REKOR melihat hilal paling tipis bukan dilakukan oleh para perukyat hilal yang muslim, melainkan oleh para Astrofotografer non muslim. Motivasi mereka, tentu saja bukan untuk menjadi ‘petugas rukyat’ yang andal dalam menetapkan awal bulan Ramadan atau Syawal, melainkan karena menerima tantangan untuk memecahkan rekor dalam ajang Astrofotografi dunia.
Adalah Thierry Legault, Astrofotografer asal Perancis yang berhasil memotret bulan sabit tertipis dalam sejarah manusia. Ia memotret bulan sabit itu pada tanggal 8 Juli 2013 baru lalu, persis saat bulan sedang beralih dari Syakban menuju Ramadan. Yakni, di sekitar pk. 07:14 GMT. Sedangkan Astrofotografer lainnya adalah Martin Elsässer dari Jerman.
Agaknya bukan sebuah kebetulan, Legault memecahkan rekor di saat-saat umat Islam seluruh dunia sedang ‘heboh’ menetapkan awal bulan suci Ramadan. Karena dalam website-nya, ia menuliskan keterangan bahwa peralihan posisi bulan itu adalah penanda datangnya bulan suci Ramadan bagi umat Islam. Yang pasti, dia tahu bahwa saat-saat seperti itu adalah momen kontroversial.
Di sejumlah negara, ada yang menetapkan tanggal 9 Juli 2013 sebagai awal Ramadan, dan lainnya menetapkan pada tanggal 10 Juli 2013, dengan alasan hilal tidak terlihat. Maka, tantangan memecahkan rekor pun dimulai. Bukan membuktikan hilal di sekitar matahari tenggelam, melainkan di sekitar peristiwa konjungsi alias ijtimak. Kenapa tidak di sekitar matahari tenggelam? Bagi seorang fotografer profesional, saat-saat menjelang maghrib itu kurang menantang, karena cuaca sudah mulai meredup. Apalagi, jika usia hilal sudah beberapa jam, pasti akan dengan mudah tertangkap oleh kamera mereka dari tempat yang tepat.
Yang paling menantang justru adalah di sekitar konjungsi atau ijtimak, yang terjadi di pagi atau siang hari. Saat itu, cahaya matahari masih sedemikian kuatnya. Sehingga cahaya latar langit di sekitar hilal itu sedemikian tingginya. Diinformasikan oleh Legault, cahaya latar di langit pada waktu itu sekitar 400 kali dibanding cahaya obyek (hilal), jika dilihat dalam parameter inframerah. Atau, sekitar 1000 kali obyek jika dilihat dalam parameter cahaya tampak. Tentu, ini tidak akan bisa diamati dengan menggunakan mata telanjang. Karena, pasti sangat menyilaukan mata kita.
Tetapi, justru disitulah tantangannya. Dengan menggunakan sistem peralatan fotografinya, Legault berhasil mengabadikan hilal super tipis – hampir nol – yang hanya berusia beberapa menit setelah konjungsi. Berbeda dengan hilal sore hari yang ‘telentang’, bentuk sabit yang dipotretnya ‘telungkup’ karena pemotretannya dilakukan pada pagi hari, dimana posisi semu matahari berada di atas bulan. Lebih detil, silakan kunjungi website: http://legault.perso.sfr.fr/new_moon_2013july8.html. Atau website lainnya:http://www.mondatlas.de/other/martinel/sicheln2008/mai/mosi20080505.html.
Karya fenomenal ini, tentu saja sangat menarik perhatian kita. Khususnya, karena tahun ini terjadi perbedaan penetapan awal bulan Ramadan antara penganut hisab dan rukyat di Indonesia. Para penganut hisab meyakini awal Ramadan jatuh pada 9 Juli 2013 lewat perhitungan, sedangkan penganut rukyat menetapkan 10 Juli 2013 dengan alasan hilal tidak kelihatan di tanggal 8 Juli 2013.
Secara empiris, karya Legault ini telah mematahkan Imkan Rukyat yang memasang kriteria 2 derajat dan usia bulan 8 jam agar bisa dilihat mata. Dengan sederhana Legault telah membuktikan bahwa usia hilal yang beberapa menit pun sudah bisa dipotret. Yang jika diterjemahkan ke dalam ketinggian hilal di atas horison, sudah hampir nol derajat. Dan kalau dikonkretkan lebih jauh, bisa menjadi sebuah simulasi ijtimak menjelang maghrib, sebagai penanda datangnya Ramadan. Atau, dalam istilah rukyat bil ‘ilmi dikenal sebagai Ijtimak Qablal Ghurub (IQG).
Tanpa harus berpikir kalah dan menang antara pihak-pihak yang berkontroversi, kabar ini tentu sangat menggembirakan bagi umat Islam. Dan diharapkan akan menjadi jalan untuk mendekatkan hasil hisab dan rukyat. Tentu saja, jika para pengguna metode rukyat cukup berbesar hati menggunakan teknologi ini. Misalnya, tahun depan pemerintah Indonesia mengundang Thierry Legault dan sejumlah Astrofotografer untuk datang ke Indonesia, dan meminta mereka menjadi bagian dari tim rukyat. Tugasnya adalah membuktikan apakah hilal memang bisa dilihat dan dipotret jika ketinggiannya di bawah 2 derajat saat usianya di bawah 8 jam. Atau, sebenarnya, boleh juga rukyatul hilal itu dilakukan di luar bulan Ramadan sebagai uji coba.
Kebetulan, tahun 2014 ijtimak bulan Syakban akan terjadi pada 27 Juni, pk.15:09 wib. Dan maghribnya pk. 17.48 wib. Jadi usia hilal tidak akan sampai 3 jam, dengan ketinggian hanya sekitar 0,5 derajat di atas horison. Sudah pasti tidak akan kelihatan oleh mata telanjang, dikarenakan lemahnya cahaya hilal yang sangat tipis. Tetapi, akan cukup kelihatan dan bisa diabadikan dalam bentuk foto atau video, jika menggunakan teknologi mereka.
Logikanya, kalau memotret hilal beberapa menit setelah ijtimak saja bisa, apalagi memotret hilal yang sudah berusia beberapa jam. Itupun, dalam suasana langit yang sudah jauh lebih redup dibandingkan siang hari seperti yang terjadi tanggal 8 Juli 2013 tersebut. Tentu, akan jauh lebih mudah. Fakta ini benar-benar sangat menggembirakan dan memberikan harapan yang besar untuk menyelesaikan kontroversi yang berlarut-larut di Indonesia, yang mana sudah tidak kelihatan ujung pangkalnya.
Jika ini bisa dilakukan, maka hasil perhitungan dan hasil rukyat akan bertemu di titik yang sama. Dan ini menjadi tafsir yang holistik dari ayat Al Qur’an yang menjelaskan tentang al ahillah (hilal-hilal) sebagai penanda waktu. QS. Al Baqarah (2): 189. ‘’Mereka bertanya kepadamu tentang al ahillah (hilal-hilal). Katakanlah: hilal-hilal itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji…’’
Sungguh menarik, di dalam Al Qur’an Allah tidak pernah menyebut bulan sabit dalam bentuk tunggal al hilal, melainkan dalam bentuk jamak ‘al ahillah’, untuk menjadi pedoman bagi perhitungan penanggalan hijriyah. Ini menunjukkan umat Islam dimotivasi untuk memahami pergerakan bulan secara utuh, sejak sesaat setelah konjungsi sampai konjungsi kembali, dimana bulan akan berdinamika menjadi hilal-hilal dalam berbagai fasenya. Dan karenanya, fase-fase bulan sabit itu bisa digunakan untuk menetapkan kalender yang valid dan berlaku untuk semua, seperti halnya menetapkan waktu-waktu shalat. Tidak ada bedanya lagi antara hisab dan rukyat..!
Akhirnya, saya berharap Ramadan kali ini kita betul-betul memperoleh pelajaran berharga dari perbedaan penetapan awal Ramadan. Allah telah menunjukkan ayat-ayat-Nya di alam semesta, dengan memunculkan karya Thierry Legault sebagai pembelajaran bersama. Saya berharap akan bermunculan para Astrofotografer lokal dan muslim, sehingga tahun depan kita tidak harus mengundang Legault dan kawan-kawannya untuk mengajari kita melakukan rukyatul hilal di Indonesia. Karena, memang seharusnya itu bisa dilakukan oleh orang-orang kita sendiri. Man jadda fa wajada – barangsiapa berusaha sungguh-sungguh, insya Allah dia bakal memperolehnya.Wallahu a’lam bissawab.
(NB: Serial Tafakur Ramadan ini ditulis untuk koran Kaltim Post – Grup Jawa Pos. Dan diposting di sini untuk memberi manfaat lebih luas.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar