperintahkan untuk memelihara jenggot dan mencukur kumis. Demikian diperintahkan oleh Rasul agar kita berbeda dan tidak menyamai orang-orang musyrik -termasuk Majusi, yaitu orang-orang yang menyembah api- di mana mereka suka dan biasa mencukur jenggot bahkan hingga habis.
Sabda Nabi saw:
أَخْبَرَنَا حَسَّانُ بْنُ عَطِيِّةَ عَنِْ أَبِي مُنِيْبٍ الْجُرَشِيِّ عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ. [رواه أبو داود]
Artinya: “Telah mengkabarkan pada kami Hassan bin Athiyah dari Abi Munib al-Jurasyi dari Ibnu Umar berkata, bersabda Rasulullah saw: “Siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari (golongan) mereka.” [HR. Abu Dawud]
Selain itu, perintah Rasulullah saw ini banyak mengandung unsur pendidikan bagi kaum muslim agar mereka mempunyai kepribadian tersendiri, baik lahir maupun batin dari kaum yang lain seperti kaum kafir-musyrik. Perbedaan secara lahir akan mewakili identitas suatu kaum, di mana dalam hal ini jenggot menjadi identitas atau ciri khas kaum muslim. Apalagi banyak riwayat seputar hal ini dimasukkan oleh para ulama Hadits dalam bab tersendiri, yaitu bab fitrah yang dimiliki oleh manusia. Mencukur jenggot sama halnya dengan menentang fitrah dan menyerupai perempuan. Seperti yang ditekankan di atas, bahwa jenggot menandakan kesempurnaan lelaki dan membedakannya dari jenis yang lain.
Namun, bukan berarti kita tidak boleh untuk mencukur dan merapikan rambut jenggot apabila sudah terurai panjang, terlihat tidak indah dan rapi, dan bahkan bisa menakutkan atau menjijikan siapa yang melihatnya. Oleh sebab itu jenggot yang demikian dibolehkan untuk dicukur atau dirapikan. Sebuah riwayat dari Imam at-Tirmidzi yang ia nilai gharib, di mana Nabi saw pernah memangkas sebagian jenggotnya hingga terlihat rata dan rapi.
أَخْبَرَنَا عُمَرُ بْنُ هَارُونَ، عَنْ أُسَامَةَ بن زَيْدٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ: أَنَّ النَّبِيِّ كَانَ يَأْخُدُ مِنْ لِحْيَتِهِ مِنْ عَرْضِهَا وَطُولِهَا . [رواه الترمذي]
Artinya: “Telah mengkabarkan pada kami Umar bin Harun dari Usamah bin Zaid dari Amru bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya, bahwasannya Nabi saw memangkas sebagian jenggotnya hingga panjangnya sama.” [HR. at-Tirmidzi]
Menanggapi masalah ini para ulama, baik mutaqaddimin(terdahulu) maupun muta’akhirin (belakangan) banyak yang berbeda pendapat. Ulama kalangan Hanafi dan Hanbali dengan tegas mengatakan bahwa haram hukumnya seseorang memotong jenggotnya hingga habis, bahkan ia dituntut membayar diyat (tebusan). Sedang ulama Syafi’i dan Maliki mengatakan bahwa hukumnya sebatas makruh saja. Imam Nawawi yang mewakili mazhab Syafi’i mengatakan, “mencukur, memotong, dan membakar jenggot adalah makruh. Sedangkan memangkas kelebihan dan merapikannya adalah perbuatan yang baik. Membiarkannya panjang selama satu bulan adalah makruh, seperti makruhnya memotong dan mengguntingnya.” (Syarh Shahih Muslim: vol. 3: 151). Selanjutnya para ulama juga masih berselisih mengenai ukuran panjang jenggot yang harus dipotong, meski terdapat sebuah riwayat yang menceritakan bahwa Abu Hurairah dan Abdulah bin Umar biasa memangkas jenggot bila panjangnya sudah melebihi satu genggaman tangan. Namun, sebagian ulama tidak menetapkan panjang tertentu, akan tetapi cukup dipotong sepantasnya. Hasan al-Bashri, seorang tabi’inbiasa memangkas dan mencukur jenggotnya, hingga terlihat pantas dan rapi.
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa memangkas atau memotong sebagian jenggot hukumnya adalah mubah. Sedang mencukurnya hingga habis hukumnya adalah makruh, namun tidak sampai pada derajat haram. Adapun memeliharanya adalah sunnah.
2. Masalah cadar
Tentang masalah cadar, telah dicantumkan pembahasannya dalam Buku Tanya Jawab Agama Islam yang dikeluarkan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid, jilid 4 halaman 238, Bab Sekitar Masalah Wanita.
Ringkasnya, cadar tidak ada dasar hukumnya baik dalam al-Qur’an maupun Sunnah. Yang diperintahkan oleh syariat Islam bagi wanita adalah memakai jilbab. Allah swt berfirman dalam surat an-Nur (24) ayat 31:
@è%ur ÏM»uZÏB÷sßJù=Ïj9 z`ôÒàÒøót ô`ÏB £`ÏdÌ»|Áö/r& z`ôàxÿøtsur £`ßgy_rãèù wur úïÏö7ã £`ßgtFt^Î wÎ) $tB tygsß $yg÷YÏB ( tûøóÎôØuø9ur £`ÏdÌßJè¿2 4n?tã £`ÍkÍ5qãã_ َ.......
Artinya: “Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya ...,”
wÎ) $tB tygsß $yg÷YÏB (
“kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.”
Ayat ini menurut penafsiran Jumhur ulama, bahwa yang boleh nampak dari perempuan adalah kedua tangan dan wajahnya sebagaimana pendapat Ibnu Abbas ra. dan Ibnu Umar ra. (Tafsir Ibnu Katsir vol. 6:51)
Potongan ayat di atas juga dijelaskan oleh hadis riwayat dari Aisyah ra:
حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بنُ كَعْبٍ الأَنْطَاكِيُّ وَ مُؤَمَّلُ بْنُ الْفَضْلِ الْحَرَّانِيُّ قَالاَ أَخْبَرَنَا الْوَلِيدُ عَنْ سَعِيدِ بْنِ بَشِيرٍ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ خَالِدٍ بْنِ دُرَيْكٍ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ أَسْمَاءَ بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ دَخَلَتْ عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهَا ثِيَابٌ رِقَاقٌ فَأَعْرَضَ عَنْهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتِ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلاَّ هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ . قَالَ أَبُو دَاوُدُ هَذَا مُرْسَلٌ خَالِدُ بْنُ دُرَيْكٍ لَمْ يُدْرِكْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا . [رواه أَبُو دَاوُدَ]
Artinya: “Telah menceritakan pada kami Yakub bin Ka’ab al-Anthaki dan Muammal bin al-Fadhl bin al-Harani keduanya berkata: Telah mengkabarkan pada kami Walid dari Said bin Basyir dari Qatadah dari Khalid bin Duraik dari Aisyah bahwa Asma’ binti Abi Bakar menemui Rasulullah saw dengan memakai pakaian tipis. Maka Rasulullah saw berpaling darinya dan berkata: “Wahai Asma’, sesungguhnya seorang wanita itu, jika telah mendapatkan haidh, tidak pantas terlihat dari dirinya kecuali ini dan ini”, beliau menunjuk wajah dan kedua telapak tangannya.” [HR. Abu Dawud]
Hadits ini dikategorikan mursal oleh Imam Abu Dawud sendiri setelah akhir menuliskan riwayatnya dikarenakan terdapat rawi yang bernama Khalid bin Duraik, yang dinilai oleh para ulama kritikus hadits tidak pernah bertemu dengan Aisyah ra dan Said bin Basyir yang dinilai dhaif (lemah) oleh para ulama kritikus Hadits. Namun ia mempunyai penguat yang ternilai mursal shahihdari jalur-jalur lainnya yang diriwayatkan oleh Abu Dawud sendiri dalam al-Marasil(no. 460, cet. Dar al-Jinan, Beirut) dari Qatadah di mana dalam jalur sanadnya tidak terdapat Khalid bin Duraik dan Said bin Basyir. Riwayat tersebut adalah:
حَدَّثَنَا ابْنُ بَشَارٍ ثَنَا أَبُو دَاوُدُ ثَنَا هِشَامُ عَنْ قَتَادَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال: إنَّ اْلجَارِيَةَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تََصْلُحْ أن يُرَي مِنْهَا إِلاوَجْهِهَا وَيَدَاهَا إِلَى اْلمَفْصِلِ. [رواه أبو داود]
Artinya: “Telah menceritakan pada kami Ibnu Basyar, telah menceritakan pada kami Abu Dawud, telah menceritakan pada kami Hisyam dari Qatadah bahwasannya Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya seorang perempuan jika telah mendapatkan haidh, tidak pantas terlihat dari dirinya kecuali wajahnya dan kedua (telapak) tangannya sampai tulang pergelangan tangan (sendi).” [HR. Abu Dawud]
Juga jalur lain seperti dari ath-Thabrani dalam Mu’jam al-Kabir(24/143/378) dan al-Ausath (2/230), al-Baihaqi (2/226), dan Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya (4/283).
Selain itu banyak riwayat-riwayat lain yang memperlihatkan bahwa banyak dari para shahabiyat (sahabat perempuan) yang tidak memakai cadar atau menutupi wajah dan tangan mereka. Seperti kisah Bilal melihat perempuan yang bertanya kepada Nabi saw di mana diceritakan bahwa pipi perempuan tersebut merah kehitam-hitaman (saf’a al-khaddain).
Terkait dengan pakaian perempuan ketika shalat, sebuah riwayat dari Aisyah ra menjelaskan bahwa ketika shalat para perempuan pada zaman Nabi saw memakai kain yang menyelimuti sekujur tubuhnya (mutallifi’at fi-murutihinna).
حَدَّثَنَا أَبُو اْليَمَانِ قَالَ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنِ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ أَنَّ عَائِشَةَ قَالَتْ: لَقَدْ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي الفَجْرَ فيََشْهَدُ مَعَهُ نِسَاءٌ مِنَ اْلمُؤْمِنَاتِ مُتَلِّفِعَاتٍ في مُرُوْطِهِنَّ، ثُمَّ يَرجِعْنَ إِلَى بُيُوتِهِنَّ مَا يَعْرِفُهُنَّ أَحَدٌ. وَفِى رِوَايَةٍ أَخَرٍ: لاَ يُعْرَفْنَ مِنَ الغَلَسِ. [متفق عليه]
Artinya: “Telah menceritakan pada kami Abu al-Yaman, telah memberitahukan pada kami Syu’aib dari az-Zuhri, telah mengkabarkan padaku Urwah bahwasannya Aisyah berkata: “Pada suatu ketika Rasulullah saw shalat subuh, beberapa perempuan mukmin (turut shalat berjamaah dengan Nabi saw). Mereka shalat berselimut kain. Setelah selesai shalat, mereka kembali ke rumah masing-masing dan tidak seorangpun yang mengenal mereka.” Dalam riwayat lain: “Kami tidak bisa mengenal mereka (para perempuan) karena gelap.” [Muttafaq ‘alaihi]
Imam asy-Syaukani memahami hadits ini bahwa para sahabat perempuan di antaranya Aisyah ra tidak dapat mengenali satu sama lain sepulang dari shalat subuh karena memang keadaan masih gelap dan bukan karena memakai cadar, karena memang saat itu wajah para perempuan biasa terbuka.
Mengenai pertanyaan, apakah jika tidak memelihara jenggot dan memakai cadar termasuk ingkar sunnah, hemat kami tidak. Karena yang dimaksud dengan ingkar sunnah adalah mereka orang-orang yang tidak mempercayai sunnah Nabi dan hanya mengamalkan apa yang termaktub dalam al-Qur’an saja.
Wallahu a'lam. *mr)
Sabtu, 27 Juli 2013
Rekor Melihat Hilal
REKOR melihat hilal paling tipis bukan dilakukan oleh para perukyat hilal yang muslim, melainkan oleh para Astrofotografer non muslim. Motivasi mereka, tentu saja bukan untuk menjadi ‘petugas rukyat’ yang andal dalam menetapkan awal bulan Ramadan atau Syawal, melainkan karena menerima tantangan untuk memecahkan rekor dalam ajang Astrofotografi dunia.
Adalah Thierry Legault, Astrofotografer asal Perancis yang berhasil memotret bulan sabit tertipis dalam sejarah manusia. Ia memotret bulan sabit itu pada tanggal 8 Juli 2013 baru lalu, persis saat bulan sedang beralih dari Syakban menuju Ramadan. Yakni, di sekitar pk. 07:14 GMT. Sedangkan Astrofotografer lainnya adalah Martin Elsässer dari Jerman.
Agaknya bukan sebuah kebetulan, Legault memecahkan rekor di saat-saat umat Islam seluruh dunia sedang ‘heboh’ menetapkan awal bulan suci Ramadan. Karena dalam website-nya, ia menuliskan keterangan bahwa peralihan posisi bulan itu adalah penanda datangnya bulan suci Ramadan bagi umat Islam. Yang pasti, dia tahu bahwa saat-saat seperti itu adalah momen kontroversial.
Di sejumlah negara, ada yang menetapkan tanggal 9 Juli 2013 sebagai awal Ramadan, dan lainnya menetapkan pada tanggal 10 Juli 2013, dengan alasan hilal tidak terlihat. Maka, tantangan memecahkan rekor pun dimulai. Bukan membuktikan hilal di sekitar matahari tenggelam, melainkan di sekitar peristiwa konjungsi alias ijtimak. Kenapa tidak di sekitar matahari tenggelam? Bagi seorang fotografer profesional, saat-saat menjelang maghrib itu kurang menantang, karena cuaca sudah mulai meredup. Apalagi, jika usia hilal sudah beberapa jam, pasti akan dengan mudah tertangkap oleh kamera mereka dari tempat yang tepat.
Yang paling menantang justru adalah di sekitar konjungsi atau ijtimak, yang terjadi di pagi atau siang hari. Saat itu, cahaya matahari masih sedemikian kuatnya. Sehingga cahaya latar langit di sekitar hilal itu sedemikian tingginya. Diinformasikan oleh Legault, cahaya latar di langit pada waktu itu sekitar 400 kali dibanding cahaya obyek (hilal), jika dilihat dalam parameter inframerah. Atau, sekitar 1000 kali obyek jika dilihat dalam parameter cahaya tampak. Tentu, ini tidak akan bisa diamati dengan menggunakan mata telanjang. Karena, pasti sangat menyilaukan mata kita.
Tetapi, justru disitulah tantangannya. Dengan menggunakan sistem peralatan fotografinya, Legault berhasil mengabadikan hilal super tipis – hampir nol – yang hanya berusia beberapa menit setelah konjungsi. Berbeda dengan hilal sore hari yang ‘telentang’, bentuk sabit yang dipotretnya ‘telungkup’ karena pemotretannya dilakukan pada pagi hari, dimana posisi semu matahari berada di atas bulan. Lebih detil, silakan kunjungi website: http://legault.perso.sfr.fr/new_moon_2013july8.html. Atau website lainnya:http://www.mondatlas.de/other/martinel/sicheln2008/mai/mosi20080505.html.
Karya fenomenal ini, tentu saja sangat menarik perhatian kita. Khususnya, karena tahun ini terjadi perbedaan penetapan awal bulan Ramadan antara penganut hisab dan rukyat di Indonesia. Para penganut hisab meyakini awal Ramadan jatuh pada 9 Juli 2013 lewat perhitungan, sedangkan penganut rukyat menetapkan 10 Juli 2013 dengan alasan hilal tidak kelihatan di tanggal 8 Juli 2013.
Secara empiris, karya Legault ini telah mematahkan Imkan Rukyat yang memasang kriteria 2 derajat dan usia bulan 8 jam agar bisa dilihat mata. Dengan sederhana Legault telah membuktikan bahwa usia hilal yang beberapa menit pun sudah bisa dipotret. Yang jika diterjemahkan ke dalam ketinggian hilal di atas horison, sudah hampir nol derajat. Dan kalau dikonkretkan lebih jauh, bisa menjadi sebuah simulasi ijtimak menjelang maghrib, sebagai penanda datangnya Ramadan. Atau, dalam istilah rukyat bil ‘ilmi dikenal sebagai Ijtimak Qablal Ghurub (IQG).
Tanpa harus berpikir kalah dan menang antara pihak-pihak yang berkontroversi, kabar ini tentu sangat menggembirakan bagi umat Islam. Dan diharapkan akan menjadi jalan untuk mendekatkan hasil hisab dan rukyat. Tentu saja, jika para pengguna metode rukyat cukup berbesar hati menggunakan teknologi ini. Misalnya, tahun depan pemerintah Indonesia mengundang Thierry Legault dan sejumlah Astrofotografer untuk datang ke Indonesia, dan meminta mereka menjadi bagian dari tim rukyat. Tugasnya adalah membuktikan apakah hilal memang bisa dilihat dan dipotret jika ketinggiannya di bawah 2 derajat saat usianya di bawah 8 jam. Atau, sebenarnya, boleh juga rukyatul hilal itu dilakukan di luar bulan Ramadan sebagai uji coba.
Kebetulan, tahun 2014 ijtimak bulan Syakban akan terjadi pada 27 Juni, pk.15:09 wib. Dan maghribnya pk. 17.48 wib. Jadi usia hilal tidak akan sampai 3 jam, dengan ketinggian hanya sekitar 0,5 derajat di atas horison. Sudah pasti tidak akan kelihatan oleh mata telanjang, dikarenakan lemahnya cahaya hilal yang sangat tipis. Tetapi, akan cukup kelihatan dan bisa diabadikan dalam bentuk foto atau video, jika menggunakan teknologi mereka.
Logikanya, kalau memotret hilal beberapa menit setelah ijtimak saja bisa, apalagi memotret hilal yang sudah berusia beberapa jam. Itupun, dalam suasana langit yang sudah jauh lebih redup dibandingkan siang hari seperti yang terjadi tanggal 8 Juli 2013 tersebut. Tentu, akan jauh lebih mudah. Fakta ini benar-benar sangat menggembirakan dan memberikan harapan yang besar untuk menyelesaikan kontroversi yang berlarut-larut di Indonesia, yang mana sudah tidak kelihatan ujung pangkalnya.
Jika ini bisa dilakukan, maka hasil perhitungan dan hasil rukyat akan bertemu di titik yang sama. Dan ini menjadi tafsir yang holistik dari ayat Al Qur’an yang menjelaskan tentang al ahillah (hilal-hilal) sebagai penanda waktu. QS. Al Baqarah (2): 189. ‘’Mereka bertanya kepadamu tentang al ahillah (hilal-hilal). Katakanlah: hilal-hilal itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji…’’
Sungguh menarik, di dalam Al Qur’an Allah tidak pernah menyebut bulan sabit dalam bentuk tunggal al hilal, melainkan dalam bentuk jamak ‘al ahillah’, untuk menjadi pedoman bagi perhitungan penanggalan hijriyah. Ini menunjukkan umat Islam dimotivasi untuk memahami pergerakan bulan secara utuh, sejak sesaat setelah konjungsi sampai konjungsi kembali, dimana bulan akan berdinamika menjadi hilal-hilal dalam berbagai fasenya. Dan karenanya, fase-fase bulan sabit itu bisa digunakan untuk menetapkan kalender yang valid dan berlaku untuk semua, seperti halnya menetapkan waktu-waktu shalat. Tidak ada bedanya lagi antara hisab dan rukyat..!
Akhirnya, saya berharap Ramadan kali ini kita betul-betul memperoleh pelajaran berharga dari perbedaan penetapan awal Ramadan. Allah telah menunjukkan ayat-ayat-Nya di alam semesta, dengan memunculkan karya Thierry Legault sebagai pembelajaran bersama. Saya berharap akan bermunculan para Astrofotografer lokal dan muslim, sehingga tahun depan kita tidak harus mengundang Legault dan kawan-kawannya untuk mengajari kita melakukan rukyatul hilal di Indonesia. Karena, memang seharusnya itu bisa dilakukan oleh orang-orang kita sendiri. Man jadda fa wajada – barangsiapa berusaha sungguh-sungguh, insya Allah dia bakal memperolehnya.Wallahu a’lam bissawab.
(NB: Serial Tafakur Ramadan ini ditulis untuk koran Kaltim Post – Grup Jawa Pos. Dan diposting di sini untuk memberi manfaat lebih luas.)
Shalat Tarawih 11 Raka'at Dilakukan Secara Berjama'ah
Dalil shalat tarawih 11 raka'at dan dilakukan secara berjama'ah :
Abu Dzar menceritakan,
صُمْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَمَضَانَ، فَلَمْ يَقُمْ بِنَا شَيْئًا مِنْهُ، حَتَّى بَقِيَ سَبْعُ لَيَالٍ، فَقَامَ بِنَا لَيْلَةَ السَّابِعَةِ حَتَّى مَضَى نَحْوٌ مِنْ ثُلُثِ اللَّيْلِ، ثُمَّ كَانَتِ اللَّيْلَةُ السَّادِسَةُ الَّتِي تَلِيهَا، فَلَمْ يَقُمْهَا، حَتَّى كَانَتِ الْخَامِسَةُ الَّتِي تَلِيهَا، ثُمَّ قَامَ بِنَا حَتَّى مَضَى نَحْوٌ مِنْ شَطْرِ اللَّيْلِ، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ لَوْ نَفَّلْتَنَا بَقِيَّةَ لَيْلَتِنَا هَذِهِ. فَقَالَ: «إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ، فَإِنَّهُ يَعْدِلُ قِيَامَ لَيْلَةٍ» ثُمَّ كَانَتِ الرَّابِعَةُ الَّتِي تَلِيهَا، فَلَمْ يَقُمْهَا، حَتَّى كَانَتِ الثَّالِثَةُ الَّتِي تَلِيهَا، قَالَ: فَجَمَعَ نِسَاءَهُ وَأَهْلَهُ وَاجْتَمَعَ النَّاسُ، قَالَ: فَقَامَ بِنَا حَتَّى خَشِينَا أَنْ يَفُوتَنَا الْفَلَاحُ، قَالَ: ثُمَّ لَمْ يَقُمْ بِنَا شَيْئًا مِنْ بَقِيَّةِ الشَّهْرِ
Kami berpuasa bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada bulan ramadhan. Beliau tidak pernah mengimami shalat malam sama sekali, hingga ramadhan tinggal 7 hari. Pada H-7 beliau mengimami kami shalat malam, hingga berlalu sepertiga malam. Kemudian pada H-6, beliau tidak mengimami kami. Hingga pada malam H-5, beliau mengimami kami shalat malam hingga berlalu setengah malam. Kamipun meminta beliau, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana jika kita tambah shalat tarawih hingga akhir malam?’ Kemudian beliau bersabda, ‘Barangsiapa yang shalat tarawih berjamaah bersama imam hingga selesai, maka dia mendapat pahala shalat tahajud semalam suntuk.’ Kemudian H-4, beliau tidak mengimami jamaah tarawih, hingga H-3, beliau kumpulkan semua istrinya dan para sahabat. Kemudian beliau mengimami kami hingga akhir malam, sampai kami khawatir tidak mendapatkan sahur. Selanjutnya, beliau tidak lagi mengimami kami hingga ramadhan berakhir. (HR. Nasai dan Ibn Majah)
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ ذَاتَ لَيْلَةٍ مِنْ جَوْفِ اللَّيْلِ فَصَلَّى فِي الْمَسْجِدِ فَصَلَّى رِجَالٌ بِصَلَاتِهِ فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوا فَاجْتَمَعَ أَكْثَرُ مِنْهُمْ فَصَلَّوْا مَعَهُ فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوا فَكَثُرَ أَهْلُ الْمَسْجِدِ مِنْ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّوْا بِصَلَاتِهِ فَلَمَّا كَانَتْ اللَّيْلَةُ الرَّابِعَةُ عَجَزَ الْمَسْجِدُ عَنْ أَهْلِهِ حَتَّى خَرَجَ لِصَلَاةِ الصُّبْحِ فَلَمَّا قَضَى الْفَجْرَ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ فَتَشَهَّدَ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَيَّ مَكَانُكُمْ لَكِنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ فَتَعْجِزُوا عَنْهَا
'Urwah bahwa 'Aisyah radliallahu 'anha mengabarkan kepadanya, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pada suatu malam keluar di tengah malam untuk melaksanakan shalat di masjid, orang-orang kemudian mengikuti beliau dan shalat dibelakangnya. Pada waktu paginya orang-orang membicarakan kejadian tersebut. Kemudian pada malam berikutnya orang-orang yang berkumpul bertambah banyak lalu ikut shalat dengan Beliau. Dan pada waktu paginya orang-orang kembali membicarakan kejadian tersebut. Kemudian pada malam yang ketiga orang-orang yang hadir di masjid semakin bertambah banyak lagi, lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam keluar untuk shalat dan mereka shalat bersama beliau. Kemudian pada malam yang keempat, masjid sudah penuh dengan jama'ah hingga akhirnya beliau keluar hanya untuk shalat Shubuh. Setelah beliau selesai shalat Fajar, beliau menghadap kepada orang banyak membaca syahadat lalu bersabda: "Amma ba'du, sesungguhnya aku bukannya tidak tahu keberadaan kalian (semalam). Akan tetapi aku takut shalat tersebut akan diwajibkan atas kalian, sementara kalian tidak mampu."
[HR. Bukhari dan Muslim]
عن جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي شَهْرِ رَمَضَانَ ثَمَانِ رَكَعَاتٍ وَأَوْتَرَ ، فَلَمَّا كَانَتِ الْقَابِلَةُ اجْتَمَعْنَا فِي الْمَسْجِدِ وَرَجَوْنَا أَنْ يَخْرُجَ ، فَلَمْ نَزَلْ فِيهِ حَتَّى أَصْبَحْنَا ، ثُمَّ دَخَلْنَا ، فَقُلْنَا : يَا رَسُولَ اللهِ ، اجْتَمَعْنَا الْبَارِحَةَ فِي الْمَسْجِدِ ، وَرَجَوْنَا أَنْ تُصَلِّيَ بِنَا ، فَقَالَ : إِنِّي خَشِيتُ أَنْ يُكْتَبَ عَلَيْكُمْ
Jabir bin Abdillah berkata : Rosulullah SAW pernah sholat bersama kami di bulan romadlon (sebanyak) Delapan rekaat dan witir, maka pada hari berikutnya kami kumpul di masjid dan mengharap beliau keluar tapi beliau tidak keluar hingga masuk waktu pagi kemudian kami masuk kepadanya, lalu kami berkata : “Ya Rosulullah, tadi malam kami berkumpul di masjid dan kami harapkan engkau mau sholat bersama kami. Lalu beliau bersabda : Sesungguhnya aku khawatir (sholat ini) diwajibkan atas kamu sekalian.
[HR. Thabrani, Ibn Hiban dan Ibn Khuzaymah]
Namun demikian, yang lebih utama adalah seperti yang dijelaskan hadits ini:
عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اتَّخَذَ حُجْرَةً قَالَ حَسِبْتُ أَنَّهُ قَالَ مِنْ حَصِيرٍ فِي رَمَضَانَ فَصَلَّى فِيهَا لَيَالِيَ فَصَلَّى بِصَلَاتِهِ نَاسٌ مِنْ أَصْحَابِهِ فَلَمَّا عَلِمَ بِهِمْ جَعَلَ يَقْعُدُ فَخَرَجَ إِلَيْهِمْ فَقَالَ قَدْ عَرَفْتُ الَّذِي رَأَيْتُ مِنْ صَنِيعِكُمْ فَصَلُّوا أَيُّهَا النَّاسُ فِي بُيُوتِكُمْ فَإِنَّ أَفْضَلَ الصَّلَاةِ صَلَاةُ الْمَرْءِ فِي بَيْتِهِ إِلَّا الْمَكْتُوبَةَ
Zaid bin Tsabit, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam membuat satu ruangan." Busr berkata, "Aku menduga Zaid bin Tsabit berkata, 'Membuat tikar pada bulan Ramadan, lalu beliau melaksakan shalat malam di (kamar atau tikar) tersebut dalam beberapa malam. Kemudian para sahabat mengikuti shalat beliau. Ketika mengetahui apa yang mereka lakukan beliau pun berdiam di rumah, setelah itu beliau keluar seraya berkata kepada mereka: "Sungguh aku telah mengetahui sebagaimana aku lihat apa yang kalian lakukan. Wahai manusia, shalatlah kalian di rumah-rumah kalian, sesungguhnya shalat yang paling utama adalah shalatnya seseorang yang dilakukannya di rumahnya, kecuali shalat fardlu."
[HR. Bukhari]
Disampaikan Oleh Ust. Dadang Syaripudin
di Grup Facebook Warga Muhammadiyah
Mengisti'adzahi Ketika Bayi Telah Lahir Serta Tidak Mengadzani dan Mengiqomatinya
A. Dalil-dalil yang menerangkan tentang mengisti'âdzhahi ketika bayi telah lahir
Al-Hâfizh an-Nawawî berkata dalam Raudhah al-Muhadditsîn: "Membaca isti'âdzah bagi Bayi yang baru dilahirkan hukumnya MUSTAHABB (disukai/ dicintai oleh Nabi SAW)".[1]
Adapun dalil-dalil yang menerangkan dan menjelaskan mustahabbnya membaca isti'âdzah ketika Bayi telah dilahirkan yaitu sebagaimana di bawah ini:
Allâh SWT. berfirman dalam Surat âli-'Imrân (3), Ayat: 36
فَلَمَّا وَضَعَتْهَا قَالَتْ رَبِّ إِنِّيْ وَضَعْتُهَا أُنْثَى وَاللهُ أَعْلَمُ بِمَا وَضَعَتْ وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَالأُنْثَى وَإِنِّيْ سَمَّيْتُهَا مَرْيَمَ وَإِنِّيْ أُعِيْذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ (٣٦)
36. Maka tatkala isteri 'Imrân melahirkan anaknya, dia (isteri 'Imrân) pun berkata: "Ya Tuhan (Allâh) ku, sesunguhnya aku (isteri 'Imrân) melahirkannya seorang anak perempuan; dan Allâh lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu; dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan. Sesungguhnya aku (isteri 'Imrân) telah menamai dia Maryam dan aku (isteri 'Imrân) memohon perlindungan untuknya (untuk Maryam) serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau (Allâh) dari Setan yang terkutuk".[2]
Al-Hâfizh al-Hâkim meriwayatkan dalam al-Mustadrak 'alâ ash-Shahîhaynya (No.Hadis: 4158):
أَخْبَرَنِيْ إِسْمَاعِيْلُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ الْفَضْلِ بْنِ مُحَمَّدٍ الشَّعْرَانِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا جَدِّيْ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُوْ ثَابِتٍ مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدِ اللهِ الْمَدَائِنِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيْلُ بْنُ جَعْفَرٍ، عَنْ يَزِيْدَ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ قُسَيْطٍ، عَنْ أَبِيْهِ، عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كُلُّ وَلَدِ آدَمَ الشَّيْطَانُ نَائِلٌ مِنْهُ تِلْكَ الطَّعْنَةَ, وَلَهَا يَسْتَهِلُّ الْمَوْلُوْدُ صَارِخًا، إِلَّا مَا كَانَ مِنْ مَرْيَمَ وَابْنِهَا. فَإِنَّ أُمَّهَا حِيْنَ وَضَعَتْهَا يَعْنِيْ أُمَّهَا قَالَتْ: إِنِّيْ أُعِيْذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ. فَضَرَبَ دُوْنَهَا الْحِجَابَ فَطَعَنَ فِيْهِ. فَتَقَبَّلَهَا رَبُّهَا بِقَبُوْلٍ حَسَنٍ, وَأَنْبَتَهَا نَبَاتًا حَسَنًا. وَهَلَكَتْ أُمُّهَا فَضَمَّتْهَا إِلَى خَالَتِهَا أُمِّ يَحْيَى.
قَالَ الْحَاكِمُ: هَذَا حَدِيْثٌ صَحِيْحُ الْإِسْنَادِ, وَلَمْ يُخَرِّجَاهُ. فَوَافَقَهُ الذَّهَبِيْ.
"Ismâ'îl bin Muhammad bin al-Fadhal bin Muhammad asy-Sya'rânŷ telah mengabarkan saya (mengabarkan al-Hâkim), dia (Ismâ'îl bin Muhammad bin al-Fadhal bin Muhammad asy-Sya'rânŷ) berkata: "Kakekku (namanya yaitu: al-Fadhal bin Muhammad asy-Sya'rânŷ) telah bercerita kepada kami (kepada Ismâ'îl bin Muhammad bin al-Fadhal bin Muhammad asy-Sya'rânŷ), dia (al-Fadhal bin Muhammad asy-Sya'rânŷ) berkata: "Abû Tsâbit Muhammad bin 'Ubaidillâh al-Madâinŷ telah bercerita kepada kami (kepada al-Fadhal bin Muhammad asy-Sya'rânŷ), dia (Abû Tsâbit Muhammad bin 'Ubaidillâh al-Madâinŷ) berkata: "Ismâ'îl bin Ja'far telah bercerita kepada kami (kepada Abû Tsâbit Muhammad bin 'Ubaidillâh al-Madâinŷ), dari Yazîd bin 'Abdullâh bin Qusaith, dari bapaknya (namanya yaitu: 'Abdullâh bin Qusaith), dari Abû Hurayrah, dia (Abû Hurayrah) berkata: "Rasûlullâh SAW. bersabda: "Setiap anak-cucu (Nabi) Âdam (ketika dilahirkan) ditusuk-tusuk Setan, (karena tusukan Setan tersebut) Bayi (tersebut menangis) sambil berteriak dengan keras; kecuali Maryam dan anaknya (yaitu: Nabi 'Îsâ). Karena sesungguhnya Ibunya (Ibunya Maryam) ketika telah melahirkannya (telah melahirkan Maryam) Ibunya (Ibunya Maryam) berkata: "Sesungguhnya saya (Ibunya Maryam) memohon perlindungan untuknya (untuk Maryam) serta anak-anak keturunannya (anak-anak keturunan Maryam) kepada (pemeliharaan) Engkau (Allâh) dari Setan yang terkutuk. Maka Setan mengganggu pada anggota tubuh lain yang tidak terhijab, kemudian Setan menusuk-nusuk bagian tubuh tersebut. Maka Allâh SWT. mengabulkan doa Ibu Maryam. Kemudian Ibu Maryam mendidik dan mengasuh Maryam hingga tumbuh dewasa dan menjadi wanita yang shâlehah (baik). Ketika Ibu Maryam wafat, Maryam dititipkan ke Bibinya yaitu: Ummu Yahyâ".
"Al-Hâfizh al-Hâkim berkata: "Hadis ini sanadnya shahîh, (akan tetapi) al-Hâfizh al-Bukhârî dan Muslim tidak meriwayatkan sebagaimana periwayatan al-Hâfizh al-Hâkim. Dan disetujui oleh al-Hâfizh adz-Dzahabî".{HR. Al-Hâkim dalam al-Mustadrak ‘alâ ash-Shahîhaynnya (No. Hadis: 1015). Al-Bayhaqî dalam as-Sunan al-Kubrânya (No. Hadis: 12485). Ibnu Jarîr dalam Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta-wîl ay al-Qurânnya (5/339). Dan al-Mizzî dalam Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ ar-Rijâlnya (No. 7051 atau 32/177)}.[3]
Al-Imâm al-Hâfizh Bukhârî meriwayatkan dalam al-Jâmi’ ash-Shahîh li al-Bukhârînya (No. Hadis: 3120):
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِيْ شَيْبَةَ, قَالَ: حَدَّثَنَا جَرِيْرٌ, عَنْ مَنْصُوْرٍ, عَنِ الْمِنْهَالِ, عَنْ سَعِيْدِ بْنِ جُبَيْرٍ, عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا, قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعَوِّذُ الْحَسَنَ وَالْحُسَيْنَ. وَيَقُوْلُ: إِنَّ أَبَاكُمَا كَانَ يُعَوِّذُ بِهَا إِسْمَاعِيْلَ وَإِسْحَاقَ أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّةِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لَامَّةٍ.
"'Utsmân bin Abî Syaibah telah bercerita kepada kami (kepada al-Bukhârî), dia ('Utsmân bin Abî Syaibah) berkata: "Jarîr telah bercerita kepada kami (kepada 'Utsmân bin Abî Syaibah), dari Manshûr, dari al-Minhâl, dari Sa'îd bin Jubair, dari 'Abdullâh bin 'Abbâs, dia ('Abdullâh bin 'Abbâs) berkata: "Dahulukala Nabi SAW. pernah mengisti'adzahi Hasan dan Husain (cucu Nabi SAW). Kemudian beliau SAW. bersabda: "Sesungguhnya bapak/ moyang kalian berdua (yaitu Nabi Ibrâhîm) dahulukala pernah mengisti'adzahi (Nabi) Ismâ'îl dan (Nabi) Ishâq (dengan doa): "A'ûdzu bi Kalimâtillâhittammâti min Kulli Syaithânin wa Hâmmah, wa Min Kulli 'Ainin Lâmmah". {HR. Bukhârî dalam al-Jâmi’ ash-Shahîh li al-Bukhârînya (No. Hadis: 3120). At-Tirmidzî dalam al-Jâmi’ ash-Shahîh Sunan at-Tirmidzînya (No. Hadis: 1986). Abû Dâwud dalam Sunan Abî Dâwudnya (No. Hadis: 4112). An-Nasâ-î dalam as-Sunan al-Kubrânya (No. Hadis: 7679 dan 10778). Ahmad bin Hanbal dalam Musnad al-Imâm Ahmad Ibn Hanbalnya (No. Hadis: 2308). Al-Hâkim dalamal-Mustadrak ‘alâ ash-Shahîhaynnya (No. Hadis: 4781 dan 8282). Ath-Thabrânîdalam al-Mu’jam al-Awsathnya (No. Hadis: 2275, 4793, 4899, dan 9183). Al-Bayhaqî dalam al-Asmâ wa ash-Shifâtnya (No. Hadis: 401). Al-Bazzâr dalam Musnad al-Bazzâr al-Mansyûrnya (No. Hadis: 5099). Ibnu Abî Syaibah dalam al-Kitâb al-Mushannaf fî al-Ahâdîts wa al-Âtsârnya (No. Hadis: 23577, 29497, dan 29498). Ath-Thahhâwî dalam Syarh Musykil al-Âtsârnya (No. Hadis: 2885). Ibnu Baththah dalamal-Ibânah al-Kubrânya (No. Hadis: 30). Ibnu 'Asâkir dalam Mu'jam asy-Syuyûkhnya (No. Hadis: 408). Al-Baghawî dalam Syarh as-Sunnahnya (No. Hadis: 1417). Dan Ibnu as-Sunnî dalam 'Amal al-Yaum wa al-Laylah Sulûk an-Nabî ma'a Rabbihi 'Azza wa Jalla wa Mu'âsyaratihi ma'a al-'Ibâdnya (No. Hadis: 634)}
PENJELASAN DAN KESIMPULAN:
Sebagaimana pendapat al-Hâfizh an-Nawawî di atas, mengisti'âdzahi Bayi ketika telah lahir adalah perkara yang mustahabb (disukai/ dicintai Nabi SAW); sebagaimana yang terkandung dalam Surat âli-'Imrân (3), Ayat: 36 dan Hadîts Shahîh yang diriwayatkan oleh al-Hâfizh al-Hâkim dan yang lainnya.
Bayi yang baru saja dilahirkan dianjurkan untuk segera diisti'âdzahi, agar Bayi tersebut terlindung dari godaan dan gangguan Setan yang terkutuk; sebagaimana isteri 'Imrân yang mengisti'âdzahi puterinya Maryam, Nabi Ibrâhîm yang mengisti'âdzahi kedua puteranya yaitu: Nabi Ismâ'îl dan Nabi Ishâq, serta sebagaimana Nabi Muhammad yang mengisti'âdzahi kedua cucunya yaitu: Hasan dan Husain.
B. Dha'îf (lemah) dan mawdhû' (palsu) nya Hadis-hadis mengenai mengadzani dan mengiqomati bayi ketika telah lahir
Al-Hâfizh at-Tirmidzî meriwayatkan dalam al-Jâmi' ash-Shahîh Sunan at-Tirmidzînya (No. Hadis: 1436):
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ, قَالَ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيْدٍ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ, قَالَا: أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ, عَنْ عَاصِمِ بْنِ عُبَيْدِ اللهِ, عَنْ عُبَيْدِ اللهِ بْنِ أَبِيْ رَافِعٍ, عَنْ أَبِيْهِ, قَالَ: رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذَّنَ فِيْ أُذُنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ حِيْنَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ بِالصَّلَاةِ.
قَالَ أَبُوْ عِيْسَى: هَذَا حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ.
"Muhammad bin Basysyâr telah bercerita kepada kami (kepada at-Tirmidzî), dia (Muhammad bin Basysyâr) berkata: "Yahyâ bin Sa'îd dan 'Abdurrahmân bin Mahdŷ telah bercerita kepada kami (kepada Muhammad bin Basysyâr), mereka berdua (Yahyâ bin Sa'îd dan 'Abdurrahmân bin Mahdŷ) berkata: "Sufyân ats-Tsaurŷ telah mengabarkan kami (mengabarkan Yahyâ bin Sa'îd dan 'Abdurrahmân bin Mahdŷ), dari 'Âshim bin 'Ubaidillâh, dari 'Ubaidillâh bin Abî Râfi', dari bapaknya (namanya yaitu: Aslam Maulâ Rasûlullâh), dia (Aslam Maulâ Rasûlullâh) berkata: "Saya (Aslam Maulâ Rasûlullâh) telah melihat Rasûlullâh SAW. adzan shalat di Telinga Hasan bin 'Alî bin Abî Thâlib ketika Fâthimah telah melahirkannya (ketika Fâthimah telah melahirkan anaknya yaitu: Hasan)".
"Al-Hâfizh Abû 'Îsâ (at-Tirmidzî) berkata: "Hadis ini berkualitas hasan shahîh". {HR.At-Tirmidzî dalam al-Jâmi’ ash-Shahîh Sunan at-Tirmidzînya (No. Hadis: 1436).Abû Dâwud dalam Sunan Abî Dâwudnya (No. Hadis: 4441). Ahmad bin Hanbal dalam Musnad al-Imâm Ahmad Ibn Hanbalnya (No. Hadis: 22749, 25933, dan 25939). Al-Hâkim dalam al-Mustadrak ‘alâ ash-Shahîhaynnya (No. Hadis: 4827).Ath-Thabrânî dalam al-Mu’jam al-Kabîrnya (No. Hadis: 931 dan 2578). Al-Bayhaqî dalam as-Sunan al-Kubrânya (No. Hadis: 19303). 'Abdurrazzâq dalam al-Mushannafnya (No. Hadis: 7986). Al-Bazzâr dalam Musnad al-Bazzâr al-Mansyûrnya (No. Hadis: 3879). Dan ar-Rûyân dalam Musnad ar-Rûyânînya (No. Hadis: 682)}.[4]
Al-Hâfizh Abû Ya'lâ meriwayatkan dalam Musnad Abî Ya'lânya (No. Hadis: 6780):
حَدَّثَنَا جُبَارَةُ, قَالَ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ الْعَلَاءِ، عَنْ مَرْوَانِ بْنِ سَالِمٍ، عَنْ طَلْحَةَ بْنِ عُبَيْدِ اللهِ، عَنْ حُسَيْنٍ, قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ وُلِدَ لَهُ فَأَذَّنَ فِيْ أُذُنِهِ الْيُمْنَى وَأَقَامَ فِيْ أُذُنِهِ الْيُسْرَى لَمْ تَضُرَّهُ أُمُّ الصِّبْيَانِ.
"Jubârah bin al-Mughallis telah bercerita kepada kami (kepada Abû Ya'lâ), dia (Jubârah bin al-Mughallis) berkata: "Yahyâ bin al-'Allâ telah bercerita kepada kami (kepada Jubârah bin al-Mughallis), dari Marwân bin Sâlim, dari Thalhah bin 'Ubaidillâh, dari Husain bin 'Alî bin Abî Thâlib, dia (Husain bin 'Alî bin Abî Thâlib) berkata: "Rasûlullâh SAW. bersabda: "Barangsiapa yang melahirkan seorang Bayi kemudian ia mengadzani (Bayi tersebut) di Telinga kanannya dan mengiqomati di Telinga kirinya, maka Ummu ash-Shibyân (Jin perempuan) tidak akan memudhorotkannya (membahayakan/ mengganggu Bayi tersebut)". {HR. Abû Ya'lâdalam Musnad Abî Ya'lânya (No. Hadis: 6780). Dan Ibnu as-Sunnî dalam 'Amal al-Yaum wa al-Laylah Sulûk an-Nabî ma'a Rabbihi 'Azza wa Jalla wa Mu'âsyaratihi ma'a al-'Ibâdnya (No. Hadis: 623)}.[5]
Imâm al-Baghawî meriwayatkan dalam Syarh as-Sunnahnya (No. Hadis: 2822):
رُوِيَ أَنَّ عُمَرَ بْنَ عَبْدِ الْعَزِيْزِ كَانَ يُؤَذِّنُ فِي الْيُمْنَى وَيُقِيْمُ فِي الْيُسْرَى, إِذَا وُلِدَ الصَّبِيُّ.
"Diriwayatkan bahwasannya apabila lahir seorang Bayi, 'Umar bin 'Abdul 'Azîz adzan di Telinga kanan dan iqamah di Telinga kiri". {HR. al-Baghawî dalam Syarh as-Sunnahnya (No. Hadis: 2822)}.[6]
PENJELASAN DAN KESIMPULAN:
Adapun perkataan al-Hâfizh at-Tirmidzî yang menyatakan bahwa Hadis yang ia (al-Hâfizh at-Tirmidzî) riwayatkan berkualitas hasan shahîh adalah keliru (salah). Al-Hâfizh adz-Dzahabî membantah pernyataan hasan shahîh al-Hâfizh at-Tirmidzî dalamat-Ta'lîq min Talkhîsh adz-Dzahabî (No. Hadis: 4827) seraya berkata: "'Âshim bin 'Ubaidillâh bin 'Âshim adalah perawi yang dha'îf (lemah)"[7]. Juga dibantah oleh al-Hâfizh Ibnu Qaŷim al-Jauziŷah dalam al-Insyirâh fî Adâb an-Nikâh, Zâd al-Ma'âd fî Hadyî Khair al-'Ibâdnya (Juz. 4, Bagian Kedua, halaman: 124 - 126) seraya berkata:"Hal itu adalah keanehan dari seorang al-Hâfizh al-Muhaddits sekaliber at-Tirmidzî, karena 'Âshim bin 'Ubaidillâh bin 'Âshim kelemahannya (ke-dha'îf-annya) masyhûr (sangat populer). Dan al-Hâfizh Mâlik bin Anas bersikap keras terhadap 'Âshim bin 'Ubaidillâh bin 'Âshim ".[8]
Oleh karena itu, sebagaimana penjelasan dari al-Hâfizh adz-Dzahabî dan al-HâfizhIbnu Qaŷim al-Jauziŷah, beserta keterangan dari para Huffâzh dan Muhadditsînmengenai ihwal para perawi dan kualitas ketiga Hadis di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ketiga Hadis yang menerangkan mengenai mengadzani dan mengiqamati Bayi ketika telah lahir adalah Hadîts Maudhû' (palsu) dan Dha'îf (lemah), serta tidak dapat dijadikan huĵah (pedoman/ landasan) dalam Syara' Islâm.
[1] Sumber: "Muraqâh al-Mafâtîh Syarh Misykâh al-Mashâbîh", karya: al-Mulâ 'Alî al-Qârî (No.Hadis: 4157).
[2] Surat âli-'Imrân (3), Ayat: 36.
[3] Hadis riwayat al-Hâfizh al-Hâkim di atas berkualitas shahîh, karena semua perawinyatsiqqah (kredibel ke-‘âdl-an dan ke-dhabith-annya). Hadis riwayat al-Hâfizh al-Hâkim ini di-shahîh-kan oleh: al-Hâfizh adz-Dzahabî dalam at-Ta'lîq min Talkhîsh adz-Dzahabî (No. Hadis: 4158). Danal-Hâfizh al-Hâkim dalam al-Mustadrak ‘alâ ash-Shahîhaynnya (No. Hadis: 4158).
Hadis riwayat al-Hâfizh al-Hâkim di atas memiliki syawâhid (penguat-penguat) yang diriwayatkan oleh: al-Hâfizh al-Bukhârî dalam al-Jâmi’ ash-Shahîh li al-Bukhârînya (No. Hadis: 3044, 3177, dan 4184). Muslim dalam al-Jâmi’ ash-Shahîh li Muslimnya (No. Hadis: 4363, 4364, dan 4365). Ahmad bin Hanbal dalam Musnad al-Imâm Ahmad Ibn Hanbalnya (No. Hadis: 6885, 7383, 7574, 7906, 8459, dan 10355). Ibnu Hibbân dalam Shahîh Ibn Hibbân bi Tartîb Ibn Balbân (No. Hadis: 6234 dan 6235). Ath-Thabrânî dalam al-Mu’jam al-Awsathnya (No. Hadis: 6784). Ibnu Abî Syaibah dalam al-Kitâb al-Mushannaf fî al-Ahâdîts wa al-Âtsârnya (No. Hadis: 31496). Abû Ya'lâdalam Musnad Abî Ya'lânya (No. Hadis: 5971). Al-Humaidî dalam Musnad al-Humaidînya (No. Hadis: 1072).
[4] Hadis riwayat at-Tirmidzî di atas berkualitas dha'îf (lemah) dan munkar, karena ada salah seorang perawi yang bernama: "'ÂSHIM BIN 'UBAIDILLÂH BIN 'ÂSHIM" yang dinilai dha'îf (lemah) dan munkar oleh: al-Hâfizh Sufyân bin 'Uyaynah berkata: "Karena keburukan 'Âshim bin 'Ubaidillâh bin 'Âshim, maka Hadisnya menjadi jatuh (cacat)". Al-Hâfizh Ibnu Mahdî berkata: "Saya (al-Hâfizh Ibnu Mahdî) sangat mengingkari Hadis 'Âshim bin 'Ubaidillâh bin 'Âshim". Al-Hâfizh Yahyâ bin Ma'în berkata: "Hadisnya 'Âshim bin 'Ubaidillâh bin 'Âshim lemah (dha'îf) dan tidak dapat dijadikan huĵah (pedoman/ landasan)". Al-Hâfizh al-Bukhârî dan al-Hâfizh Abû Hâtim ar-Râzî berkata:"Hadisnya 'Âshim bin 'Ubaidillâh bin 'Âshim munkar". Al-Hâfizh Muhammad bin Sa'd berkata:"Hadisnya 'Âshim bin 'Ubaidillâh bin 'Âshim tidak dibutuhkan". Al-Hâfizh al-Bazzâr dan al-HâfizhIbnu Hajar al-'Asqalânî berkata: "Hadisnya 'Âshim bin 'Ubaidillâh bin 'Âshim lemah (dha'îf)". Al-Hâfizh Ibnu Hibbân berkata: "'Âshim bin 'Ubaidillâh bin 'Âshim hafalannya buruk, banyak cacat, oleh karena itu maka tinggalkanlah Hadis-hadis 'Âshim bin 'Ubaidillâh bin 'Âshim". {Sumber:"Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ ar-Rijâl", karya: al-Hâfizh al-Mizzî: (No. 3014)}. Serta {Sumber:"Tahdzîb at-Tahdzîb", karya: al-Hâfizh Ibnu Hajar al-'Asqalânî: (5/48)}.
Hadis riwayat at-Tirmidzî di atas di-dha'îf-kan oleh: al-Hâfizh adz-Dzahabî dalam at-Ta'lîq min Talkhîsh adz-Dzahabî (No. Hadis: 4827). Al-Hâfizh Ibnu Taymiŷah dalam al-Kalam ath-Thaŷîbnya (No: 211). Al-Hâfizh Ibnu Qaŷim al-Jauziŷah dalam al-Insyirâh fî Adâb an-Nikâh, Zâd al-Ma'âd fî Hadyî Khair al-'Ibâdnya (Juz. 4, Bagian Kedua, halaman: 124 - 126). Dan dinilai mawdhû'(palsu) oleh: al-Hâfizh Muhammad Nâshiruddîn al-Albânî dalam Silsilah al-Ahâdîts adh-Dha'îfah wa al-Mawdhû'ah wa Atsaruhâ as-Saŷi-u fî al-Ummahnya (No: 6121).
[5] Hadis riwayat Abû Ya'lâ di atas berkualitas mawdhû' (palsu), karena ada 3 orang perawi yang bernama: "JUBÂRAH BIN AL-MUGHALLIS", "YAHYÂ BIN AL-'ALÂ", serta "MARWÂN BIN SÂLIM AL-GHIFFÂRŶ ASY-SYÂMŶ" yang dinilai sebagai Pemalsu dan Pendusta Hadis oleh: al-Hâfizh Ahmad bin Hanbal berkata: "Hadisnya Jubârah bin al-Mughallis palsu (mawdhû'), ia (Jubârah bin al-Mughallis) adalah seorang pendusta (Kadzdzâb)". Al-Hâfizh al-Bukhârî berkata: "HadisnyaJubârah bin al-Mughallis mudhtharib (guncang)". Al-Hâfizh Abû Hâtim ar-Râzî berkata: "HadisnyaJubârah bin al-Mughallis hancur (karena penuh 'illat)". Al-Hâfizh Muhammad bin Sa'd, al-HâfizhIbnu Hajar al-'Asqalânî, dan al-Hâfizh adz-Dzahabî berkata: "Hadisnya Jubârah bin al-Mughallislemah (dha'îf)". Al-Hâfizh Abû Dâwud berkata: "Hadisnya Jubârah bin al-Mughallis munkar". Al-Hâfizh ad-Dâruquthnî berkata: "Jubârah bin al-Mughallis matrûk (tertuduh berdusta)". Al-HâfizhIbnu Hibbân berkata: "Jubârah bin al-Mughallis suka memaqlûbkan (membolak-balikkan) sanad Hadis, memarfû'kan Hadis-hadis Mursal, bahkan lebih dari itu Hadisnya Jubârah bin al-Mughallisbâthil (sesat)". Al-Hâfizh Ibnu Numair berkata: "Jubârah bin al-Mughallis suka memalsukan Hadis". {Sumber: "Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ ar-Rijâl", karya: al-Hâfizh al-Mizzî: (No. 891)}. Serta {Sumber: "Tahdzîb at-Tahdzîb", karya: al-Hâfizh Ibnu Hajar al-'Asqalânî: (2/58)}.
Al-Hâfizh Wakî' bin al-Jarâh dan al-Hâfizh Ahmad bin Hanbal berkata: "Yahyâ bin al-'Alâseorang pendusta dan pemalsu Hadis". Al-Hâfizh al-Bukhârî, al-Hâfizh 'Amrû bin al-Fallâs, al-Hâfizhan-Nasâî, dan al-Hâfizh ad-Dâruquthnî berkata: "Yahyâ bin al-'Alâ matrûk (tertuduh dusta)". Al-Hâfizh Abû Zar'ah ar-Râzî, dan al-Hâfizh Abû Dâwud berkata: "Hadisnya Yahyâ bin al-'Alâ lemah (dha'îf)". Al-Hâfizh Ibnu Hajar al-'Asqalânî berkata: "Yahyâ bin al-'Alâ dituduh memalsukan Hadis".Al-Hâfizh adz-Dzahabî berkata: "Tinggalkan Yahyâ bin al-'Alâ". {Sumber: "Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ ar-Rijâl", karya: al-Hâfizh al-Mizzî: (No. 6895)}. Serta {Sumber: "Tahdzîb at-Tahdzîb", karya:al-Hâfizh Ibnu Hajar al-'Asqalânî: (11/262)}.
Al-Hâfizh Ahmad bin Hanbal dan al-Hâfizh an-Nasâî berkata: "Marwân bin Sâlim al-Ghiffârŷ asy-Syâmŷ tidak tsiqqah (tidak kredibel ke-'adl-an dan ke-dhabith-annya)". Al-Hâfizh al-Bukhârî, al-Hâfizh Muslim bin al-Haĵâj, al-Hâfizh Abû Nu'aim al-Ashbahânî, al-'Uqaylî, dan al-Baghawî berkata: "Hadisnya Marwân bin Sâlim al-Ghiffârŷ asy-Syâmŷ munkar". Al-Hâfizh Murroh,al-Hâfizh an-Nasâî, al-Hâfizh ad-Dâruquthnî, dan al-Hâfizh Ibnu Hajar al-'Asqalânî berkata:"Marwân bin Sâlim al-Ghiffârŷ asy-Syâmŷ matrûk (tertuduh berdusta)". Al-Hâfizh as-Sâjî berkata:"Marwân bin Sâlim al-Ghiffârŷ asy-Syâmŷ seorang pendusta dan pemalsu Hadis". Al-Hâfizh Ibnu Hibbân berkata: "Marwân bin Sâlim al-Ghiffârŷ asy-Syâmŷ suka meriwayatkan Hadis-hadis Munkar, dan tidak sah/ tidak diterima berhuĵah dengan Hadis-hadis Marwân bin Sâlim al-Ghiffârŷ asy-Syâmŷ". {Sumber: "Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ ar-Rijâl", karya: al-Hâfizh al-Mizzî: (No. 5873)}. Serta {Sumber: "Tahdzîb at-Tahdzîb", karya: al-Hâfizh Ibnu Hajar al-'Asqalânî: (10/93)}.
Hadis riwayat Abû Ya'lâ di atas dinilai mawdhû' (palsu) oleh: al-Hâfizh Ibnu Taymiŷah dalamal-Kalam ath-Thaŷîbnya (No: 212). Al-Hâfizh Ibnu Qaŷim al-Jauziŷah dalam al-Insyirâh fî Adâb an-Nikâh, Zâd al-Ma'âd fî Hadyî Khair al-'Ibâdnya (Juz. 4, Bagian Kedua, halaman: 124 - 126). Dan al-Hâfizh Muhammad Nâshiruddîn al-Albânî dalam Silsilah al-Ahâdîts adh-Dha'îfah wa al-Mawdhû'ah wa Atsaruhâ as-Saŷi-u fî al-Ummahnya (No: 321).
[6] Hadis riwayat al-Baghawî di atas berkualitas mawdhû' (palsu), karena tidak memiliki Sanad Hadîts; al-Hâfizh Ibnu Hajar al-'Asqalânî berkata: "Atsar 'Umar bin 'Abdul 'Azîz (riwayat al-Baghawî) di atas tidak memiliki Sanad Hadis (palsu)". {Sumber: "Tuhfah al-Ahwadzî bi Syarh Jâmi' at-Tirmidzî", karya: al-Hâfizh al-Mubârakfûrî: (No. Hadis: 1436)}.
[7] Sumber: "at-Ta'lîq min Talkhîsh adz-Dzahabî", (No. Hadis: 4827).
[8] Sumber: "al-Insyirâh fî Adâb an-Nikâh, Zâd al-Ma'âd fî Hadyî Khair al-'Ibâd", karya:al-Hâfizh Ibnu Qaŷim al-Jauziŷah (Juz. 4, Bagian Kedua, halaman: 124 - 126).
Penulis: Jati Sarwo Edi
Penulis: Jati Sarwo Edi
Langganan:
Postingan (Atom)