Minggu, 23 Desember 2012

ABDUR ROZZAQ FAKHRUDDIN besar, jujur, sederhana


Artikel ini adalah wawancara pak AR ketika beliau masih hidup dengan majalah Jakarta-Jakarta. Semoga dapat menjadi tambahan catatan sejarah umat Islam dan mengingatkan kita kepada kearifan ulama-ulama besar yang pernah kita miliki di tengah-tengah paceklik ulama besar yang sedang kita alami pada saat ini.

Inilah pemimpin organisasi Muhammadiyah yang besar itu. Orangnya sederhana saja. Ia biasa berbaju putih dan bersandal kulit dan menyampalkan dakwah lewat humor. Memang, Pak AR – panggilan akrabnya – orang yang disukai. Mungkin itu pula sebabnya, ia awet jadi ketua. Ia dikenal mampu merangkul berbagai pihak dalam Muhammadiyah. Soal kemampuan bicara ,dengan semua orang ini pula yang jadi modal kepemimpinan Pak AR. Yang menarik pula, ia tidak bergaya boss atau sok berwibawa dan minta diistimewakan. Sebuah anekdot terkenal menceritakan: Pak AR mengikuti ujian untuk mendapat SIM C. Ketika diharuskan melewati jalur zigzag yang sulit, Pak AR turun dan menuntun Yamaha Bebeknya yang berwarna oranye tapi sudah luntur itu, “Lho, kok dituntun pak?”, dan Pak AR menjawab, “Lha, kalau ketetemu jalan seperti ini, saya memang memilih turun saja, daripada jatuh.” Itulah Pak AR, pemimpin yang betul-betul jujur.
Bagaimana Pak A.R. dulu berkenalan dengan Muhammadiyah?
Ceritanya begini, saya secara kebetulan, mulai kecil belajar di SD Muhammadiyah juga. SD Muhammadiyah Bausasran, Yogya. Baru sampai kelas tiga, saya terpaksa pindah ke SD Muhammadiyah Kota Gede. Karena terus terang, ayah saya itu dulu jatuh. Lalu pindah ke desa.
Jatuh apanya?
Jatuh usahanya. Itu gampangnya saja. Ayah dan ibu turut-turut usaha batik. Tapi sesudah itu, ayah dan ibu lalu kembali ke desa, desa itu di Kecamatan Sewugalur. Lalu saya turut mbakyu di Kota Gede. Tahun 1929 saya tamat dari SD Muhammadiyah, kemudian saya sekolah di Mualimin Muhammadiyah di Yogya. Tapi, hanya dua tahun, karena kebetulan waktu itu saya dipanggil, oleh ayah saya, sekitar tahun 1930-1931. Kemudian tahun 1932 ayah saya meninggal di Sewugalur, itu di desa Wonoketi namanya, kebetulan didirikan sekolah, mamanya sekolah Darul Ulun Muhammadiyah atau semacam onderbouw dari Mualimin Muhammadiyah. Walaupun cuma dua tahun di Yogya, saya di sana seolah-olah menonjol.
Umur berapa waktu itu?
Saya lahir tahun 1916, berarti tahun 1932 kira-kira umur 16 toh? Kemudian saya tamat dari sekolah itu tahun 1935. Kemudian waktu itu, model Muhammadiyah adalah murid-murid dari Yogya dikirim ke mana-mana. Ada yang ke jawa Timur, Palembang, Bengkulu, saya termasuk yang dikirim ke Palembang tahun 1935. Mengenal Muhammadiyah sebenarnya ya tahun itu.
Kapan menyadarinya sebagai satu gerakan?
Di kelas dua terakhir di Darul Ulum, saya sudah mulai menyadari.
Dan itu menarik buat Anda?
Lha, buat saya, entah menarik atau tertarik, nyatanya saya sudah mulai. Seperti di desa itu, walaupun di kampung ya sudah ingin ikut-ikut menegakkan Muhammadiyah. Umpamanya, ma’af ya masyarakat di kampung saya itu, kan Islamnya masih tradisional. Artinya 23 hari, 27 hari, 40 hari selamatan kematian itu kan dianggap agama. Saya waktu itu sudah mulai menerangkan, itu bukan agama. Jadi saya mulai sudah ada kesadaran. Kemudian, apalagi, setelah saya jadi guru menengah di Palembang. Di kampung Palembalai, Tanjung Gajah, Palembang, itu, kira-kira 45 kilometer dari Palembang.
Reaksi orang banyak dulu, terhadap Anda bagaimana?
Bukan kepada saya. Tapi kepada Muhammadiyah. Saya bisa memahami orang-orang itu sekurang-kurangnya tidak senang. Tapi, di desa itu ya, ayah saya disebut Kyai, jadi saya dapat bagian dari kewibawaan ayah saya itu.
Ayah sendiri juga Muhammadiyah?
Belum. Tapi ya sudah setengah-setengah. Ayah saya mengakui memang Kyai Ahmad Dahlan pandai.
Terus pengalaman apa yang Anda alami?
Ketika saya berada di Palembalai, Palembang, ketika mengadakan tablig itu, tempatnya dilempari batu, dilempari telur yang belum menetas. Lalu dilempar kayu, bahkan ada ketika saya sedang mengaji Al-Qur’an, ada yang naik dari bawah, sebab rumah di Palembang rata-rata pakai tangga, rumah panggung, sambil bawa pisau, Saya biarkan saja.
Sama sekali tidak bereaksi?
Dari kita? Oh, tidak, Ya sudah, biarkan saja. Saya sedang membaca Qur’an, tapi ya tidak apa-apa itu. Tengah malamnya setelah selesai pengajian itu, tuan rumah yang dikejar-kejar akhirnya lari karena takut.
Seru ya?
Buat saya, sebagai orang Jawa, ya seru. Rupanya di sana tidak apa-apa. Sudah biasa. Lalu di samping itu, di masyarakat saya sendiri, artinya kampung yang saya tempati di Palembalai itu, saya sampai ditanya, dicurigai. Orang sana kalau memanggil saya, guru. “Guru, guru mau tahu orang yang paling benci pada Muhammadiyah? Itu tho, yang jalan kaki. Namanya Hafid,” kata orang orang. Nah, karena saya diberitahu bahwa itulah orang yang paling benci, kebetulan tiap pagi itu ia. mesti jalan, entah ke kecamatan atau ke mana, saya tidak tahu. Dan saya juga sering berpapasan. Saya sapa, “Assalamu’alaikum.” Dia jawab tidak, melihat saya juga tidak. Terus demikian. Dalam hati saya, kalau saya memberi salam, saya dapat pahala. Dia tidak menjawab, dia yang berdosa. Akhirnya saya terus. Asal bertemu, menyapa, “Assalamu’alaikum.” Sampai berapa lama, saya lupa. Lama lama dia menjawab salam, ya, alhamdulillah. Terus, lama-lama dia menjawab lagi, tapi sekarang sambil melihat saya, “Wa’alaikumsalam.” Lama-lama, besoknya, saya ajak omong, “Tuan ini rumahnya di mana? Boleh saya datang ke rumah?” Dia itu seorang puteh, kalau di Jakarta seperti lebai begitu. Suatu ketika. saya disuruh jadi imam. Saya tanya, “Tuan puteh, kalau sholat pakai ushali nggak?” Ia jawab, “Lho pakai.” Saya jawab lagi, “Saya tidak. Saya makmum saja, sebab nanti kalau saya yang jadi imam, mungkin tuan puteh tidak senang, karena saya tidak pakai ushali,” Lama lama, karena saya sering ke situ, dia tanya sama saya, “Pak, saya mau tanya boleh nggak? Guru ini orang Muhammadiyah, betul nggak?” Saya jawab saja, “Oh betul, tulen. Saya ini mulai kecil sekolah Muhammadiyah. Saya menjadi guru, juga guru Muhammadiyah. Ada apa?” Katanya, “Begini, di sini Muhammadiyah kan sudah lama. Sudah tiga. empat tahun. Dulu, guru yang di sini nggak ada yang datang pada saya. Tapi guru ini lain.” Saya jawab lagi, “Kenapa lain? Kita ini kan orang Islam, Sama-sama orang Islam kan bersaudara. Tapi saya mempunyai pendirian, dan saya bermuhammadiyah.” Pernah pada suatu ketika, saya dipanggil, disuruh memberi pengajian. Menerangkan tentang surat Yassin, Jadi, khasiatnya surat Yassin. Kelabakan saya. Saya tak mengerti itu. Saya mulai dari kecil sudah di Muhammadiyah, di Muhammadiyah tidak ada itu. Surat Yassin seolah-olah dikultuskan. Sehingga dikatakan lagi, semua pakai Yassin kok. Ada orang mau mati dibacakan surat Yassin, ada anak lahir surat Yassin. Ada pindah rumah pakai surat Yassin, kan sampai sekarang ya, mungkin ya, mahasiswa-mahasiswa yang orang sana itu, ya, kalau mau ujian baca Yassin, kalau mau pacaran ya semua begitu.
Sudah, Saya tidak mengerti ini. Tapi dalam hati saya, orang ini memanggil saya berarti sudah bersimpati pada saya. Ya, baik. Pendeknya, ibarat orang maju dengan tangan kosong. Karena memang Muhammadiyah sendiri tiap hal begitu harus diberantas. Sampai saya pada hari libur pergi ke Palembang. Cari fadlilahnya surat Yassin, saya tidak percaya karena itu bukan dari hadits.
Kalau bisa dirumuskan, hambatan apa yang paling jadi persoalan bagi Muhammadiyah?
Aa itu gini. Kyai Dahlan mendirikan Muhammadiyah, sesungguhnya nama Muhammadiyah itu artinya golongan Muhammad atau pengikut Muhammad, ingin menegakkan agar dalam beragama itu menurut Muhammad. Toh, Kyai Dahlan mempunyai satu pendirian kalau ini agama Allah, bukan ciptaan manusia. Nah, yang paling mengabdi kepada agama. Islam itu, Muhammad. Oleh karena itu Kyai Dahlan punya pendirian, mengerjakan agama itu ya, menurut Muhammad. Tapi kehidupan masyarakat Islam di Indonesia, itu hidupnya atas dasar mutakhliq. Mutakhliq itu artinya pengikut secara mutlak apa yang dikatakan Kyai. Agama itu harus ada dasarnya. Orang sholat pakai ushali, kalau mereka ditanya kenapa memakai ushali, ndak ngerti. Ya, begitulah Kyai mengajar. Dari situ banyak pelajaran dalam agama yang umat Islam merasakan, itu semua bukan atas dasar Qur’an dan hadis, tapi cuma pengertian dari Kyai. Jadi kalau kita tanya mengapa saudara. kalau habis wudhlu berdo’a, tanya darimana itu? Nggak ngerti. Doanya juga sudah panjang, Kalau dilihat dari hadits itu cuma “Asyhadu alla illaha illallah wa asyhadu anna Muhammadur Rasullullah”, Tapi mereka selalu berbuat, Allahumma waj’alni mintaawabbina waj’alni… Kalau itu ditanya dari mana? Tidak ngerti. Kami sebagai orang Muhammadiyah, lebih-lebih sebagai Kyai, kembali pada Al-Qur’an dan Hadits.
Agama itu sudah sempurna oleh Nabi. Sudah,disempurnakan oleh Allah. Jadi nanti kalau berhubungan dengan praktek, kyai-kyai itu nanti ada yang dicampur dengan unsur untuk mencari penghidupan. Misalkan sakit dua bulan, lalu tidak shalat. Kita tanya, “Bisa ndak diganti” jawab Kyai itu “Bisa coba kita hitung dua bulan. Sehari semalam shalatnya lima kali, jadi dalam satu bulan 150 kali. Kalau dua bulan 300 kali. Ingin kamu tebus 300 itu dikali 10 kilogram beras jadi 3.000.” Kita jawab, “Wah, sudah, susah deh Kyai.” “Ya, lalu bisanya berapa?” tanya Kyai. Dijawab lagi, “Cuma 50 kilogram,” Kyai akan berkata, “Sudah, 50 kilogram, bawa beras itu. Ini beras buat menebus dosa-dosa ayahmu.” “Ya, saya terima, pak Kyai.” Lalu orang itu diberitahu kepada orang nomor dua, “Ini beras saya. Saya titipkan pada saudara untuk menebus shalat ayah saya.” “Ya.”  Lalu diberikan lagi kepada yang lain… terus… terus begitu sampai shalat yang terakhir tertebus. “Saya bawa ini untak fitrah, tapi saya tidak bawa beras 21/2 kilogram beras ini buat fitrah. Boleh saya beli? Boleh. Umpamanya, beras 21/2. kilogram mestinya harganya umpama 50 kali 21/2 jadi Rp 1.250. Tapi apa harga saudara itu… apa boleh saya beli, Rp 750? …”Oo boleh, sebab tahu mau diberikan pada saya. Jadi Kyai itu mempunyai penghasilan dari agama. Pertama kali Muhammadiyah berdiri semua itu ditertibkan. Ya… kyai-kyai pertamanya khawatir, karena penghasilannya terancam. Kalau yang lain-lain berkat dibawa pulang, Kyai tidak, mesti ada yang dapat makan dan mungkin juga. dapat uang. Kalau shalat mayit, nanti kalau masing-masing Rp 1.000 kalau sampai kyai jadi Rp 10.000. Sejak Muhammadiyah berdiri itu semua boleh. Muhammadiyah tidak. Waktu itu Muhammadiyah cuma untuk keluarga sendiri. Tapi orang-orang itu dengar, betul-betul mendapat reaksi, Sampai orang-orang itu punya fatwa jangan dekat-dekat sama orang-orang Muhammadiyah.
Kalau sekarang, hambatannya apa?
Kalau hambatan itu mesti ada terus, ya. Kalau ada aksi kan mesti ada reaksi. Itu, yang tradisional itu sampai sekarang masih.
Terutama. di daerah mana?
Wah itu,. banyak. Terutama. di pelosok-pelosok. Orang Muhammadiyah itu kan ndak banyak. Di seluruh Indonesia, yang banyak paling Jawa Tengah. Di kota-kota. ada, di pelosok-pelosok, di gunung ada. Tapi, ndak banyak.
Tapi, apa kegiatan memberantasnya ini masih?
Terus. Cuma, di zaman sekarang ini lain. Saya tidak pernah menerangkan tahlil. Tapi kalau ada orang tanya, saya jawab, Wah saya ndak bisa itu. Cuma yang pokok, dalam Qur’an tidak ada, dalam Hadits tidak ada. Saya sampai sekarang tidak berani mengerjakan. Kalau dulu, memang itu bid’ah, keliru, sesat. Kalau sekarang, apalagi ada ikatan intern agama, antar agama, umat beragama dan pemerintah. Nah, itu trilogi kerukunan. Tapi yang namanya anak muda, ini keyakinan kita, pasti akan kembali. Sebab mereka sudah berpikir, beragama dengan berpikir. Itu keyakinan dari kita. Dari mereka memang masih banyak… tapi ya jalan terus.
Ketika pak A.R. diangkat menjadi ketua, masalah-masalah apa yang mendesak untuk ditangani?
Terus terang, waktu saya jadi ketua, saya sampai setengah sarap. Stress. Sebab, menurut saya, pemimpin Muhammadiyah itu mesti Kyai betul-betul. Kyai yang sungguh-sungguh, kyai yang mengerti agama. Waktu itu, mestinya yang mimpin, yang terpilih adalah K.H. Fakih Usman. Dari Gresik. Itu tahun 1968. Muktamarnya di Yogya. Kyai itu pernah menjadi anggota DPR, menjadi Menteri Agama. Rumahnya di Jakarta di jalan Sabang. Dan kami, mulai dari yang muda-muda tak lelah membujuk Kyai. Habis siapa lagi. Kyai Badawi sudah sakit-sakit. Siapa kalau tidak Kyai. Waktu itu dia masih aktif di politik. Karena terusss begitu, akhirnya dia. mau. Ya, sudahlah bismillah. Tapi dengan syarat. Apa syaratnya? Di Yogya harus ada A.R. Fakhrudin dan H. Djindar Tamimy, Di Jakarta harus ada Pak Rasyidi dan Hamka.
Boleh, kalau begitu. Sampai akhirnya di Muktamar bisa kita atur, Saya masuk, pak Rosyidi masuk, Hamka masuk. Sudah. Selesai muktamar, itu tanggal 27 September kalau tidak salah, tahun 1968. Tanggal 1 Oktober, atau November, Kyai Fakih meninggal. Kebetulan, kami yang delapan orang, diantar ke Jakarta. Untuk musyawarah. bagaimana baiknya, menyusun komposisi. Hari Rabu waktu itu. Beliau masih bisa bicara, tapi tak ada suaranya. Beliau sudah menyiapkan surat; saya akan berobat ke negeri Belanda dengan pembiayaan dari Menteri Sosial, Bapak Mintaredja S.H. Selama saya berobat di negeri Belanda, maka. pimpinan Muhammadiyah sehari-hari, untuk di Yogya saya serahkan pada A.R. Fakhrudin dan saudara Taminy. Sedang di Jakarta saya serahkan pada Prof. Dr. H.M. Rasyidi dan Prof. Dr. Hamka. Sudah, Kemudian hari Kamis, bisa jalan ke Demak dan bisa ngomong. Lalu saya pulang dari rumahnya. Beliau sehat, betul-betul sehat. Kamis, belum ada keputusan. Kami belum datang, tau-tau kami terima telepon dari rumahnya, ia sudah meninggal.
Waktu itu saya di fait accompli, ditunjuk sebagai pejabat ketua. Tahun 1969 ada sidang Tanwir, Tanwir itu di bawah Muktamar. Jadi kalau tidak ada Muktamar, Tanwir itu sebagai sidang tertinggi. Pemimpin sidang bilang, saudara-saudara yang selama ini menjabat sebagai pejabat ketua adalah A.R. Fakhrudin. Jadi, resminya saya menjadi Ketua PP itu, mulai tahun 1969. Nah disitu saya merasa, kok saya. Ada yang lebih tua-tua dari saya. Saya tidak bisa bicara, semua sudah memutuskan itu. Sampai ada yang dinamakan stress mungkin tiga bulan. Saya datang ke PKO (rumah sakit Muhammadiyah di Yogya) lalu diperiksa.
“Ah engga kenapa-napa nih,” kata dokternya. Saya dikasih vitamin. Sampai saya pindah di rumah ini tahun 1972 awal itu, saya sampai terlalu gelisah. Dalam hati saya bertanya, apa saya sudah hampir mati? Sebab, kalau saya sudah hampir mati, istri dan anak-anak saya beri tahu atau tidak? Kalau tidak saya beritahu alangkah terkejutnya, tapi kalau saya beritahu tentu juga terkejut. Itu tahun 1972, saya menjadi Imam sholat jemaah membaca Al Fatihah tidak bisa. Terputus-putus, mustinya Alhamdulillahhi robbal alammin nah saya Alham… du… lilah. Biasanya selesai Sholat saya memberi nasehat, tapi itu tidak. Saya merasa saya ini bukanlah Kyai. Kalau saya melihat riwayat ketua-ketua PP Muhamadiyah yang sembilan orang, ini memang kyai semua. Waktu saya pidato sebagai ketua, saya katakan, kalau toh saya ini tidak bisa. menambah baiknya Muhammadiyah, saya minta doa kepada saudara-saudara, mudah-mudahan saya tidak menjelekkan.
Apa benar Muhammadiyah cenderung anti pemerintah, seperti waktu zaman Belanda?
Saya mempunyai pendirian, bahwa negara ini adalah negara saya. Pemerintah itu, pemerintah saya. Presiden itu, presiden saya. Saya turut memilih, saya takkan merongrong, dan saya takkan berulah. Percayalah. Begitulah, hingga pernah saya diajak berbicara dengan Menteri Agama. Kalau pemerintah mau mengambil orang Muhammadiyah, silakan. Tapi, ya tidak usah resmi. Sebab Muhammadiyah memang tidak begitu. Kami sudah tua, kami ingin negara kami maju. Kalau pun menteri-menterinya memang begitu, kami minta menteri agamanya itu ya yang jadi teladan. Yang bahasa Arabnya baik, bahasa Inggrisnya baik, agamanya betul-betul bisa dipercaya. Oleh karena itu, saya tidak lagi, Pendeknya selama A.R. memimpin Muhammadiyah jalan terus. Sampai begitu. Saya dipercaya. Makanya sekarang saya katakan, dulu saya tak mau karena saya ketua. Umpama saya bukan ketua, wah… belum ditanya sudah mau saya. Kalau sampai saya begitu, itu contoh yang tidak baik. Sampai sekarang, saya tidak berani bicara. Pada kawan saya, saya katakan, jangan menjilat pada pernerinta. Tidak usah. Tapi juga jangan konfrontasi. Muhammadiyah tanpa mendapat bantuan dari pemerintah, nggak mungkin maju, Tapi bagaimanapun juga, kita tidak akan menjilat. Jangan. Itu pendirian saya. Nah, ini sulit. Orang lain masih ada yang jalan pikirannya jalan pikiran lama, pendeknya serba. anti pemerintah.
Itu, orang-orang Muhamnadiyah yang reaksioner mestinya bilang Pak A.R. ini lapuk?
Itu mungkin, mungkin. Saya mendapat isyu bahwa Pak A.R. itu baru mendapat uang satu. juta dari Pak Harto. Astagafirullah… ha… ha… Lalu saya panggil pimpinan wilayah. Silakan, saudara bisa lihat. Makanya, lalu saya hati-hati betul. Sampai pernah, pada tahun 1972, setelah muktamar di Ujung Pandang, saya anjurkan pada kawan, coba dekat dengan pernerintah. Tanya itu, tanya ini, terserah. Nah, kebetulan pada waktu itu Pak Amir Murtono belum menjadi Ketua Golkar masih Asbinsospol. Saya kebetulan ke Jakarta, saya datang ke Pak Amir Murtono. Dan Pak Amir Murtono sudah siap. Anggaran Dasar Muhammadiyah itu dicoretnya. Singkatnya saya diminta, “Bagaimana Pak kalau Anggaran Dasarnya diubah?” jawab saya, “Boleh. Bisa. Tetapi, dalam Muhammadiyah yang berhak mengubah Anggaran Dasar itu hanya muktamar. Saya, walaupun ketua, tidak berhak.” Dia bilang lagi, “Begini Iho, Pak A.R.. Ini bisa dipergunakan. Kalau Anggaran Dasar Muhammadiyah seperti ini, bisa ditunggangi oleh negarawan atau politikus,” Begini Pak, waktu kami membuat Anggaran Dasar Muhammadiyah ini, di Muhammadiyah yang Sarjana Hukum juga banyak. Jadi, yang punya pikiran seperti Pak Amir ini, tidak ada. Muhammadiyah didirikan bukan untuk itu. Didirikan untuk menegakkan Islam yang terpadu, Jadi niatnya betul-betul untuk agama. Ini bisa, betul bisa, tapi belum pernah. Dan tidak akan. Sebab, kami di Muhammadiyah, segala sesuatu kami kerjakan dengan musyawarah. Saya ketua, tapi saya tidak otoriter.
Lalu beliau menjadi ketua Golkar. Dan ada yang diutus, saya tidak tahu siapa. Dia mengatakan, saya utusannya Pak Amir. Pak A.R. diminta. mengadakan muktamar darurat untuk mengadakan perubahan Anggaran Dasar, Berapa juta saja ongkos muktamar, nanti didrop oleh Pak Amir. Ya, apalagi pesannya? Pak Amir mau masuk Muhammadiyah, Apalagi? Sudah? Saya jawab, kalau Muhammadiyah mau mengadakan Muktamar darurat, tidak usah. Sebab tinggal satu setengah tahun lagi, Muhammadiyah akan mengadakannya. Itu tahun 1976. Tahun 1978 Muhammadiyah akan mengadakan muktamar, setelah tahun 1974 di Ujung Pandang. Saya tetap jadi ketua. Tapi, kalau Pak Amir mau mendrop uang, saya terima. Berapa juta saja, terserah. Saya terima. Dan Insya Allah, tidak akan saya pakai untuk diri saya pribadi. Tidak. Sudah cukup. Kerja satu hari saja, gaji saya seratus tiga puluh ribu. Padahal Cuma satu hari, Kalau satu. bulan berapa. Muhammadiyah itu menerima bantuan dari pernerintah, saya tidak bisa menghitung. Berapa. ratus juta, tiap bulan. Melalui sekolah-sekolah, melalui rumah sakit, panti asuhan. Jadi pemerintah itu sudah banyak bantuan, ndak usah. Terima kasih. Jadi, saya tidak akan mengadakan muktamar darurat. Tapi, kalau mau mendrop, terima kasih. Kemudian yang ketiga, Pak Amir Murtono mau masuk Muhammadiyah. Begini ya, saya dulu dipesan oleh Pak Amir, Pak A.R. hati-hati, jangan sampai Muhammadiyah dimasuki oleh politikus, katanya. Nanti ditunggangi. Sekarang Pak Amir kan Ketua Golkar, dan Golkar kan sama dengan partai, jadi artinya juga politikus itu. Padahal dulu sudah dipesan, jangan. Jadi ndak usah. Ndak usah Pak Amir masuk Muliammadiyah, kecuali, kalau Pak Amir keluar dari Golkar. Nah, silakan. Sudah itu saja, sampaikan. Jadi ndak apa-apa, Muktamar tahun 1978 di Surabaya, kebetulan saya masih dipilih lagi. Sampai pernah, waktu. muktamar itu, kami menerima telepon dari almarhum Pak Ali Murtopo, “Saya akan menyumbang sekian juta, tapi saya dibolehkan untuk bicara.” Ditolak, Sudah ndak usah terima bantuan. Jadi, yah… boleh dikatakan, Muhammadiyah itu a priorilah terhadap pernerintah. Apalagi terhadap Pancasila, bukan main, ya a priori. Itulah, saya lalu dianggap, sukses memimpin. Saya bisa menenggang diri, tapi juga bisa menenggang pemerintah.
Mengenai soal Islam militan, dengan pembajakan atau apa, bagaimana Pak?
Saya, tidak mengatakan Islam mesti begitu. Soal membajak atau apa. Itu mungkin karena tidak paham. Seperti misalnya dulu, DI, Mengapa mereka harus memberontak pada pernerintah. Kalau saya, tidak. Kita bisa kok, melarang atau malah merenungkan. Kalau mau. Soal Islam militan, Islam fundamental, itu cuma gelar. Sesungguhnya itu bukan gelar-gelar Islam.
Tapi apa memang ada, fundamentalisme itu?
Kalau ada Islam yang fundamental itu dibilang fundamentalis. Tapi apakah arti fundamentalis memang begitu? Tidak harus. Banyak anak-anak muda yang saya katakan, sudah, toh bisa saudara memperbaiki. Saudara bisa. saja mati syahid, tapi dengan syahid. Tapi saya pernah ditanya, apa Pak A.R. mau menjadi Amir, Saya bilang. Kalau untuk umat Islam di seluruh Indonesia, saya mau. Tapi jangan Amir kelompok-kelompok. Masak Islam Jamaah mengharap darah saya. Apa saya ini sudah dikafirkan? Dari mana itu? Padahal Nabi melarang, jangan kamu mengkafirkan orang lain. Kalau ada orang mengkafirkan orang lain, padahal orang lain tidak kafir, kafir itu akan kembali pada dirinya. Itu Nabi. Saudara kafir? Siapa bilang kafir? Saudara tahu hatinya? Tidak. Siapa yang bersyahadat, Islam. Nabi kan begitu. Saya tidak mau bilang. Islam itu fundamentalis, ekstrim. Islam tidak akan ekstrim. Ada tuntunannya kok.
Jadi, kenapa itu bisa muncul?
Ya… itu. Paham berdiri sendiri kan bisa. Seperti Khomeini itu.
Apa tidak mungkin karena ketidakpuasan?
Ya, mungkin saja. Tapi kan lalu ada interes-nya masing-masing. Nah, maksud saya, agama itu jangan menurut interesnya sendiri. Wong Nabi dengan interesnya sendiri saja ditegur oleh Allah. Jadi tidak boleh Islam itu dicampur dengan interes per orang.
Mungkin itu karena pendapat bahwa Islam tak selalu verlikal, tapi juga merupakan gerakan sosial. Penafsiran itu mungkin yang menimbulkan sikap ekstrim.
Bisa juga, tapi Nabi itu juga punya. Yang namanya vertikal itu sama-sama. ibadah. Jadi kalau urusan bersama, ya sama-sama. Wong Nabi juga melayani orang Yahudi. Nabi juga melayani orang Nasrani, Beliau juga hutang pada orang Yahudi. Berarti boleh. Itu kan yang namanya urusan masyarakat.
Boleh berpolitik juga?
Boleh. Malah ada berita, ketika Nabi bertemu dengan pemimpin-pemimpin agama Nasrani, sudah tiba waktunya sholat atau bagaimana. Orang-orang itu mengatakan, Nabi, ini sudah waktunya shalat, kami minta ma’af. Lho, kenapa? Saya mau kembali ke gereja. Lho, disini juga ada masjid. Ini kan juga masjid Tuhan, silahkan. Sampai begitu. Jadi, soal kemasyarakatan bisa diatur. Zaman Nabi sudah begitu. Maka saya katakan, kalau saudara berniat baik, beramar maruf nahi munkar, memperbaiki, melakukan yang baik melawan yang salah. Tapi kalau caranya begini, ndak bisa. Saudara cuma menjelek-jelekkan. Pembangunan ini berhasil. Tapi juga diakui oleh pernerintah, yang kurang berhasil juga banyak. Sudahlah, yang berhasil ini mari kita bicarakan, yang belum berhasil kita perbaiki. Kalau kita sebagai Muslim, apa boleh kita menjelek-jelekkan orang di muka orang banyak? Saya ngrasani saja, oleh Tuhan dilarang. Saudara katakan, Presiden itu begini-begini di muka orang banyak. Siapa orang yang sempurna di dunia? Tidak ada. Kalau saudara melihat cuma yang jeleknya saja, itu tidak adil.
Soal orang Kristen yang sernbahyang di masjid itu, Pak. Apa bisa sebalikya, orang Islam sembahyang di gereja?
Ndak apa. Bisa saja. Wong, saya sembahyang di mana saja bisa. Tidak masalah.
Pendapat seperti ini, tentu, ada. yang tak setuju?
Tentu, tentu … Itu mungkin sentimen perorangan saja. Ya ada.
Tapi, apa kebijaksanaan semacam ini juga digariskan pada anggota Muhammadiyah?
“ltu tidak. Tapi begitu, cara melayani. Saya harus hati-hati, karena masih banyak orang yang a priori terhadap pernerintah ini. Saya juga harus hati-hati ngomong.
Apa bisa dikatakan dalam Muhammadiyah sendiri masih ada yang berpikir secara tradisional.
Masih. Masih ada. Walaupun pimpinan-pimpinan, sudah banyak yang bisa memahami kebijaksanaan kami, pimpinan pusat. Wong, di sini baru ada orang yang diangkat jadi anggota MPR saja sudah ribut kok. Waktu Pak Koco Kusumo diangkat jadi anggota MPR. Dia duduk di Majelis Ulama, tapi dia juga anggota Muhammadiyah. Lalu ada orang yang tanya, kenapa? Lho, ya ndak apa-apa
Apa menurut ideal Pak A.R., seluruh penduduk ini baiknya Islam?
Ndak bisa, saya kira. Bagaimana pun juga tidak mungkin.
Kalau untuk seluruh Indonesia?
Kalau untuk seluruh Indonesia,  kita berusaha. Tapi walaupun begitu Kristen masih hidup di sini. Dan Kristen Katholik sekarang sudah lain dengan 40 tahun yang lalu. Sama saja dengan Islam. Oleh karena itu, ketika saya ditemui dengan seorang turis Belanda, mengapa Islam di Indonesia maju? Sebagai negara berkembang Indonesia termasuk sukses, dalam soal berkembangnya itu. Mengapa Islam maju? Karena yang maju bukan Islamnya saja, Kristen juga maju. Sebab sekarang orang beragama di Indonesia tidak seperti dulu yang tradisional. Sekarang semua atas dasar kesadaran.
Tapi, kenapa menurut Pak A.R. tidak bisa, bukannya kalau bisa. ya baik, begitu?
Begini ya. Dalam Qur’an dikatakan, “Saya
akan tunjukkan bukti-bukti,” kata Allah, “Katakanlah kebenaran Islam, di seluruh cakrawala sampai mereka akan tahu apa yang benar”. Paling-paling cuma itu. Jadi kita sebagai Muslim ya mengusahakan, tapi untuk seluruhnya, ya tidak mungkin. Setiap organisasi, ketika jadi mapan, besar dan kuat, yang semula. didirikan untuk pembaruan, tiba-tiba, mendapat masalah karena kemapanannya sendiri. Bagaimana?
Ya, ya kalau dikatakan begitu … tapi masalah itu masih terus. Cuma asal kita kembalikan pada niat yang semula, orang itu kembali. Kalau kami, sebagai orang Muhammadlyah, saya mengatakan ini pertolongan Tuhan, selama 77 tahun, kalau boleh saya katakan, Muhammadiyah itu tidak ada yang terpecah, padahal yang namanya Budi Utomo, kan sudah ndak karuan. Yang namanya Sarikat Islam, padahal dulu pernah maju, besar sekali. Jadi kalau dikatakan mapan, ya mapan. Ya, maklum kan banyak, Di sana maju, di sini mundur. Muhammadiyah di jawa Timur itu bagus, Kalsel itu baik, Sulsel itu bagus. Tapi, beberapa tahun lalu mati. Ya, maklum kan orangnya berganti-ganti. Tapi pada umumnya, memang sudah mapan. Tapi tidak sedikit, cabang-cabang yang mati. Apalagi waktu ada masalah dengan Korpri. Sampai saya … dengan Pak Amir Machmud itu, tidak bisa. ditawar sama sekali. Saya orang Muhammadiyah jadi pegawai negeri. Kalau mau jadi anggota Muhammadiyah, harus keluar dari pegawai negeri. Kata saya, “Wah, jangan begitu pak. Orang jadi pegawai negeri, itu kan urusan periuk.” Pokoknya ndak bisa. “Tapi, Muhammadiyah itu bukan partai politik Iho, pak.” “Ya, saya sudah tahu. Tapi Muhammadiyah itu kuat.” Yang kuat, apanya? “Disiplinnya.” “Yang mimpin Muhammadiyah itu Pak Amir apa saya? Kan saya. Saya lebih mengerti.” “Nggak, saya juga tahu kok, kalau Muhammadiyah itu disiplinnya kuat.” “Yah, kalau agama, Insya Allah itu betul. Nah, sekarang saya tanya soal lurah. Istrinya sudah masuk Dharma Wanita, tapi pakai kerudung. Bupatinya mengatakan, Bu, lbu ini belum, masuk Dharma Wanita. Sudah, Lho, kok masih pakai kerudung? Lho, kerudung ini kan agama. Nah, mana yang betul itu? Menurut Pak Amir,” “Yang betul Muhammadiyah. Pak Bupati itu salah, campur tangan.” “Nah saya minta, Pak Amir Mahmud sebagai menteri, jangan dicampur-campur. Dharma Wanita dengan agama.” “Sudah, pokoknya begini Pak AR Muhammadiyah-Muhammadiyah, Korpri-Korpri,” “Tak bisa ditawar lagi?” “Tidak” Saya lalu berhubungan dengan jenderal-jenderal Muhammadiyah. Kata mereka, “Seperti begini, sudah tak bisa lagi pak AR Kalau Pak Amir sudah bilang begitu, sudah payah. Saya malah nanti, jadi nggak enak. Ya, sudah. Lalu saya bilang pada Pak Amir, Pak Amir, jadi orang Muhammadiyah tak boleh masuk Korpri. Baik. Tapi begini ya pak Amir, orang Muhammadiyah itu ber-Muhammadiyah dengan jiwa, tidak hanya dengan kartu anggota. Oleb karena. itu, kalau di salah satu kantor di situ ada orang Muhammadiyah, percayalah, pasti di situ nanti ada pengajian, ada yang menggerakkan fitrah, kalau di bulan ramadhan mungkin ada yang menggerakkan tarawih, hari Jum’at mengadakan sembahyang Jum’at. “Nggak apa, boleh. Asal jangan pakai nama Muhammadiyah,” jawabnya. Boleh. Ndak usah pakai nama Muhammadiyah. Lha wong itu Islam, dan Muhammadiyah itu bukan golongan. Muhammadiyah itu kan bagaimana menjalankan Islam seperti Nabi. “Ya, boleh, asal ndak menggunakan nama Muhammadiyah. Mulai besok, di Korpri, kalau ada soal-soal agama akan saya serahkan pada orang-orang Muhammadiyah. Silakan ndak apa-apa.” Nah, sampai begitu. Tapi, sekarang, karena Pak Amir sudah tak jadi menteri, kendor. Banyak orang-orang Muhammadiyah yang masih pegawai. Saya bilang begini, kalau saudara-saudara itu jadi pegawai, jangan terlalu serius di Muhammadiyah. Ya, antara guyonlah. Kamu harus jadi Korpri! yaa, tapi Bapak harus tahu saya ini orang Muhammadiyah. Oo yaa, Sampai ada Bupati yang bilang babwa Muhammadiyah ini tak perlu dibicarakan. Dikerjakan saja. Macam-macamlah. Oleh karena itu saya katakan, pandai-pandailah bergaul dengan pejabat-pejabat. Asal saudara masih tetap di bawah missi, sebab missi ini bukan dari saya atau organisasi, tapi misi saudara sebagai orang Muslim. Itu tanggung jawab saudara. jadi kerjakan, dengan baik. Asal saudara tidak disuruh kabur, asal saudara tidak dilarang sholat, jalan terus, Ya, sejak itu saya bergaul dengan pemerintah. Di ABRI saya diminta bicara, ya bicara saya. Saya tidak pernah menyinggung.
Masalah coblos bagaimana, pak?
Nah, masalah coblos, karena Muhammadiyah itu tidak berpolitik, maka di Muhammadiyah itu bebas, Kalau saudara mau mencoblos mana saja, silakan. Tetapi saudara, tetap sebagai warga Muhammadiyah. Nanti kalau ada orang Muhammadiyah jadi anggota DPR, silakan. Silakan saudara jadi anggota DPR. Darimana? Apa PPP, dari Golkar, atau dari PDI. Saudara di sana sebagai orang PDI, Golkar, atau PPP tetapi sebagai orang Muhammadiyah tetap membawa misi agama. Kalau saudara sedang berada di Muhammadiyah, jangan berbicara soal politik. Silakan di kandang saudara masing-masing. Tapi bicara bagaimana soal rumah sakit kita, sekolah kita.
Sekarang soal lembaga. pendidikan. Dulu kan nampaknya, paling depan Muhammadiyah sebagai lembaga pendidikan? Tapi sekarang, apakah masih seperti itu, menghadapi kenyataan yang lain dengan dulu?
Tapi begini ya saudara, itu. yang mengatakan kami maju, siapa? Kalau kami, tidak. Itu mungkin masyarakat. Kalau kami merasa, berkembang biasa. Tapi memang sekarang ini, kesadaran mendirikan pendidikan itu banyak. Swasta-swasta. Apalagi PGRI, bisa dikatakan bersaingan dengan negeri. Buat kami, tak apa. Soal agama, sekarang, dengan melalui GBHN, kita harus puas, gembira. Sebab mulai dari taman kanak-kanak, sampai perguruan tinggi, semua hanis diberi pelajaran agama, Walaupun menurut asaInya masing-masing. Saya yakin, bisa 90% untuk Islam. Dan nyatanya, hasilnya juga ada.
Sarananya bagaimana?
Apalagi sekarang, sudab baik. Perguruan tinggi Muhammadiyah saja, di seluruh Indonesia, tidak kurang dari 60. Termasuk akademi atau sekolah tinggi. Kalau yang dinamakan SLTA, SLTP, dan SD, sekitar 12.000. Nah, SD ini, kan tidak pakai SPP. Banyak SD Muhammadiyah yang belum bisa. Kalau yang lain, SMP atau SMA, karena masih sama dengan negeri, masih bisa ambil SPP. Walaupun mungkin agak lebih mahal. Tapi karena karni beri motivasi agama, saudara memberikan SPP ini, mengingatkan ibadah. Mencari pahala dari Allah. Karena itu, SPP mahal sedikit dari negeri, ndak soal. Lalu taman kanak-kanak, di seluruh Indonesia, Insya Allah tidak kurang dari 5.000. Sudah ada SMA Muhammadiyah yang sudah pakai komputer. Apalagi yang perguruan tinggi.
Jadi bisa dibilang tidak ketinggalan?
Tidak ketinggalan. Itu bisa saja. Tidak membendung.
Mengenai pengertian rujuk dengan NU, bagaimana? jadi begini, NU keluar dari partai. Kebetulan Pak Kyai H. Achmad Siddiq terpilih sebagai Rois A’am. Rois itu kepala, A’am itu umum, jadi katakanlah Ketua Umum, tapi dalam urusan agama, Kalau Ketua Tanfidziah, Abdurrahman Wahid. Waktu itu, beliau mengatakan, “Kami NU sekarang keluar dari politik, karena itu nanti kami akan menggandeng Muhammadiyah, seperti organisasi yang juga bukan partai politik.” Itu diekspos. Lalu orang Muhammadiyah, ada yang menanggapi. Saya sendiri diarn saja. Apa itu, apa-apaan NU mau menggandeng Muhammadiyah, apa Muhammadiyah sudah pikun harus digandeng? Apa Muhammadiyah itu tuna netra, digandeng-gandeng? Artinya masih ada rasa tidak senang, terhadap NU. Kan Begitu. Padahal maksud Rois A’arn ini ingin mendekati. Walaupun sesungguhnya yang mernusuhi Muharnmadiyah itu justru mereka, mulai tahun 1926. NU itu didirikan, katakanlah untuk memusuhi Muhammadiyah. Kita tidak pernah melayani, cuma. Dimusuhi terus. Nah, sekarang kalau mereka mau menggandeng, ya terima kasih. Lalu apa suatu ketika, beliau datang kesini, “Pak AR sudah membaca interview saya?” Ya, sudah, “Bagaimana?” Ya, baik. Tapi begini pak, ya. Soal gandeng-menggandeng ini, tidak usah diresmi-resmikan. Sebab dia juga dapat reaksi kan. Dan di Muhammadiyah masih banyak yang tidak senang. Ya, maklum, wong dimusuhi terus, sejak tahun 1926. Bahkan ketika mereka mengatakan mau kembali ke khittah 1926, dalam hati saya, wah ini mau memusuhi lagi. Apalagi di sini umatnya masih begitu. Sampai pernah, NU katanya bisa mengumpulkan 50 alim ulama untuk berdebat dengan Muhammadiyah. Itu ditulis oleh Masa Kini. Saya ditanya, ini bagaimana, ditantang oleh 50 alim ulama NU, Ah, sudahlah, biarkan saja, Lha wong NU itu, 50 dengan 200 ya sama saja, Buat saya NU itu kan orang taqlid. Kalau satu bicara, ya semua begitu. Karena itu, ketika kyai datang ke sini, ya kita sambut dengan baik. Ya, kita tidak usah resmi-resmi Pak A.R. Ya, baik. Pokoknya bagaimana kita usahakan dengan baik. Insya Allah, Karena itu kalau saya diluar bicara, ya begitu. Marilah, saudara-saudara sesama Muslim, kita berbaik, jangan sampai hanya karena soal organisasi saja, kita pisah. Organisasi itu ndak ada dalam Islam. Kita itu, rukun iman rukun Islam, itu yang penting. Saya ke sana. Saya ditemui dua kali. Sampai saya dikejar-kejar, bagaimana itu kelanjutannya? Ah, ini bukan urusan kecil. Sejak tahun 1926, Muhammadiyah dimusuhi terus-menerus. jadi tidak mudah, Tapi, saya tidak putus asa. Ya, Insya Allah. Ya, kalau di sana Kyainya sudah mengatakan jangan lagi memusuhi Muhammadiyah, ya Insya Allah. Lha wong, dulu kalau orang Muharnmadiyah datang kerumahnya saja, rumahnya dicuci. Betul itu. Tapi kita yakin, ya sudah ndak apa. Kita tidak melayani, bukannya kalah. Kita jalan terus.
Tapi melihat pimpinan NU sekarang, seperti Gus Dur itu, yang memberantas banyak hal dalam NU sendiri, sampai dimusuhi. Apa mungkin dia lebih modern dari Muhammadiyah?
Ya, ndak apa, Lebih modern itu lebih baik. Sampai soal salam mau dihilangkan. Itu Muhammadiyah tidak ingin. Bagaimana pun juga ada ketentuannya dalam Qur’an, ada dalam Hadits, tentu saja kami tidak berani. Kalau sana berani, ya terserah. Cuma begitu saja.
Apakah itu tidak mewakili gerakan perubahan dalam NU sendiri?
Ya, itu terserah, Tapi, ini apa ya? Ketika Pak Yusuf datang kesini, wah dia itu harus di up-grade, Padahal itu kan keponakannya. Sudahlah itu dimake up saja. Wong dia itu, budayawan.
Saya belum pernah dengar, Pak AR memberikan piala atau apa?
Kalau cara berpikir saya, saya minta, mbok ya kalau kebudayaannya Barat mau dipakai, silakan dipakai asal selaras dengan Islam. Kalau soal piala itu, kan kebudayaan Barat. Dulu kan, zaman Yunani, cuma karangan bunga. Sekarang modelnya piala. Piala itu kan buat Islam nggak betul. Berapa ratus ribu, ndak bisa dimanfaatkan. Tak ada manfaamya, Ada orang mau. memberi hadiah, berilah, tabanas atau apa. Kan ada. manfaatnya. Piala itu untuk apa? Cuma untuk sombong-sombong saja. Tapi ya, terserah.
Apa betul Muhammadiyah itu kurang senang pada kesenian?
Mungkin orang menyebut begitu. Sebab memang jarang. Tapi pernah dulu di tahun 1938, kita mengadakan drama. Yang didramakan Sunan Kalijaga. Menunjukkan bagaimana para Wali Songo berdakwah. Di Muktamar Muhammadiyah tahun 1929 di Solo, kita memakai gamelan. Wah, geger masyarakat. Kalau bagi masyarakat Islam di Indonesia, yang namanya kesenian Islam itu kan Samroh, shalawatan model Sleman, atau apa. Kalau Muhammadiyah tidak. Sampai pernah Diesnya nanggap wayang Anorn Suroto. Saya ditanya, boleh nggak? Silakan. Tapi cari, dalang yang memahami Islam, Ada pak, Anom Suroto, Ya, silakan.
Apa betul kalau aturan perkawinan itu tidak boleh pakai gamelan?
Itu dari sana. Kalau pakai kaset, ya boleh. jadi boleh. Asal jangan seni ekstrim, Seni kan keindahan. Kalau indah itu perempuan telanjang, ya saya tidak mau. Kita sebagai Islam, ya silakan. Asal dalamn seni ada jiwa Islamnya, artinya jangan sampai mengajarkan yang tidak benar. Di zaman Nabi juga ada. Sampai Nabi mengatakan, apa orang Medinah ini ndak punya kesenian? Punya, Ya, cobalah. Tapi, ya seni Arab, seperti rebana-rebana,
Bagaimana sikap Muhammadiyah terhadap tradisi setempat?
Kalau tradisi itu tidak betul, bagaimana pun juga kita berusaha untuk menghilangkan, Tapi kalau tradisi itu baik, ya tidak apa-apa. Seperti tata-krarna, kulo nuwun, ya itu tak apa-apa, jangan diberantas. Cuma kita sebagai Muslim, ya assalarnualaikum. Sudah itu, kalau orang jawa masih pareng ya ha… ha… itu tidak ada apa-apanya.
Mengenai warna pengaruh Islam, misalnya Muhammadiyah di Yogya tercermin serta. implisit Islam keyogyaannya, yang bukan Arab. Bukankah kemungkinan ini bisa terjadi di tempat-tempat lain? Islam warna Sumatra, Islam Irian, dan sebagainya.
Bisa saja, tak apa. Sah. Saya mengatakan, kita jangan Arabinoid, artinya kearab-araban, Serba Arab. Kita ini di Indonesia, pakailah apa Raden Patah, dan lainnya, nggak usah selalu Umar. Cuma kalau sudah Islam, Srikandi ya Srikandi, ngedan ya edan. jangan karena ngedan ora klamben. Kalau masih delapan tahun tak apa, kalau 18 tahun ora klamben, ya yang lelaki bisa sakit jantung. Warga Islamnya-lah. Ada, ya silakan. Asal jangan bertentangan dengan Islam. Saya dulu ketika mendengar Bimbo, pertarna, aku jauh engkau jauh, aku dekat engkau dekat. Ketika ada yang mengatakan bahwa yang menulis syairnya Bimbo, terharu saya. Sebab saya tahu, itu keluar dari jiwanya, Dan itu sebenarnya terjemahan dan Hadits Qudsi. Kalau engkau mendekat pada Allah, Allah akan lebih mendekat padamu. Kalau engkau berjalan pada Allah, Allah lari kepadamu, Itu terjemahan. Saya terharu.
Seperti syair sufi yang menyebut Tuhan Sang Kekasih, segala macam…
Ya, tapi siapa yang mengatakan itu? Seorang sufi mengatakan itu tentu penuh kejiwaan.
Mengenai warna kebudayaan tadi, apa bisa dikatakan bahwa Islam itu. sangat diwarnai oleh kebudayaan Arab?
Saya kira dengan sendirinya. Memang kenyataannya begitu kan? Oleh karena itu. kebudayaan Arab yang dulu. jahiliyah, lalu diwarnai Islam. Yang namanya kasidah itu kan asal kuat saja nyanyinya. Di padang pasir kan biasa bengak bengok.
Bagaimana menurut Pak A.R. tentang, katakanlah, pasang naik kebatinan atau mistisme jawa?
Kebatinan itu, asal saja tidak masuk televisi, tidak apa. Dimasukkan televisi, kan kelihatannya jadi besar. Padahal tidak. Memang ada Pangestu atau apa, tapi itu yang sepuh-sepuh saia. Yang muda-muda tidak.
Menurut Pak A.R. apakah itu bid’ah?
Ya, itu kan tidak ada dalam Islam. Islam itu agama yang… mudah. jangan disangat-sangatkan. Yang namanya sufi-sufian itu, menyebut nama Allah 10 juta… tak ada pimpinannya. Nabi tak pernah memimpin. Menghabiskan waktu. Yang muda-muda tentu tak mau. Sekarang, katakanlah, ada yang memperjuangkan. Tapi sudahlah, andaikata itu tidak dimasukkan ke teve, selesai, Kalau ditanya, kebatinan dan aliran kepercayaan itu agama atau bukan? Bukan. Sudah, oleh Menteri Agama tidak dibolehkan. Tapi lalu dititipkan pada Menteri Dikbud. Ya, karena titipan, lalu terpaksa digarap. Untuk saya, itu tidak apa-apa Nanti juga hilang sendiri. Orang sudah nggak mau, pemuda-pemuda sudah tidak mau. Apalagi disuruh kumpul, di sungai, bisa masuk angin. Tapi mungkin tradisi orang jawa dari dulu begitu, Tapi ya, Islam di Yogya sini dengan di Gunung Kidul juga lain.
Mereka mungkin mengatakan bahwa ini warisan budaya jawa lama. Apa tidak mungkin ini cerminan rasa risi terhadap kebudayaan Islam, bukan sebagai agama, tapi sebagai warna budaya Arab?
Itu mungkin. Dulu kan, zaman Belanda, jangankan pada Arab, wong orang Yogya dan Solo saja saling bencinya setengah mati. Tapi misalnya kita mendengarkan wayang, itu sudah digubah oleh Sunan Kalijaga, Tidak ada kearabannya. Dan nasihatnya bukan main, penting-penting. Dalang harus tahu itu. Oleh karena itu sering saya katakan, kita jangan kearab-araban. Kalau di depan orang banyak, misalnya, mungkin tidak usah banyak baca ayat Al-Qur’an. Lha dibacain juga nggak mengerti.
Percakapan dengan
BUTET KARTAREDJASA
SENO GUMIRA AJIDARMA
@ Copyright by JAKARTA-JAKARTA 1988

Tidak ada komentar:

Posting Komentar