Minggu, 03 Januari 2010

Kebijakan Pemerintah Tentang Penerapan Konsep PHT

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Pembangunan sektor pertanian kini disiapkan untu memasuki era agroindustri dan agribisnis terpadu. Oleh karena itu pengembanganan penerapan teknologi berwawasan lingkungan serta pengembangan sumberdaya manusia harus mendapat perhatian dan penekanan yang cukup kuat, sebagai landasan pembangunan pertanian berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Pembangunan pertanian berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, antara lain harus dapat memelihara tingkat kapasitas produksi sumber daya alam yang berwawasan lingkungan serta harus dapat mengurangi dampak kegiatan pertanian yang dapat menimbulkan pencemaran dan penurunan kualitas lingkungan hidup. Salah satu kegiatan riil yang perlu dilaksanakan adalah bagaimana cara pengamanan produksi pertanian dari gangguan organisme penyebab penyakit (OPT).
Petani sebagai pelaku utama kegiatan pertanian sering menggunakan pestisida sintetis secara berlebihan terutama untuk penyakit-penyakit yan sulit dikendalikan, misalnya penyakit yang disebabkan oleh virus dan patogen tular tanah (soil borne pathogens). Pada tanaman hortikultura, pestisida sintetis merupakan andalan pengendalian yang utama. Penyakit bercak ungu (trotol) pada bawang merah dan bawang putih merupakan salah satu penyakit yang sampai sekarang sulit dikendalikan. Pada beberapa daerah misalnya di Brebes dan Tegal, bawang merah merupakan tanaman andalan petani. Petani cenderung menanam sepanjang tahun tanpa memperhatikan faktor lingkungan. Untuk mengendalikan penyakit ini petani cenderung menggunakan pestisida sintetis secara berlebihan sehingga menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan. Hal ini dilakukan petani antara lain karena modal yang ditanam dalam usaha tani cukup besar sehingga petani tidak mau menanggunag resiko kegagalan usaha taninya, konsumen menghendaki produk hortikultura yang bersih dan cantik (blemish free) dan kurang tersedianya pengendalian non kimia yang efektif.
Penggunaan pestida yang kurang bijaksana seringkali menimbulkan masalah kesehatan, pencemaran lingkungan dan gangguan keseimbangan ekologis. Oleh karena itu perhatian pada alternatif pengendalian yang lebih ramah lingkungan semakin besar untuk menurunkan penggunaan pestisida sintetis. Pembangunan penyakit tumbuhan secara hayati merupakan salah satu komponen pengendalian hama terpadu (PHT) yang sesuai untuk menunjang pertanian berkelanjutan karena pengendalian ini lebih selektif (tidak merusak organisme yang berguna dan manusia) dan lebih berwawasan lingkungan. Pengendalian hayati berupaya memanfaatkan mikroorganisme hayati dan proses-proses alami. Aplikasi pengendalian hayati harus kompatibel dengan peraturan (karantina), pengendalian dengan jenis tahan, pemakaian pestisida dan lain-lain. Perkembangan hasil penelitian tentang berbagai agensia hayati yang bermanfaat untuk mengendalikan patogen pada tanaman, sebenarnya sudah cukup menggembirakan, walaupun masih relatif sedikit yang dapat digunakan secara efektif di lapangan. Komponen ini jelas berperan dalam peningkatan peranan Fitopatologi Indonesia dalam pengamanan produksi dan pelestarian lingkungan.
Berbagai kendala yang menyangkut komponen hayati antara lain adalah adanya kesan bahwa cara pengendalian hayati lambat kurang diminati. Oleh karena itu terasa pentingnya suatu komitmen untuk menentukan suatu gerak terpadu melalui konsep pengendalian hayati yang menguntungkan dan berkelanjutan dalam pemanfaatannya. Pengendalian Hama Terpadu (PHT) merupakan dasar kebijakan pemerintah dalam melaksanakan kegiatan perlindungan tanaman. Landasan hukum dan dasar pelaksanaan kegiatan perlindungan tanaman adalah Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman, dan Keputusan Menteri Pertanian No. 887/Kpts/ OT/9/1997 tentang Pedoman Pengendalian OPT. Secara operasional, dalam implementasinya terutama berkaitan dengan otonomi daerah, disesuaikan dengan pelaksanaan tugas, fungsi, dan kewenangan sesuai Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, dan Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1999 tentang pelaksanaan otonomi daerah.
Pengendalian hama terpadu didefinisikan sebagai cara pendekatan atau cara berfikir tentang pengendalian organisme pengganggu tumbuhan (OPT) yang didasarkan pada pertimbangan ekologi dan efisiensi ekonomi dalam rangka pengelolaan agroekosistem yang berwawasan lingkungan berkelanjutan. Dengan pengertian ini, konsepsi PHT telah sejalan dengan paradigma pembangunan agribisnis. Konsep PHT muncul dan berkembang sebagai koreksi terhadap kebijakan pengendalian hama secara konvensional yang menekan penggunaan pestisida. Penggunaan pestisida dalam kerangka penerapan PHT secara konvensional ini menimbulkan dampak negatif yang merugikan baik ekonomi, kesehatan, maupun lingkungan sebagai akibat penggunaan yang tidak tepat dan berlebihan.

1.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan perlindungan tanaman
2. Untuk mengetahui sejauh mana efektifitas kebijakan yang telah diterapkan dalam kegiatan perlindungan tanaman

II. PEMBAHASAN

2.1 Kebijakan dan Strategi Perlindungan Tanaman
A. Kebijakan Perlindungan Tanaman
1. Kebijakan Umum
Dalam pengendalian organisme pengganggu tumbuhan (OPT) berdasarkan sistem Pengendalian Hama Terpadu (PHT) UU No. 12 Th. 1992. Konsep ini menganut 5 (lima) yaitu: (1) Membudidayakan tanaman sehat, (2) memanfaatkan sebesar-besarnya musuh alami, (3) menggunakan varietas tahan, (4) menggunakan pengendalian fisik/mekanik dan (5) dan penggunaan pestisida bilamana perlu.
2. Kebijakan Operasional
Memantapkan mekanisme operasional pengendalian OPT melalui peningkatan operasional institusi dan aparatnya, petani dan masyarakat yang terkait.
3. Kebijakan Teknis
Meningkatkan pembinaan standarisasi sistem (pengamatan, peramalan, pelaporan) dan teknis pengenalan, identifikasi OPT, pembinaan masyarakat, penerapan PHT, pemanfaatan agensia hayati
B. Strategi Perlindungan Tanaman
1. Kecepatan dan ketepatan informasi baik OPT maupun bencana alam.
2. Penerapan PHT melalui pendekatan partisipatif dan lokal spesifik.
3. Penguatan organisasi petani, pemerintah beserta SDM dan sarana / prasarana.
4. Prioritas penanganan OPT utama pada tanaman pangan dan hortikultura, serta lokasi / wilayah endemis.

2.2 Pengertian Pengendalian Hayati
Banyak ahli memberikan batasan tentang PHT secara beragam, tetapi pada dasarnya mengandung prinsip yang sama. Smith (1978) menyatakan PHT adalah pendekatan ekologi yang bersifat multidisplin untuk pengelolaan populasi hama dengan memanfaatkan beraneka ragam teknik pengendalian secara kompatibel dalam suatu kesatuan kordinasi pengelolaan. Bottrell (1979) menekankan bahwa PHT adalah pemilihan secara cerdik dari penggunaan tindakan pengendalian hama, yang dapat menjamin hasil yang menguntungkan dilihat dari segi ekonomi, ekologi dan sosiologi.
Sedangkan Kenmore (1989) memberikan definisi singkat PHT sebagai perpaduan yang terbaik. Yang dimaksud perpaduan terbaik ialah menggunakan berbagai metode pengendalian hama secara kompatibel. Sehingga melalui penerapan PHT, diharapkan kerusakan yang ditimbulkan hama tidak merugikan secara ekonomi, sekaligus menghindari kerugian bagi manusia, binatang, tanaman dan lingkungan. Dilihat dari segi operasional pengendalian hama dengan PHT dapat kita artikan sebagai pengendalian hama yang memadukan semua teknik atau metode pengendalian hama sedemikian rupa, sehingga populasi hama dapat tetap berada di bawah aras kerusakan.

2.3 Tujuan dan Implementasi Pengendalian Hayati
1. Meningkatnya hasil dan mutu produk serta pendapatan petani
2. Berkurangnya penggunaan pestisida karena diterapkannya PHT
3. Meningkatnya mutu dan bebas residu pestisida pada komoditi pertanian
4. Mempertahankan danmelindungi kelestarian lingkungan.
Sesuai dengan UU No.12 tahun 1992, tentang Sistem Budidaya Tanaman dan PP No. 6 tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman, bahwa perlindungan tanaman dilaksanakan dengan menerapkan sistem Pengendalian Hama Terpadu yang pelaksanaannya menjadi tanggungjawab petani dengan bimbingan Pemerintah. Dalam upaya mendukung penyelenggaraan PHT tersebut, pemerintah menyelenggarakan pelatihan Sekolah Lapang PHT (SL-PHT) bagi Petugas dan Petani. Menurut Direktorat Perlindungan Perkebunan (2001), tujuan kegiatan pelatihan tersebut adalah agar petugas dan petani memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam menerapkan 4 prinsip PHT yaitu: (a) budidaya tanaman sehat, (b) pelestarian musuh alami, (c) pengamatan agroekosistem secara rutin, dan (d) petani menjadi ahli PHT dan manajer di kebunnya.
Selepas mengikuti SL-PHT, diharapkan petani dapat menerapkan pengetahuan PHT di kebunnya sendiri. Dengan asumsi petani mampu melakukannya, maka tingkat kehilangan hasil dapat dicegah atau dikurangi kadarnya sehingga senjang produktivitas tanaman dapat diperkecil. Selain itu mutu produk yang dihasilkan petani menjadi relatif lebih baik, sehingga petani akan mendapat produksi yang lebih tinggi sehingga menerima pendapatan usahatani yang relatif lebih tinggi lagi.

2.4 Sasaran dan Strategi Penerapan PHT
Sasaran penerapan PHT adalah (1) populasi OPT dan kerusakan tanaman tetap berada pada arah yang secara ekonomis tidak merugikan, (2) produktivitas pertanian mantap pada taraf tinggi, (3) penghasilan dan kesejahteraan petani meningkat, dan (4) risiko kesehatan dan pencemaran lingkungan ditekan. Strategi yang diterapkan dalam melaksakan PHT adalah memadukan semua teknik pengendalian OPT dan melaksanakannya dengan taktik yang memenuhi azas ekologi serta ekonomi .

2.5 Sifat Dasar Pengendalian Hama Terpadu
Sifat dasar pengendalian hama terpadu berbeda dengan pengendalian hama secara konvensional yang saat ini masih banyak dipraktekkan. Dalam PHT, tujuan utama bukanlah pemusnahan, pembasmian atau pemberantasan hama. Melainkan berupa pengendalian populasi hama agar tetap berada di bawah aras yang tidak mengakibatkan kerugian secara ekonomi. Strategi PHT bukanlah eradikasi, melainkan pembatasan (containment). Program PHT mengakui bahwa ada suatu jenjang toleransi manusia terhadap populasi hama, atau terhadap kerusakan yang disebabkan oleh hama. Dalam keadaan tertentu, adanya invidu serangga atau binatang kemungkinan berguna bagi manusia. Pandangan yang menyatakan bahwa setiap individu yang ada di lapangan harus diberantas, tidak sesuai dengan prinsip PHT.
Pengendalian hama dengan PHT disebut pengendalian secara multilateral, yaitu menggunakan semua metode atau teknik pengendalian yang dikenal. PHT tidak bergantung pada satu cara pengendalian tertentu, seperti memfokuskan penggunaan pestisida saja, atau penanaman varietas tahan hama saja. Melainkan semua teknik pengendalian sedapat mungkin dikombinasikan secara terpadu, dalam suatu sistem kesatuan pengelolaan. Disamping sifat dasar yang telah dikemukakan, PHT harus dapat dipertanggungjawabkan secara ekologi. Dan penerapannya tidak menimbulkan kerusakan lingkungan yang merugikan bagi mahluk berguna, hewan, dan manusia, baik sekarang maupun pada masa yang akan datang.

2.6 Taktik PHT
Taktik penerapan PHT suatu cara penerapan pengendalian OPT agar memenuhi azas ekologi yaitu tidak berdampak negatif pada agroekosistem dan azas ekonomi yaitu menguntungkan dan meningkatkan kesejahteraan petani. Taktik-taktik tersebut yaitu :
1. Pemanfatan proses pengendali alami dengan mengurangi tindakan-tindakan yang merugikan atau mematikan perkembangan musuh alami.
2. Pengelolaan ekosistem melalui usaha bercocok tanam yang bertujuan agar lingkungan tanaman kurang sesuai bagi kehidupan dan perkembangbiakan atau pertumbuhan OPT serta mendorong berfungsinya agens pengendali alami/hayati. Beberapa teknik bercocok tanam antara lain :
a. Penanaman varietas tahan
b. Penanaman benih sehat
c. Pergiliran tanaman dan pergiliran varietas
d. Sanitasi
e. Penetapan masa tanam
f. Tanam serentak dan pengaturan saat tanam
g. Penanaman tanaman perangkap/penolak
h. Penanaman tumpang sari
i. Pengelolaan tanah dan air
j. Pemupukan berimbang sesuai rekomendasi
3. Pengendalian fisik dan mekanis untuk menekan/mengurangi populasi OPT/kerusakan, mengganggu aktivitas fisiologis OPT yang normal, dan mengubah lingkungan fisik menjadi kurang sesuai bagi kehidupan dan perkembangan OPT
4. Penggunaan pestisida secara selektif untuk mengembalikan populasi OPT pada aras keseimbangannya. Selektivitas pestisida berdasarkan pada sifat fisiologis, ekologis dan cara aplikasi. Keputusan tentang penggunaan pestisida dilakukan setelah dilakukan analisis ekosistem terhadap hasil pengamatan dan ketetapan ambang ekonomi/pengendalian. Pestisida yang digunakan harus yang efektif, terdaftar dan diizinkan.
5. Prinsip Penerapan
Ada 4 (empat) prinsip penerapan PHT, yaitu : (1) budidaya tanaman sehat, (2) pelestarian dan pendayagunaan musuh alami, (3) pengamatan mingguan secara teratur, dan (4) petani berkemampuan melaksanakan dan ahli PHT. Budidaya tanaman sehat merupakan prinsip penting penerapan PHT dengan menggunakan paket teknologi produksi dan praktek agronomis, untuk mewujudkan tanaman sehat. Pelestarian musuh alami melalui pengelolaan dan pelestarian faktor biotik (pengendali alami) dan abiotik (iklim dan cuaca) agar mampu berperan secara maksimal dalam pengendalian populasi dan penekanan tingkat serangan OPT. Pemantauan ekosistem secara teratur yaitu pemantauan hasil interaksi faktor biotik dan abiotik dan menimbulkan serangan OPT. Kegiatan pemantauan merupakan kegiatan penting yang mendasari pengambilan keputusan pengendalian. Petani sebagai ahli PHT merupakan tujuan penerapan agar petani memiliki kemampuan dan kemauan untuk menetapkan tindakan pengendalian sesuai prinsip PHT dan berdasarkan hasil pengamatan. Upaya untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan petani adalah latihan dan pemberdayaan petani.
6. PHT tidak anti pestisida
Aplikasi pestisida boleh dilakukan bila cara-cara pengendalian lainnya sudah tidak dapat mengatasi OPT padahal OPT tersebut diputuskan harus dikendalikan karena telah sampai pada ambang merugikan. Bila dalam PHT masih digunakan pestisida sintetik, maka PHT tidak dapat dimasukkan sebagai bagian dalam pertanian organik. Akan tetapi, bila pestisida sintetik dapat diganti dengan pestisida alami, yang kemudian disebut sebagai pestisida organik, atau cara pengendalian lain non-pestisida maka PHT dapat diterapkan dalam pertanian organik. Cara-cara pengendalian non-pestisida yang aman lingkungan banyak cara pengendalian OPT selain penggunaan pestisida yang dapat digunakan dalam pertanian organik. Salah satunya yaitu dengan menghindarkan adanya OPT saat tanaman sedang dalam masa rentan.
Cara menghindari OPT dapat dilakukan dengan mengatur waktu tanam, pergiliran tanaman, mengatur jarak tanam ataupun dengan cara menanam tanaman secara intercropping. Selain itu, penggunaan varietas tahan merupakan suatu pilihan yang sangat praktis dan ekonomis dalam mengendalikan OPT. Walaupun demikian, penggunaan varietas yang sama dalam waktu yang berulang-ulang dengan cara penanaman yang monokultur dalam areal yang relatif luas akan mendorong terjadinya ras atau biotipe baru dari OPT tersebut. Cara fisik dan mekanis dalam pengendalian OPT dapat dilakukan dengan berbagai upaya, antara lain dengan sanitasi atau membersihkan lahan dari sisa-sisa tanaman sakit atau hama. Selain itu, hama dapat diambil atau dikumpulkan dengan tangan. Hama juga dapat diperangkap dengan senyawa kimia yang disebut sebagai feromon, atau menggunakan lampu pada malam hari. Hama juga dapat diusir atau diperangkap dengan bau-bauan lain seperti bau bangkai, bau karet yang dibakar dan sebagainya. Penggunaan mulsa plastik dan penjemuran tanah setelah diolah dapat menurunkan serangan penyakit tular tanah. Hama dapat pula dikendalikan dengan cara hanya menyemprotkan air dengan tekanan tertentu atau dikumpulkan dengan menggunakan penyedot mekanis. Pengendalian dengan cara biologi merupakan harapan besar untuk pengendalian OPT dalam pertanian organik. Cara ini antara lain menyang-kut penggunaan tanaman perangkap, penggunaan tanaman penolak (tanaman yang tidak disukai), penggunaan mulsa alami, penggunaan kompos yang memungkinkan berkembangnya musuh alami dalam tanah, dan penggunaan mikroba sebagai agen pengendali.

2.7 Langkah-Langkah Pengembangan PHT
Pengembangan sistem PHT didasarkan pada keadaan agroekosistem setempat. Sehingga pengembangan PHT pada suatu daerah boleh jadi berbeda dengan pengembangan di daerah lain. Sistem PHT harus disesuaikan dengan keadaan ekosistem dan sosial ekonomi masyarakat petani setempat. Para ahli dan lembaga-lembaga internasional seperti FAO menyarankan langkah pengembangan PHT agak berbeda satu sama lain. Namun diantara saran-saran mereka banyak persamaan. Perbedaannya terutama terletak pada penekanan dan urutan-urutan langkah-langkah yang harus ditempuh. Menurut Smith dan Apple (1978), langkah langkah pokok yang perlu dikerjakan dalam pengembangan PHT adalah sebagai berikut :
Langkah 1: Mengenal Status Hama Yang Dikelola
Hama-hama yang menyerang pada suatu agroekosistem, perlu dikenal dengan baik. Sifat-sifat hama perlu diketahui, meliputi perilaku hama, dinamika perkembangan populasi, tingkat kesukaan makanan, dan tingkat kerusakan yang diakibatkannya. Pengenalan hama dapat dilakukan melalui identifikasi dan hasil analisis status hama yang ada. Dalam suatu agroekosistem, kelompok hama yang ada bisa dikategorikan atas hama utama, hama kadangkala (hama minor), hama potensil, hama migran dan bukan hama. Dengan mempelajari dan mengetahui status hama, dapat ditetapkan jenjang toleransi ekonomi untuk masing-masing kategori hama.
Langkah 2 : Mempelajari Komponen Saling Tindak Dalam Ekosistem
Komponen suatu ekosistem perlu ditelaah dan dipelajari. Terutama yang mempengaruhi dinamika perkembangan populasi hama-hama utama. Termasuk dalam langkah ini, ialah menginventarisir musuh-musuh alami, sekaligus mengetahui potensi mereka sebagai pengendali alami. Interaksi antar berbagai komponen biotis dan abiotis, dinamika populasi hama dan musuh alami, studi fenologi tanaman dan hama, studi sebaran hama dan lain-lain, merupakan bahan yang sangat diperlukan untuk menetapkan strategi pengendalian hama yang tepat. Langkah 3: Penetapan dan Pengembangan Ambang Ekonomi
Ambang ekonomi atau ambang pengendalian sering juga diistilahkan sebagai ambang toleransi ekonomik. Ambang ini merupakan ketetapan tentang pengambilan keputusan, kapan harus dilaksanakan penggunaan pestisida. Apabila ternyata populasi atau kerusakan hama belum mencapai aras tersebut, penggunaan pestisida masih belum diperlukan. Untuk menetapkan ambang ekonomi bukanlah pekerjaan yang gampang. Dibutuhkan banyak informasi, baik data biologi dan ekologi, serta ekonomi. Penetapan kerusakan hasil dalam hubungannya dengan populasi hama, merupakan bagian yang penting dalam pengembangan ambang ekonomi. Demikian juga analisis biaya dan manfaat pengendalian, sangat perlu diketahui.
Langkah 4: Pengembangan Sistem Pengamatan dan Monitoring Hama
Untuk mengetahui padat populasi hama pada suatu waktu dan tempat, yang berkaitan terhadap ambang ekonomi hama tersebut, dibutuhkan program pengamatan atau monitoring hama secara rutin dan terorganisasi dengan baik. Metode pengambilan sampel secara benar perlu dikembangkan. Agar data lapangan yang diperoleh dapat dipercaya secara statistik, dan cara pengumpulan data mudah dikerjakan.
Jaringan dan organisasi monitoring yang merupakan salah satu bagian organisasi PHT, perlu dikembangkan agar dapat menjamin ketepatan dan kecepatan arus informasi dari lapangan ke pihak pengambil keputusan pengendalian hama dan sebaliknya.
Langkah 5: Pengembangan Model Deskriptif dan Peramalan Hama
Dengan mengetahui gejolak populasi hama dan hubungannya dengan komponen-komponen ekosistem lainnya, maka perlu dikembangkan model kuantitatif yang dinamis. Model yang dikembangkan diharapkan mampu menggambarkan gejolak populasi dan kerusakan yang ditimbulkan pada waktu yang akan datang. Sehingga, akan dapat diperkirakan dinamika populasi, sekaligus mempertimbangkan bagaimana penanganan agar tidak sampai terjadi ledakan populasi yang merugikan secara ekonomi.
Langkah 6: Pengembangan Srategi Pengelolaan Hama
Strategi dasar PHT adalah menggunakan taktik pengendalian ganda dalam suatu kesatuan sistem yang terkordinasi. Strategi PHT mengusahakan agar populasi atau kerusakan yang ditimbulkan hama tetap berada di bawah aras toleransi manusia. Beberapa taktik dasar PHT antara lain : (1). memanfaatkan pengendalian hayati yang asli ditempat tersebut, (2). mengoptimalkan pengelolaan lingkungan melalui penerapan kultur teknik yang baik, dan (3). penggunaan pestisida secara selektif. Srategi pengelolaan hama berdasarkan PHT, menempatkan pestisida sebagai alternatif terakhir. Pestisida digunakan, jika teknik pengendalian yang lain dianggap tidak mampu mengendalikan serangan hama.
Langkah 7: Penyuluhan Kepada Petani Agar Menerima dan Menerapkan PHT
Petani sebagai pelaksana utama pengendalian hama, perlu menyadari dan mengerti tentang cara pendekatan PHT, termasuk bagaimana menerapkannya di lapangan. Pemahaman lama secara konvensional tentang “pemberantasan” hama, perlu diganti dengan pengertian “pengendalian” atau “pengelolaan” hama. Petani perlu diberikan kepercayaan dan kemampuan untuk dapat mengamati sendiri dan melaporkan keadaan hama pada pertanamannya.
Langkah 8: Pengembangan Organisasi PHT
Sistem PHT mengharuskan adanya suatu organisasi yang efisien dan efektif, yang dapat bekerja secara cepat dan tepat dalam menanggapi setiap perubahan yang terjadi pada agroekosistem. Organisasi tersebut tersusun oleh komponen monitoring, pengambil keputusan, program tindakan, dan penyuluhan pada petani. Organisasi PHT merupakan suatu organisasi yang mampu menyelesaikan permasalahan hama secara mandiri, pada daerah atau unit kerja yang menjadi tanggungjawabnya.

2.8 Pengendalian Hayati Yang Ekologis Dan Berkelanjutan
Pengendalian hayati adalah pengendalian dengan cara memanfaatkan musuh alami untuk mengendalikan OPT termasuk memanipulasi inang, lingkungan atau musuh alami itu sendiri. Pengendalian hayati bersifat ekologis dan berkelanjutan. Ekologis berarti pengendalian hayati harus dilakukan melalui pengelolaan ekosistem pertanian secara efisien dengan sedikit mungkin mendatangkan akibat samping negatif bagi lingkungan hidup. Sedangkan berkelanjutan dapat diartikan sebagai kemampuan untuk bertahan dan menjaga upaya agar tidak merosot atau menjaga agar suatu upaya terus berlangsung.
Pengendalian hayati memiliki arti khusus, karena pada umumnya beresiko kecil, tidak mengakibatkan kekebalan atau resurgensi, tidak membahayakan kesehatan manusia maupun lingkungan dan tidak memerlukan banyak input luar. Pengendalian ini secara terpadu diharapkan dapat menciptakan kondisi yang tidak mendukung bagi kehidupan organisme penyebab penyakit atau mengganggu siklus hidupnya (Baker dan Cook, 1974; Reintjes et al. 1999).
Pengendalian hayati yang ekologis dan berkelanjutan mengacu pada bentuk-bentuk pertanian sebagai berikut :
1. Berusaha mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya yang ada. Misalnya keanekaragaman mikroorganisme antagonistik dalam tanah atau di rizosfir (daerah sekitar perakaran) dengan mengkombinasikan berbagai komponen system usaha tani yaitu tanaman, tanah, air, iklim dan manusia sehingga saling melengkapi dan memberikan efek sinergi yang paling besar.
2. Berusaha memanfaatkan pestisida sintetis seminimal mungkin untuk meminimalisasi kerusakan lingkungan.
Dalam pembangunan di bidang pertanian, peningkatan produksi seringkali diberi perhatian utama sehingga seringkali batas maksimal produksi dilampaui. Akibatnya ekosistem akan mengalami degradasi dan kemunginan akan runtuh sehingga hanya sebagian orang yang bias hidup dengan sumberdaya tersebut. Konsekwensinya, bahwa bila batas produksi tercapai maka harus dilakukan sesuatu terhadap ekosistem, misalnya pengembalian sumberdaya alam. Prinsip ekologi dasar mewajibkan kita untuk menyadari bahwa produktivitas pertanian memiliki kemampuan terbatas. Pemanfaatan musuh alami OPT menjadi sangat penting dalam menjaga keseimbangan ekologis karena sumberdaya tersebut dikembalikan lagi ke alam sehingga kualitas lingkungan terutama tanah dapat dipertahankan.
Di alam musuh alami dapat terus berkembang selama nutrisi dan faktor-faktor lain (kelembaban, suhu dan lain-lain) sesuai untuk pertumbuhannya. Proses pengendalian hayati mEniru ekologi alami sehingga untuk menciptakan lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan musuh alami tersebut bisa dilakukan dengan memanipulasi sinar matahari, unsur hara tanah dan curah hujan sehingga sstem pertanian dapat terus berlanjut. Misalnya dengan penambahan bahan organik pada tanaman yang akan dikendalikan. Bahan organik atau residu tanaman adalah media yang kondusif untuk mikrooraganisme yang antagonistik terhadap OPT yang pada dasarnya beraspek majemuk, yaitu sebagai pencegah berkembangnya OPT, sebagai sumber unsur hara dan untuk perbaikan fisik tanah pertanian.

2.9 Prospek Pengendalian Hayati
Prospek pengendalian hayati penyakit tanaman perlu ditinjau dari berbagai aspek, erutama aspek teknis sejak kegiatan di laboratorium dan rumah kaca. Jumlah dan jenis penelitian yang sudah diperoleh oleh ahli-ahli penyakit tanaman di bbidang pengendalian hayati sangat besar pada tingkat laboratorium dan rumah kaca, namun hanya sebagian kecil saja yang telah dimanfaatkan di tingkat lapangan dalam skala ekonomi. Hal ini tidak perlu menjadi alasan untuk menyatakan bahwa prospek pengendalian hayati dalam praktek kecil atau kurang relevan. Keanekaragaman dari mikrooragnisme yang antagonistik dan kekayaan sumberdaya alam di Indonesia, sebenarnya menjanjikan peluang yang cukup besar untuk dimanfaatkan dalam pengendalian hayati penyakit tanaman.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia no. 6 tahun 1995 pasal 4 tentang Perlindungan tanaman disebutkan bahwa “Perlindungan tanaman dilaksanakan dengan menggunakan sarana dan cara yang tidak mengganggu kesehatan dan atau mengancam keselamatan manusia, menimbulkan gangguan dan kerusakan sumberdaya alam atau lingkungan hidup”. Untuk maksud tersebut yang paling cocok pertanian untuk masa depan adalah pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture). Adapun definisi pertanian berkelanjutan adalah pengelolaan sumberdaya untuk usaha pertanian guna membantu kebutuhan manusia yang berubah sekaligus mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumberdaya alam. Dalam pertanian berkelanjutan perlindungan tanaman harus dilakukan dengan prinsip-prinsip pengendalian hama terpadu (PHT). Pengendalian secara hayati merupakan cara pengendalian yang lebih ramah lingkungan dbandingkan dengan pemakaian pestisida. Berdasarkan hal-hal yang telah disebutkan di atas pengendalian penyakit tumbuhan secara hayati dapat digunakan sebagai salah satu komponen dalam pengendalian penyakit secara terpadu.

2.10 Konsep Pengendalian Hayati
Dalam pengendalian hayati banyak hal-hal yang perlu diperhatikan sehubungan dengan sifatnya yang ekologis dan berkelanjutan. Secara garis besar konsep pengendalian penyakit secara hayati meliputi hal-hal berikut ini :
1. Mengenal OPT dan memahami faktor-faktor yang mendukung perkembangan ekobiologi dan epidemiologinya.
2. Memahami situasi pada saat tertentu, seperti tanda-tanda terjadinya eksplosi, apakah proses penularan penyakit berlangsung biasa atau lambat.
3. Menghindari terjadinya lingkungan yang kondusif untuk perkembangan dan penularan penyakit, misalnya drainase jelek, tumpukan tanaman inang, tanaman yang tidak terpelihara. Keberdaan dan efektifitas agensia hayati dikaitan dalam kondisi seperti ini kurang memberi keuntungan.
4. Memanfaatkan proses pengendalian alami yang berorientasi pada keseimbangan biologi dan ekosistem, maka agensia hayati harus dipantau untuk mempertahankan dan meningkatkan peranannya dalam jangka waktu tertentu.
5. Karena konsep ini mengait dengan system, maka partisipasi dan kepedulian dari pihak-pihak disiplin ilmua terkait perlu ada, sebaiknya secara institusional.
6. Sebagai salah satu alternatif dari PHT, pengendalian hayati harus kompatibel dengan komponen lain, dengan catatan khusus terhadap pestisida sintetis.
7. Pengendalian hayati sebagai satu sub- system yang efektif dapat terwujud dengan mengembangan pengadaan dan proses sub-komponen utama antagonistic, bahan organik, rotasi dengan tanaman/tumbuhan yang bermanfaat.
8. Melakukan eksploirasi, identifikasi, efikasi, perbanyakan dan aplikasi yang sistematik dari antagonis potential.
9. Mengidupkan informasi dua arah antara pengguna, penyuluh dan sumber teknologi pengendalian hayati.
10. Memasukkan komponen lain (mekanik, pestisida dan lain-lain) pada situasi epidemik dan pertimbangan lain yang memerlukan tindakan khusus

2.11 Kendala dan Kelemahan Pengendalian Hayati
Berbagai kendala yang sering menjadi titik lemah dalam komponen hayati antara lain adalah :
1. Untuk mengetahui secara pasti peranan agensia hayati tidak mudah karena terlalu banyak hal yang dianggap mendasar untuk diteliti.
2. Memerlukan fasilitas untuk mendukung rangkaian penelitian mulai dari eksploirasi, isolasi, identifikasi, pemurnian, perbanyakan inokulum sampai sumberdaya manusia peneliti yang tekun.
3. Petani sudah terbiasa dengan cara pengendalian penyakit yang memberi hasi yang cepat sehingga tidak tertarik dengan cara pengendalian hayati yang berproses lambat dalam kurun waktu yang panjang.
Oleh karena itu sangat terasa pentingnya suatu komitmen untuk menentukan suatu gerak terpadu melalui konsep pengendalian hayati yang menguntungkan dan berkelanjutan dalam pemanfaatannya.
Di dalam prakteknya, penerapan teori yang diperoleh dari SLPHT itu tidak
sepenuhnya dapat dilakukan petani. Banyak faktor internal maupun eksternal yang
mempengaruhi penerapan PHT. Hal ini tidak berbeda dengan kasus-kasus penerapan teknologi baru dalam program pembangunan pertanian yang lain. Beberapa penelitian telah mengungkapkan bahwa dalam program pembangunan pertanian dapat diidentifikasi sejumlah petani yang hanya mengadopsi komponen-komponen tertentu dari paket teknologi yang direkomendasikan, bahkan ada indikasi bahwa sebagian petani yang semula telah melaksanakan paket teknologi baru kemudian kembali lagi pada teknologi usahatani lama.
Di samping itu, mengingat kondisi lahan perkebunan dan petani pekebun yang berskala kecil (perkebunan rakyat) maka pengorganisasian diantara petani dalam penerapan PHT merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan penerapan PHT. Pengelolaan ekosistem perkebunan dalam menekan populasi hama serta penggunaan pestisida tidak mungkin dilakukan oleh petani yang bekerja sendiri. Dengan demikian maka pengelompokkan petani dalam organisasi kelompok tani yang kompak dan bekerja secara kontinyu tentu akan lebih efisien dalam mencapai tujuan penerapan PHT.

2.12 Contoh Implementasi Kebijakan Pemerintah
Pengendalian OPT yang pendekatannya berdasarkan ekosistem, yang dalam keadaan lingkungan tertentu mengusahakan pengintegrasian berbagai taktik pengendalian kompatibel satu sama lain sedemikian rupa hingga populasi OPT dapat dipertahankan dibawah jumlah yang secara ekonomis tidak merugikan, serta mempertahankan kelestarian lingkungan dan menguntungkan bagi petani.
Contoh rekomendasi yang diberikan pemerintah :
Untuk daerah yang terserang Tikus di Kab. Bojonegoro, Tuban dan Kab. Lamongan, langkah pengendalian yang dianjurkan adalah sebagai berikut :
a. Pemantauan dini populasi tikus disekitar tanggul irigasi, pematang, jalan desa, dan batas kampung. Bila ditemukan gejala/tanda adanya tikus segera laporkan kepada kelompok.
b. Lakukan sanitasi dan buru tikus di tempat ditemukannya gejala tersebut dengan gropyokan, jala perangkap, dan emposan belerang.

Untuk daerah yang terserang Penggerek Batang Padi di Kab. Bojonegoro, Kab. Tuban, dan Kab. Lamongan, langkah pengendalian yang dianjurkan adalah sebagai berikut :
Aplikasi insektisida dilakukan bila keadaan serangan melebihi ambang ekonomi atau jika populasi ngengat meningkat pada saat tanaman fase generatif. Gunakan insektisida yang berbahan aktif karbofuran atau fipronil
Untuk daerah yang terserang WBC di Kab. Bojonegoro, Tuban dan Kab. Lamongan, langkah pengendalian yang dianjurkan adalah sebagai berikut :
a. Penanaman varietas unggul tahan wereng (VUTW) seperti IR-64, ciherang, Widas, Tukad Balian, Tukad Petanu, cimelati, konawe, cisantana, konde dan angke.
b. Aplikasi pestisida (apabila diperlukan) antara lain yang berbahan aktif: buprofezin, BPMC, MIPC, tiametoksam, b. Bassiana, dan lain-lain.

III. PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pemerintah telah menetapkan PHT sebagai kebijakan dasar bagi setiap program perlindungan tanaman. Dasar hukum penerapan dan pengembangan PHT di Indonesia ialah intrusksi Presiden nomor 3 Tahun 1986 dan Undang-undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. Dengan berdasarkan pada program pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, diharapkan program PHT dapat dikembangkan dan diterapkan oleh petani. Mengatasi masalah hama dan gulma merupakan pengetasan masalah yang dilematis diakhir tahun 80-an. Betapa tidak, pestisida yang dianggap menyelesaikan masalah pertanian khususnya dalam pembasmian hama, ternyata menimbulkan dampak. Senyawa-senyawa kimia yang tertinggal, senyawa sisa yang dimanfaatkan tanaman, namun tertinggal dalam tanah. Senyawa yang tertinggal inilah yang mengganggu dan merusak aktifitas tanah. Tanah akan mengalami defisiensi unsur hara alami karena adanya reaksi antar senyawa sisa pestisida dengan hara alami.
Selain mempengaruhi keadaan tanah, ternyata pestisida sendiri secara tidak langsung memberikan peluang terputusnya sistem ekologis areal persawahan dan perkebunan tanaman, yang akhirnya membuat sistem ekologis baru, dimana hewan predator menghilang, hama menjadi kebal setelah beberapa generasi beradaptasi dengan pestisida, dan kekalahan terbesar bagi petani adalah ketika tanah menjadi ketergantungan terhadap pestisida. Untuk itulah, sejak awal tahun 90-an, pemerintah melalui undang-undang meminta kepada para petani untuk tidak lagi mengunakan pestisida kimia. Karena dirasa kontaminasinya berpengaruh besar bagi ekosistem alam. Hingga saat ini petani diharapkan untuk tidak menggunakan pestisida atau bahan kimiawi baik untuk memberantas hama, atau meningkatkan produktivitas tanaman. Sebagai alternatif pemerintah telah mengeluarkan pestisida organik, dan cara-cara pemberantasan dengan lebih memperhatikan ekosistem lingkungan.

3.2 Saran
Perkembangan peradaban umat manusia yang di awali masa revolusi industri ternyata membawa dampak negatif bagi lingkungan. Emisi carbon yang kian hari semakin meningkat sehingga udara menjadi terkontaminasi, kotor dan sudah berada di atas batas toleransi. Air dan tanah menjadi terkontaminasi dan tak bisa dimanfaatkan lagi karena molekul dan senyawa di dalamnya rusak, hilang, bercampur baur. Tanah yang telah mengalami defisiensi unsur hara akan merugikan bagi petani. Untuk itu penyelesaian yang di tawarkan pemerintah perlu di lakukan sebelum semua serba terlambat dan kita benar-benar merasakan akibatnya. Kembali ke cara-cara dan metode lama bukanlah suatu kemunduran melainkan sebuah usaha yang lebih bijak dan menjaga amanah ilahi yang tiada lain merupakan tujuan penciptaan manusia. Namun dari apa yang saya tuliskan diatas tidak menutup kemungkinan adanya dampak yang lain.

DAFTAR PUSTAKA

Oka, Ida Nyoman. 1995. Pengendalian Hama Terpadu dan Implementasinya di Indonesia. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Smith, R.F. 1978. Distory and Complexity of Integrated Pest Management. In: Pest Control Strategis. S.H. Smith and D. Pimentel (Ed.). Acad. Press. New York.
Smith, R.F and J.L. Apple. 1978. Principles of Integrated Pest Control. IRRI Mimeograph.
Untung, K. 1984. Pengantar Analisis Ekonomi Pengendalian Hama Terpadu. Andi Offset. Yogyakarta.
Untung, K. 1993. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Sabtu, 02 Januari 2010

Nama :Anwar Gozali
NIM : 0810442057
Kelas :D
Judul Asli : Effects Of Net Barrier and Synthetic Pesticides On Red Pumpkin Beetle and Yield of Cucumber
Judul Terjemah : Akibat Dari Halangan Jaring dan Pestisida Sintetik pada Kumbang Jipang Merah dan Hasil Investasi dari Ketimun
Dosen : dr. Ir. Anton Muhibbuddin


EFFECTS OF NET BARRIER AND SYNTHETIC PESTICIDES ON
RED PUMPKIN BEETLE AND YIELD OF CUCUMBER

M. A. RAHAMAN1), M. D. H. PRODHAN2)

1)Technical Officer (Agriculture), Partnership in Agricultural Research and Extension (PARE) Program, Mennonite Central Committee (MCC), Bangladesh, Jublee Bagan Lane, Sirajgonj - 6700, 2)Scientific Officer, Entomology Division, Bangladesh Agricultural Research Institute, Joydebpur, Gazipur-1701, Bangladesh
Accepted for publication: 14July, 2007

ABSTRACT

Rahman, M.A. and Prodhan, M.D.H. 2007. Effects of Net Barrier and Synthetic Pesticides on Red Pumpkin Beetle and Yield of Cucumber. Int. J. Sustain. Crop Prod. 2(3): 30-34
The effect of net barrier and some synthetic pesticides on red pumpkin beetle and on yield of cucumber was investigated using farmer’s field at one location, Madhupur, Tangail during the year 2005-2006. The treatments were control, mosquito net barrier, carbofuran (soil mixing pesticide) and foliar spraying of Diazinon-60EC. There were differences in case of overall performance of the treatments and in some cases it was more or less similar. However, in control there was a highest leaf and fruit infestation by the red pumpkin beetle but yield was very near to the highest yield performance because in net barrier plants were free from infestation but a month after removed of net barrier plants showed more susceptibility to the red pumpkin beetle and other insects also. The carbofuran performed well compared to other treatments.
Keywords: Synthetic pesticides, net barrier, yield

INTRODUCTION

Bangladesh is a vegetable deficit country. The vegetables are not produced evenly throughout the year in this country. Less than one-fourth of the vegetables are produced during the kharif season and more than threefourth are produced in the rabi season (Anonymous, 1993a).Thus, smaller quantities of vegetables are grown in the kharif (Summer & rainy months) season. The major vegetables grown in the summer are the cucurbits. Cucumber is a popular and extensively cultivated cucurbitaceous vegetable in Bangladesh. People like it cooked and raw. Most people like to have it as a salad. On the other hand a good economic profit may come through its cultivation. But its production is severely affected by a number of insect pests. Among these insect pests, the red pumpkin.
Beetle (RPB) and fruit flies are the most damaging and major pests (Alam, 1969; Butani and Jotwani, 1984). The RPB, Aulacophora foveicollis (Lucas), has been reported by Azim (1966) as the most destructive insect pest of cucurbitaceous vegetables, specially cucumber and melons, in Bangladesh. This insect pest is widely distributed all over the South-East Asia as well as the Mediterranean region towards the west and Australia in the east (Butani and Jotwani, 1984). The adult beetle is red, oblong and approximately 6-8 mm long and lays its eggs at the base of the cucumber stem. A single female can lay 150 to 300 eggs (Srivastava and Butani, 1998).
The adult beetles feed voraciously on the leaf lamina making irregular holes and also attack cotyledons and flowers (Butani and Jotwani, 1984). They eat seedlings, young and tender leaves and flowers. They normally occur in large numbers. The grubs are yello wish white and when in the soil cause injury to the roots (Maniruzzaman, 1981). Presently the farmers are totally depended on the use of insecticides to control this pest. Control of RPB by applying insecticides has been reported by several workers in home (Alam, 1969; Karim,1992 ; Anonymous, 1992, 1993b, 1994) and abroad (Pawlacos, 1945 ; Butani and Jotwani , 1984; Nair, 1986; Chattopadhyay, 1992 and Saha, 1992).But indiscriminate use of pesticides has not only complicated the management, but has also created several adverse effects such as pest resistance, outbreak of secondary pests (Hagen and Franz, 1973), health hazards (Bhaduri et al., 1989) and environmental pollution (Kavadia et al., 1984; Desmarchelier, 1985; Devi et al., 1986; Fishwick, 1988). So always we are looking alternative and environment- friendly methods of pest control. The use of net barrier was found to provide adequate protection from RPB attack. A physical barrier preventing the adults from feeding on the leaves and from reaching the stem to lay their eggs is a potential control method and since mosquito netting is widely available in Bangladesh, it could be easily procured by farmers for such purpose. It is better to follow the need based applications of pesticides at action threshold and economic threshold.
There are objectives behind this trial, which are as follows: To see the effectiveness of net barrier to control the red pumpkin beetles at its seedling stage and finally at the production stage; to find an environment-friendly technology which is less hazardous to the environment and friendly to the beneficial insects; and to see the effect of different synthetic pesticides on the yield of cucumber.

MATERIALS AND METHODS

The study was conducted at farmer’s field of Jalchatra, Madhupur, Tangail under the jurisdiction of a partner organization, Jalchatra Mission from May to August, 2005. The treatments were laid out in RCB design with 5 replications. Treatments were as follows –
T1 = Control
T2 = Mosquito net barrier
T3 = Use of Carbofuran (soil mixing pesticide) and
T4 = Foliar spraying of Diazinon 60-EC.
Land was prepared by four ploughing and was leveled properly. Recommended doses of compost, 40kg/decimal and chemical fertilizers like urea: 460g, TSP: 460g and MP: 230g per decimal were mixed during final land preparation followed by MCC crop calendar (2003).The area of unit plot was 2mX 8m = 16m2, where the total land was 64m2 in size. The main plot was divided into 20 subplots. Three seeds were sown in each hill and hills were arranged in rows, where 1.5 m distance was kept between plant to plant and row to row. A drainage canal of 25cm between two rows was kept.
The mosquito net barrier was set just after seed sowing and it was funnel like to look at. At 30 days after sowing (DAS) the net barrier was removed. In each hill finally one plant was kept and uprooting the other two and at this time shoots and root length data were recorded. In the treatment Carbofuran (as a soil mixing chemical) – the pesticide was mixed with hill soil just before seed sowing. At 30 days, thinning of plants was done and keeping one per hill and at that time root and shoot length data were recorded. In the treatment using Diazinon 60EC as a folier spray, it was sprayed to the field and it was starting from the first week after emergence and it was continued once per week till harvest.
Necessary intercultural operations were done properly. Farmer was related with all kinds of trial activities. They were not so interested to do that and that is why our research assistant had to spend a lot time for this purpose. 50cm high bamboo sticks were posted around the hill and pesticides were sprayed to the field in every 8, 15 and 21 days.
Data was recorded at different stages during the cropping period. At each harvest, the number and weight of both infested and healthy fruits were recorded and the presence of fruit infestation was calculated. The cumulative plot yield of healthy and infested fruits was converted to yield per hectare. Fruit infestation was calculated using the following formula:
Number of infested fruits
Fruit infestation by number (%) = ------------------------------------------- X 100
Number of total fruits
All data were subjected to ANOVA and the treatment means were separated by applying SPSS (version 10.0).

RESULTS AND DISCUSSION

Effect of different treatments on leaves of cucumber
Numbers of leaves at 27 DAS in three treatments (T1, T2 and T4) were more or less same and statistically there were no significant differences among them. The highest number was 15.60 ± 10.06 in the T3 (Carbofuran). A significant difference was found at 5% level, when the Carbofuran was compared with other three treatments. At 37 DAS the highest number of leaves were being 23.00 ± 11.68 in the Carbofuran. Other three treatments showed approximately same results and there were no significant differences among the treatments (Table 1).

Effect of different treatments on plant height of cucumber
Highest plant height showed by the Carbofuran while net barrier performance was statistically same (Table1).A significant difference in the plant height of these treatments and the other treatment did exist. The lowest plant height was performed by the control and Diazinon and these two treatments showed no significant differences between them.

Effect of different treatments on root length of cucumber
Highest root length was performed by the Carbofuran than the net barrier and lowest performance by the control and Diazinon. Statistically there were no significant differences among them (Table 1).

Table 1: Effect of net barrier and some synthetic pesticides on different agronomic characteristics of cucumber (plot wise data)








Treatments No. of leaves at 27 DAS/plot ± SD No. of leaves at 37DAS ± SD Plant height (cm) at 27 DAS ± SD Root length (cm) ± SD Total no. of harvested fruits ± SD
Control 6.00 ± 2.12 b 13.80 ± 5.89 7.00 ± 2.92 b 5.35 ± 1.58 7.20 ± 4.02
Net barrier 6.20 ± 3.35 b 12.20 ± 7.85 22.20 ± 20.73 ab 17.544± 16.66 4.20 ± 2.39
Carbofuran 15.60 ± 10.06 a 23.00 ± 11.68 38.60 ± 28.79 a 19.80 ± 11.52 9.60 ± 5.18
Diazinon 6.20 ± 0.84 b 13.40 ± 4.22 7.70 ± 1.72 b 6.50 ± 2.78 4.80 ± 2.05
F – value 3.71 2.82 3.62 2.51 2.67
P – value P< 0.05 NS P< 0.05 NS NS


Effect of net barrier and some synthetic pesticides on cucumber pest status
Data was collected from beetle infested leaves at 27 and 37 DAS. Where, at 27 DAS the control showed a highest number of leaf infestation and zero infestation was observed in the net barrier. At 37 DAS, the control also showed the highest infestation and lowest by the Carbofuran and it was significant at 5% level (Table 2).
There were significant differences among the treatments incase of fruit infestation. The highest fruit infestation was occurred by the T1. Lowest infestation occurred by T2 while the Carbofuran and Diazinon treated plants gave statistically the same results. (Table 2).
Table 2: Effect of net barrier and some synthetic pesticides on cucumber pest status


Treatments No. of beetle infested leaves at 27DAS ± SD No. of beetle infested leaves at 37DAS ± SD No. of infested fruits ± SD
Control 3.00 ± 1.22 a 3.80 ± 1.30 a 2.20 ± 1.30 a
Net barrier 0.00 ± 0.00 b 2.40 ± 1.34 ab 0.60 ± 0.89 b
Carbofuran 0.20 ± 0.45 b 0.80 ± 0.84 b 2.00 ± 0.71 ab
Diazinon 0.60 ± 0.89 b 1.40 ± 2.61 b 1.00 ± 1.41 ab
F – value 11.82 3.79 3.47
P – value P< 0.01 P< 0.05 P = 0.05

Yield records :
To observe the yield performance data were collected from both infested and non infested fruits. During the harvesting period all harvested fruits were marketable size. Data was collected plot wise (64m2) in kilogram and was converted to ton/hectare. The Carbofuran gave the highest yield (1.24 t/ha) and second highest was performed by the control (1.23 t/ha), where the Diazinon and net barrier yielded 0.55 t/ha and 0.41 t/ha, respectively (Fig.1).
Though there is a dramatic growth rate was occurred in the treatment net barrier but at the final stage yield was not at satisfactory level. Obviously it is true that plants remain free of infestation when it is in the net barrier, but a month after removed of net barrier, the plants showed more susceptibility to the red pumpkin beetle and other insects also. It may be that due to open condition plants of other treatments built a resistance against different natural threats and finally they gave an acceptable yield, but growth and yield was drastically reduced in the treatment net barrier. After removing the net barrier environment friendly materials like some botanicals had to be used to save the plants.

Yield records :
To observe the yield performance data were collected from both infested and non infested fruits. During the harvesting period all harvested fruits were marketable size. Data was collected plot wise (64m2) in kilogram and was converted to ton/hectare. The Carbofuran gave the highest yield (1.24 t/ha) and second highest was performed by the control (1.23 t/ha), where the Diazinon and net barrier yielded 0.55 t/ha and 0.41 t/ha, respectively (Fig.1).
Though there is a dramatic growth rate was occurred in the treatment net barrier but at the final stage yield was not at satisfactory level. Obviously it is true that plants remain free of infestation when it is in the net barrier, but a month after removed of net barrier, the plants showed more susceptibility to the red pumpkin beetle and other insects also. It may be that due to open condition plants of other treatments built a resistance against different natural threats and finally they gave an acceptable yield, but growth and yield was drastically reduced in the treatment net barrier. After removing the net barrier environment friendly materials like some botanicals had to be used to save the plants.
REFERENCES

Alam, M. Z. 1969. Pest of cucurbit vegetables. In: Insect-Pests of vegetables and Their Control in East Pakistan. Agricultural Information Service, Department of Agriculture, Dacca, pp. 89-110.

Anonymous. 1992. Annual Research Report (1991-92), Entomology Division, Bangladesh Agricultural Research Institute, Joydebpur, Gazipur. 137p.

Anonymous. 1993a. Research and development of vegetable crops. Paper presented in the workshop on March 9-10, 1993 at IPSA, Gazipur. pp. 1-7.

Anonymous. 1993b. Annual Research Report (1992-93), Entomology Division, Bangladesh Agricultural Research Institute, Joydebpur, Gazipur. 112p.

Anonymous. 1994. Annual Research Report (1993-94), Entomology Division, Bangladesh Agricultural Research Institute, Joydebpur, Gazipur. 132p.

Azim, M. I. I. 1966. Studies on the biology of red pumpkin beetle, Aulacophora foveicollis (Lucas) (Chrysomelidae: Coleoptera) in East Pakistan. M. Sc. Thesis. Department of Entomology. Bangladesh Agricultural University, Mymensingh. pp. 1-95.

Bhaduri, M., Gupta, D.P. and Ram, S. 1989. Effect of vegetable oils on the ovipositional behaviour of Callosobruchus maculatus (Fab.). Proc. 2nd Intl. Symp. On Brouchids and Legumes (ISLB-2) held at Okyayamace (Japan), Sept. 6-9, 1989. pp. 81-84.

Butani, D. K. and M. G. Jotwani. 1984. Insects in vegetables. Periodical Expert Book Agency. Vivek-Vihar, Delhi (India). pp. 69-79.

Chattopadhyay, P. 1992. Keetatatta, keetadaman O Shasya Sanrakshan. West Bengal State Book Board, Arjo Mansion (9th floor), 6A, Raja Subodh Mollick Square, Calcutta-700013, India. 2nd Edition. 375p. (in Bangla).
Desmarchelier, Y.M. 1985. Bolivian of pesticide residues on stored grain, Aciar Prof. Series, Australian Centre Int. Agril. Res. 14: 19-29.

Devi, D.A., Mohandas, N. and Vistakshy, A. 1986. Residues of Fenthion, Quinphos and Malathion in paddy grains following surface treatment of gunny bags. Agril. Res. J.Kerala. 24(2): 222-224.

Fishwick, R.B. 1988. Pesticide residues in grain arising from post harvest treatments. Aspects Appl. Biol. 17(2): 37-46.

Hagen, K.S. and Franz, J.M. 1973. A history of biological control. pp. 433-467. In: Smith, R.F., Mittler, T.E. and Smith, C.N. (eds.). History of Entomology. Annual Rev. Inc., Palocetto, California. 872 p.

Karim, M. A. 1992. Insect pests of vegetable crops and their management. In: Vegetable production and Marketing. Lopez, K. and E. Libas (eds.). Proc. National Review and Workshop held at BARI, Gazipur, Bangladesh on January 26-29. 1992. Asian Vegetable Research and Development Center, Shanhua, Tainan,
Taiwan. Publication No. 92-379. pp. 110-112.

Kavadia, V.S., Pareek, B.L. and Sharma, K.P. 1984. Residues of malathion and carbaryl in stored sorghum.
Bull. Grain Tech. 22(3): 247-250.

Maniruzzaman, F.M. 1981. Plant protection in Bangladesh, National book center: Bangladesh, Purana Paltan,
Dhaka: pp.249-251.

MCC Bangladesh Research Result, 2003. The effects of a net barrier and thiamethoxam seed treatment on cucumber growth in the first four weeks after emergence at Mannan Nagar, 29: 35-38.
Nair, M. R. G. K. 1986. Insects and Mites of Crops in India. Publication and Information Division, Indian Council of Agricultural Research. New Delhi. pp. 162-169.

Pawlacos, J. G. 1945. The biology and control of Aulacophora foveicollis (Lucas) in Greece. Rev. Appl. Ent. Ser. A. 33: 16-17.

Saha, L. R. 1992. Handbook of plant protection. Kalyani publishers, 1/1, Rajinder Nagar, Ludhiana-141008, India. First Edition, Reprinted. 928p.

Srivastava, K.P. and Butani, D.K. 1998. Pest Management in Vegetables Part –I, Research Periodicals and Book Publishing House Houston, Texas.
TERJEMAHAN

AKIBAT DARI HALANGAN JARING DAN PESTISIDA SINTETIK PADA KUMBANG JIPANG MERAH DAN HASIL INVESTASI DARI KETIMUN

MA Rahaman 1), MDH PRODHAN2)

1)Technical Officer (Pertanian), Kemitraan dalam Penelitian dan Penyuluhan Pertanian (PARE) Program, Mennonite Central Committee (PKS), Bangladesh, Jublee Bagan Lane, Sirajgonj-6700, 2) Scientific Officer, Entomologi Divisi, Bangladesh Agricultural Research Institute, Joydebpur, Gazipur-1701, Bangladesh
Diterima untuk publikasi: 14July, 2007

ABSTRAK

Rahman, MA dan Prodhan, MDH 2007. Effects of Net Barrier dan sintetik Pestisida pada kumbang jipang merah dan Yield dari Ketimun. Int. J. Mempertahankan. Tanaman Prod. 2 (3): 30-34
Efek penghalang bersih dan beberapa pestisida sintetis kumbang jipang merah dan hasil mentimun diteliti menggunakan ladang petani di satu lokasi, Madhupur, Tangail selama tahun 2005-2006. Itu perlakuan kontrol, kelambu penghalang, carbofuran (tanah pencampuran pestisida) dan penyemprotan foliar Diazinon-60EC. Ada perbedaan dalam hal kinerja keseluruhan perawatan dan dalam beberapa kasus itu kurang lebih sama. Namun, dalam kendali tertinggi ada kutu daun dan buah-buahan oleh merah labu kumbang tapi hasil sangat dekat hasil kinerja tertinggi karena bersih tanaman penghalang
bebas dari dihinggapi tetapi sebulan setelah dihapus dari tanaman penghalang bersih menunjukkan lebih banyak kerentanan terhadap kumbang jipang merah dan serangga lain juga. The carbofuran kinerja yang baik dibandingkan dengan perawatan lainnya.

Keywords: Synthetic pestisida, bersih penghalang, hasil

PENDAHULUAN

Bangladesh adalah sebuah negara defisit sayuran. Sayuran tidak diproduksi secara merata sepanjang tahun ini negara. Kurang dari seperempat dari sayuran yang dihasilkan selama musim kharif dan lebih dari tiga - keempat diproduksi di musim Rabi (Anonymous, 1993a). Dengan demikian, jumlah yang lebih kecil sayuran yang ditanam di yang kharif (Musim Panas & hujan bulan) musim. Sayuran utama tumbuh di musim panas adalah cucurbits. Mentimun adalah populer dan sayuran cucurbitaceous dibudidayakan secara luas di Bangladesh. Orang-orang seperti itu dimasak dan mentah. Sebagian besar orang ingin memiliki sebagai salad. Di sisi lain keuntungan ekonomi yang baik akan datang melalui budidaya. Namun produksi ini sangat dipengaruhi oleh beberapa serangga hama. Di antara hama serangga ini, kumbang jipang merah
Kumbang (RPB) dan lalat buah yang paling merusak dan hama utama (Alam, 1969; Butani dan Jotwani, 1984). The RPB, Aulacophora foveicollis (Lucas), telah dilaporkan oleh Azim (1966) sebagaihama serangga yang paling merusak dari cucurbitaceous sayuran, khususnya mentimun dan melon, di Bangladesh. Hama serangga ini secara luas didistribusikan di seluruh Asia Tenggara serta kawasan Laut Tengah ke arah barat dan Australia di timur (Butani dan Jotwani, 1984).
Kumbang dewasa berwarna merah, lonjong dan panjang sekitar 6-8 mm dan bertelur di dasar timun batang. Satu betina dapat meletakkan telur 150-300 (Srivastava dan Butani, 1998). Kumbang yang dewasa makan lahap pada lamina daun membuat lubang-lubang tidak teratur dan juga menyerang cotyledons dan bunga (Butani dan Jotwani, 1984). Mereka makan bibit, muda dan lembut daun dan bunga. Mereka biasanya terjadi dalam jumlah besar. The belatung adalah putih kekuningan dan ketika di dalam tanah menyebabkan cedera pada akar (Maniruzzaman, 1981).
Saat ini petani benar-benar tergantung pada penggunaan insektisida untuk mengendalikan hama ini. Kontrol RPB oleh menerapkan insektisida telah dilaporkan oleh beberapa pekerja di rumah (Alam, 1969; Karim, 1992; Anonymous, 1992, 1993b, 1994) dan di luar negeri (Pawlacos, 1945; Butani dan Jotwani, 1984; Nair, 1986; Chattopadhyay, 1992 dan Saha, 1992). Tapi sembarangan penggunaan pestisida tidak hanya rumit manajemen, tetapi juga menciptakan beberapa efek samping seperti resistensi hama, wabah hama sekunder (Hagen dan Franz, 1973), bahaya kesehatan (Bhaduri et al., 1989) dan pencemaran lingkungan (Kavadia et al., 1984; Desmarchelier, 1985; Devi et al., 1986; Fishwick, 1988). Jadi selalu kita mencari alternatif dan ramah lingkungan metode pengendalian hama. Penggunaan jaring penghalang ditemukan untuk memberikan perlindungan yang memadai dari serangan RPB. Fisik penghalang mencegah orang dewasa dari memberi makan pada daun dan batang mencapai bertelur adalah metode kontrol potensial dan sejak kelambu tersedia secara luas di Bangladesh, ini dapat dengan mudah diperoleh oleh para petani untuk tujuan tersebut. Lebih baik untuk mengikuti kebutuhan aplikasi berbasis pestisida pada tindakan ambang batas dan ekonomi.
Ada tujuan di balik persidangan ini, yang adalah sebagai berikut: Untuk melihat efektivitas jaring penghalang untuk mengontrol kumbang jipang merah pada tahap semai dan akhirnya pada tahap produksi, untuk menemukan yang ramah lingkungan teknologi yang kurang berbahaya bagi lingkungan dan ramah terhadap serangga bermanfaat, dan untuk melihat efek pestisida sintetis yang berbeda pada hasil panen ketimun.

BAHAN DAN METODE

Studi ini dilakukan di bidang petani Jalchatra, Madhupur, Tangail di bawah yurisdiksi pasangan organisasi, Jalchatra Misi dari Mei hingga Agustus 2005. Perawatan diletakkan di desain RCB dengan 5 ulangan. Perawatan adalah sebagai berikut --
T1 = Kontrol
T2 = Kelambu penghalang
T3 = Penggunaan Carbofuran (tanah pencampuran pestisida) dan
T4 = Foliar penyemprotan Diazinon 60-EC.
Tanah disiapkan oleh empat membajak dan diratakan dengan benar. Direkomendasikan dosis kompos, 40kg/decimal dan pupuk kimia seperti urea: 460g, TSP: 460g dan MP: 230g per desimal yang dicampur tanah selama akhir persiapan diikuti oleh tanaman PKS kalender (2003). Luas area unit plot 2mX 8m = 16m 2 , Di mana total tanah 64M 2 ukuran. Plot utama dibagi menjadi 20 subplot. Tiga benih ditabur di setiap bukit dan bukit-bukit diatur dalam baris, di mana 1,5 m jarak antar tanaman disimpan untuk menanam dan baris ke baris. Sebuah kanal drainase
dari 25cm antara dua baris itu disimpan.
Kelambu pembatas itu ditetapkan setelah menabur benih dan saluran seperti itu untuk melihat. Pada 30 hari setelah penaburan (DAS) penghalang bersih telah dihapus. Dalam setiap bukit akhirnya satu tanaman itu disimpan dan mencabut dua lainnya dan kali ini panjang tunas dan akar data yang tercatat. Dalam pengobatan Carbofuran (sebagai bahan kimia pencampur tanah) - yang pestisida dicampur dengan tanah bukit sebelum menabur benih. Pada 30 hari, penipisan tanaman dilakukan dan menjaga satu per bukit dan pada waktu itu root dan menembak tercatat data panjang. Dalam perawatan menggunakan Diazinon 60EC sebagai folier semprot, itu disemprotkan ke lapangan dan itu mulai dari minggu pertama setelah munculnya dan itu terus sekali per minggu sampai panen.
Diperlukan antar operasi dilakukan dengan benar. Petani ini terkait dengan segala macam kegiatan persidangan. Mereka tidak begitu tertarik untuk melakukan hal itu dan itulah sebabnya asisten penelitian kami harus menghabiskan banyak waktu untuk tujuan ini. 50cm tinggi tongkat bambu yang diposting di sekitar bukit dan pestisida disemprot ke lapangan di setiap 8, 15 dan 21 hari. Data yang tercatat pada tahapan yang berbeda selama periode tanam. Pada setiap panen, jumlah dan berat baik penuh dan buah-buahan sehat direkam dan adanya kutu buah dihitung. Itu plot kumulatif hasil yang sehat dan penuh buah-buahan itu dikonversi ke hasil per hektar. Buah kutu itu dihitung dengan menggunakan rumus berikut:
Jumlah penuh buah-buahan
Buah kutu menurut jumlah (%) = ------------------------------------------ - x 100
Jumlah total buah-buahan
Semua data yang mengalami ANOVA dan perawatan sarana dipisahkan dengan menggunakan SPSS (versi 10.0).

HASIL DAN DISKUSI

Efek pengobatan yang berbeda pada daun mentimun
Jumlah daun pada 27 DAS dalam tiga perawatan (T 1,T 2 dan T 4 ) Lebih atau kurang sama dan secara statistik ada ada perbedaan yang signifikan antara mereka. Jumlah tertinggi adalah 15,60 ± 10,06 dalam T 3 (Carbofuran). Sebuah ditemukan perbedaan yang signifikan pada tingkat 5%, bila dibandingkan dengan Carbofuran tiga perawatan lainnya. Di 37 DAS jumlah tertinggi daun sedang 23,00 ± 11,68 di Carbofuran. Tiga lainnya perawatan menunjukkan hasil yang kurang lebih sama dan tidak ada perbedaan yang signifikan antara perlakuan (Tabel 1).

Efek pengobatan yang berbeda pada ketinggian tanaman ketimun
Tinggi tanaman tertinggi menunjukkan oleh penghalang bersih Carbofuran sementara statistik kinerja yang sama (Table1). A perbedaan yang signifikan dalam ketinggian pabrik perawatan ini dan perawatan lainnya memang ada. Tanaman terendah ketinggian dilakukan oleh DNS dan Diazinon dan kedua perawatan tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan di antara mereka

Efek pengobatan yang berbeda pada panjang akar ketimun
Panjang akar tertinggi dilakukan oleh Carbofuran daripada penghalang bersih dan terendah kinerja dengan kontrol dan Diazinon. Secara statistik tidak ada perbedaan yang signifikan antara mereka (Tabel 1).

Tabel 1: Efek penghalang bersih dan beberapa sintetis pestisida pada karakteristik agronomi yang berbeda ketimun (plot data bijaksana)


Perawatan Jumlah daun pada 27 DAS / plot ± SD Jumlah daun pada 37DAS ± SD Plant height (cm) pada 27 DAS ± SD Panjang akar (cm) ± SD Total no. dari dipanen buah-buahan ± SD
Kontrol 6.00 ± 2.12 b 13.80 ± 5.89 7.00 ± 2.92 b 5.35 ± 1.58 7.20 ± 4.02
Net penghalang 6.20 ± 3.35 b 12.20 ± 7.85 22.20 ± 20.73 ab 17.544± 16.66 4.20 ± 2.39
Carbofuran 15.60 ± 10.06 a 23.00 ± 11.68 38.60 ± 28.79 a 19.80 ± 11.52 9.60 ± 5.18
Diazinon 6.20 ± 0.84 b 13.40 ± 4.22 7.70 ± 1.72 b 6.50 ± 2.78 4.80 ± 2.05
F – nilai 3.71 2.82 3.62 2.51 2.67
P – nilai P< 0.05 NS P< 0.05 NS NS

Efek hambatan bersih dan beberapa sintetis pestisida pada hama mentimun status
Data dikumpulkan dari daun kumbang penuh pada 27 dan 37 DAS. Di mana, pada 27 DAS kontrol menunjukkan jumlah tertinggi kutu daun dan kutu nol diamati dalam jaring penghalang. Pada 37 DAS, pengendalian juga menunjukkan kutu tertinggi dan terendah oleh Carbofuran dan itu signifikan pada tingkat 5% (Tabel 2).
Ada perbedaan yang bermakna antara perawatan kutu membungkus buah. Kutu buah tertinggi ini terjadi oleh T 1. Kutu terendah terjadi oleh T 2 sementara Diazinon diperlakukan Carbofuran dan tanaman statistik memberikan hasil yang sama. (Tabel 2).
Tabel 2: Efek penghalang bersih dan beberapa sintetis pestisida pada hama mentimun status

Perawatan Jumlah daun kumbang penuh pada 27DAS ± SD Jumlah daun kumbang penuh di 37DAS ± SD Jumlah penuh buah-buahan ± SD
Kontrol 3.00 ± 1.22 a 3.80 ± 1.30 a 2.20 ± 1.30 a
Net penghalang 0.00 ± 0.00 b 2.40 ± 1.34 ab 0.60 ± 0.89 b
Carbofuran 0.20 ± 0.45 b 0.80 ± 0.84 b 2.00 ± 0.71 ab
Diazinon 0.60 ± 0.89 b 1.40 ± 2.61 b 1.00 ± 1.41 ab
F – nilai 11.82 3.79 3.47
P – nilai P< 0.01 P< 0.05 P = 0.05

Yield catatan: Untuk mengamati kinerja hasil data dikumpulkan dari kedua penuh dan non dipenuhi buah-buahan. Selama periode panen semua buah dipanen adalah ukuran dipasarkan. Pengumpulan data plot bijaksana (64M 2 ) Di kilogram dan diubah menjadi ton / hektar. Para Carbofuran memberikan hasil tertinggi (1.24 t / ha) dan kedua tertinggi dilakukan oleh kontrol (1,23 t / ha), di mana penghalang Diazinon dan bersih menghasilkan 0,55 t / ha dan 0,41 t / ha, masing-masing (Gambar 1).
Meskipun ada pertumbuhan dramatis itu terjadi dalam perawatan penghalang bersih tetapi pada tahap akhir adalah hasil tidak pada tingkat memuaskan. Jelas benar bahwa tanaman tetap bebas dari kutu saat dalam jaring penghalang, tetapi sebulan setelah dihapus dari penghalang bersih, tanaman menunjukkan lebih banyak kerentanan terhadap kumbang labu merah dan lain-lain serangga juga. Mungkin karena kondisi terbuka tanaman perawatan lain membangun sebuah perlawanan terhadap berbagai ancaman alam dan akhirnya mereka memberikan hasil yang dapat diterima, tetapi pertumbuhan dan hasil itu secara drastis dikurangi dalam net perawatan penghalang. Setelah menghilangkan penghalang bersih bahan-bahan yang ramah lingkungan seperti beberapa tumbuhan harus digunakan untuk menyimpan tanaman

REFERENSI

Alam, MZ 1969. Hama sayuran labu. Dalam: Hama Serangga-sayuran dan Kontrol mereka di Timor Pakistan. Layanan Informasi Pertanian, Departemen Pertanian, Dhaka, hlm. 89-110.

Anonim. 1992. Tahunan Research Report (1991-92), Entomologi Divisi, Bangladesh Pertanian Research Institute, Joydebpur, Gazipur. 137p.

Anonim. 1993a. Penelitian dan pengembangan tanaman sayuran. Makalah disajikan dalam lokakarya pada Maret 9-10, 1993 di IPSA, Gazipur. hal. 1-7.

Anonim. 1993b. Laporan Penelitian Tahunan (1992-93), Entomologi Divisi, Bangladesh Pertanian Research Institute, Joydebpur, Gazipur. 112p.

Anonim. 1994. Tahunan Research Report (1993-94), Entomologi Divisi, Bangladesh Pertanian Research Institute, Joydebpur, Gazipur. 132p. Azim, MII 1966. Studi tentang biologi kumbang jipang merah, Aulacophora foveicollis (Lucas) (Chrysomelidae : Coleoptera) di Pakistan Timur. M. Sc. Tesis. Department of Entomology. Bangladesh Agricultural University, Mymensingh. hal. 1-95.

Bhaduri, M., Gupta, DP dan Ram, S. 1989. Efek minyak nabati pada perilaku ovipositional Callosobruchus maculatus (Fab.). Proc. 2 Intl. Symp. Pada Brouchids dan Kacang-kacangan (ISLB-2) yang diadakan di Okyayamace (Jepang), 6-9 September, 1989. hal. 81-84.

Butani, DK dan MG Jotwani. 1984. Serangga di sayuran. Buku Ahli Badan berkala. Vivek-Nagar, Delhi (India). hal. 69-79.

Chattopadhyay, P. 1992. Keetatatta, keetadaman O Shasya Sanrakshan. Benggala Barat Buku Negara Board, Arjo Mansion (lantai 9), 6A, Raja Subodh Mollick Square, Calcutta-700013, India. 2nd Edition. 375p. (dalam bahasa Bangla).

Desmarchelier, YM 1985. Bolivia residu pestisida pada biji-bijian yang disimpan, Prof Seri ACIAR, Australia Centre Int. Agril. Res. 14: 19-29

Devi, DA, Mohandas, N. dan Vistakshy, A. 1986. Residu Fenthion, Quinphos dan Malathion padi butir berikut perawatan permukaan tas goni. Agril. Res. J. Kerala. 24 (2): 222-224.
Fishwick, RB 1988. Residu pestisida pada biji-bijian yang timbul dari perlakuan pasca panen. Aspek Appl. Biol. 17 (2): 37-46.

Hagen, KS dan Franz, JM 1973. Sejarah kontrol biologis. hal. 433-467. Dalam: Smith, RF, Mittler, TE dan Smith, CN (eds.). History of Entomology. Tahunan Rev Inc, Palocetto, California. 872 hal

Karim, MA 1992. Serangga hama tanaman sayuran dan manajemen. Dalam: sayur produksi dan Pemasaran. Lopez, K. dan E. Libas (eds.). Proc. National Review dan Workshop diselenggarakan di Bari, Gazipur, Bangladesh pada 26-29 Januari. 1992. Sayur asian Pusat Penelitian dan Pengembangan, Shanhua, Tainan, Taiwan. Publikasi No 92-379. hal. 110-112.

Kavadia, VS, Pareek, BL dan Sharma, KP 1984. Residu malathion dan disimpan carbaryl di sorgum. Bull. Grain Tech. 22 (3): 247-250.

Maniruzzaman, FM 1981. Perlindungan tanaman di Bangladesh, pusat buku Nasional: Bangladesh, Purana Paltan, Dhaka: pp.249-251.

PKS Bangladesh Hasil Penelitian, 2003. Efek dari penghalang bersih dan perawatan benih thiamethoxam timun pertumbuhan dalam empat minggu pertama setelah munculnya di Mannan Nagar, 29: 35-38
.
Nair, MRGK 1986. Serangga dan Kutu Tanaman di India. Publikasi dan Informasi Divisi, India Dewan Penelitian Pertanian. New Delhi. hal. 162-169. Pawlacos, JG 1945. Biologi dan pengendalian Aulacophora foveicollis (Lucas) di Yunani. Rev Appl. Ent.
Ser. A. 33: 16-17.

Saha, LR 1992. Handbook perlindungan tanaman. Kalyani penerbit, 1 / 1, Rajinder Nagar, Ludhiana-141008, India. Edisi Pertama, Dicetak ulang. 928p.

Srivastava, KP dan Butani, DK 1998. Pest Management di Sayuran Bagian-aku, Periodicals Penelitian dan Buku Publishing House Houston, Texas.

pestisida sintetis

Nama :Anwar Gozali
NIM : 0810442057
Kelas :D
Judul Asli : Effects Of Net Barrier and Synthetic Pesticides On Red Pumpkin Beetle and Yield of Cucumber
Judul Terjemah : Akibat Dari Halangan Jaring dan Pestisida Sintetik pada Kumbang Jipang Merah dan Hasil Investasi dari Ketimun
Dosen : dr. Ir. Anton Muhibbuddin


EFFECTS OF NET BARRIER AND SYNTHETIC PESTICIDES ON
RED PUMPKIN BEETLE AND YIELD OF CUCUMBER

M. A. RAHAMAN1), M. D. H. PRODHAN2)

1)Technical Officer (Agriculture), Partnership in Agricultural Research and Extension (PARE) Program, Mennonite Central Committee (MCC), Bangladesh, Jublee Bagan Lane, Sirajgonj - 6700, 2)Scientific Officer, Entomology Division, Bangladesh Agricultural Research Institute, Joydebpur, Gazipur-1701, Bangladesh
Accepted for publication: 14July, 2007

ABSTRACT

Rahman, M.A. and Prodhan, M.D.H. 2007. Effects of Net Barrier and Synthetic Pesticides on Red Pumpkin Beetle and Yield of Cucumber. Int. J. Sustain. Crop Prod. 2(3): 30-34
The effect of net barrier and some synthetic pesticides on red pumpkin beetle and on yield of cucumber was investigated using farmer’s field at one location, Madhupur, Tangail during the year 2005-2006. The treatments were control, mosquito net barrier, carbofuran (soil mixing pesticide) and foliar spraying of Diazinon-60EC. There were differences in case of overall performance of the treatments and in some cases it was more or less similar. However, in control there was a highest leaf and fruit infestation by the red pumpkin beetle but yield was very near to the highest yield performance because in net barrier plants were free from infestation but a month after removed of net barrier plants showed more susceptibility to the red pumpkin beetle and other insects also. The carbofuran performed well compared to other treatments.
Keywords: Synthetic pesticides, net barrier, yield

INTRODUCTION

Bangladesh is a vegetable deficit country. The vegetables are not produced evenly throughout the year in this country. Less than one-fourth of the vegetables are produced during the kharif season and more than threefourth are produced in the rabi season (Anonymous, 1993a).Thus, smaller quantities of vegetables are grown in the kharif (Summer & rainy months) season. The major vegetables grown in the summer are the cucurbits. Cucumber is a popular and extensively cultivated cucurbitaceous vegetable in Bangladesh. People like it cooked and raw. Most people like to have it as a salad. On the other hand a good economic profit may come through its cultivation. But its production is severely affected by a number of insect pests. Among these insect pests, the red pumpkin.
Beetle (RPB) and fruit flies are the most damaging and major pests (Alam, 1969; Butani and Jotwani, 1984). The RPB, Aulacophora foveicollis (Lucas), has been reported by Azim (1966) as the most destructive insect pest of cucurbitaceous vegetables, specially cucumber and melons, in Bangladesh. This insect pest is widely distributed all over the South-East Asia as well as the Mediterranean region towards the west and Australia in the east (Butani and Jotwani, 1984). The adult beetle is red, oblong and approximately 6-8 mm long and lays its eggs at the base of the cucumber stem. A single female can lay 150 to 300 eggs (Srivastava and Butani, 1998).
The adult beetles feed voraciously on the leaf lamina making irregular holes and also attack cotyledons and flowers (Butani and Jotwani, 1984). They eat seedlings, young and tender leaves and flowers. They normally occur in large numbers. The grubs are yello wish white and when in the soil cause injury to the roots (Maniruzzaman, 1981). Presently the farmers are totally depended on the use of insecticides to control this pest. Control of RPB by applying insecticides has been reported by several workers in home (Alam, 1969; Karim,1992 ; Anonymous, 1992, 1993b, 1994) and abroad (Pawlacos, 1945 ; Butani and Jotwani , 1984; Nair, 1986; Chattopadhyay, 1992 and Saha, 1992).But indiscriminate use of pesticides has not only complicated the management, but has also created several adverse effects such as pest resistance, outbreak of secondary pests (Hagen and Franz, 1973), health hazards (Bhaduri et al., 1989) and environmental pollution (Kavadia et al., 1984; Desmarchelier, 1985; Devi et al., 1986; Fishwick, 1988). So always we are looking alternative and environment- friendly methods of pest control. The use of net barrier was found to provide adequate protection from RPB attack. A physical barrier preventing the adults from feeding on the leaves and from reaching the stem to lay their eggs is a potential control method and since mosquito netting is widely available in Bangladesh, it could be easily procured by farmers for such purpose. It is better to follow the need based applications of pesticides at action threshold and economic threshold.
There are objectives behind this trial, which are as follows: To see the effectiveness of net barrier to control the red pumpkin beetles at its seedling stage and finally at the production stage; to find an environment-friendly technology which is less hazardous to the environment and friendly to the beneficial insects; and to see the effect of different synthetic pesticides on the yield of cucumber.

MATERIALS AND METHODS

The study was conducted at farmer’s field of Jalchatra, Madhupur, Tangail under the jurisdiction of a partner organization, Jalchatra Mission from May to August, 2005. The treatments were laid out in RCB design with 5 replications. Treatments were as follows –
T1 = Control
T2 = Mosquito net barrier
T3 = Use of Carbofuran (soil mixing pesticide) and
T4 = Foliar spraying of Diazinon 60-EC.
Land was prepared by four ploughing and was leveled properly. Recommended doses of compost, 40kg/decimal and chemical fertilizers like urea: 460g, TSP: 460g and MP: 230g per decimal were mixed during final land preparation followed by MCC crop calendar (2003).The area of unit plot was 2mX 8m = 16m2, where the total land was 64m2 in size. The main plot was divided into 20 subplots. Three seeds were sown in each hill and hills were arranged in rows, where 1.5 m distance was kept between plant to plant and row to row. A drainage canal of 25cm between two rows was kept.
The mosquito net barrier was set just after seed sowing and it was funnel like to look at. At 30 days after sowing (DAS) the net barrier was removed. In each hill finally one plant was kept and uprooting the other two and at this time shoots and root length data were recorded. In the treatment Carbofuran (as a soil mixing chemical) – the pesticide was mixed with hill soil just before seed sowing. At 30 days, thinning of plants was done and keeping one per hill and at that time root and shoot length data were recorded. In the treatment using Diazinon 60EC as a folier spray, it was sprayed to the field and it was starting from the first week after emergence and it was continued once per week till harvest.
Necessary intercultural operations were done properly. Farmer was related with all kinds of trial activities. They were not so interested to do that and that is why our research assistant had to spend a lot time for this purpose. 50cm high bamboo sticks were posted around the hill and pesticides were sprayed to the field in every 8, 15 and 21 days.
Data was recorded at different stages during the cropping period. At each harvest, the number and weight of both infested and healthy fruits were recorded and the presence of fruit infestation was calculated. The cumulative plot yield of healthy and infested fruits was converted to yield per hectare. Fruit infestation was calculated using the following formula:
Number of infested fruits
Fruit infestation by number (%) = ------------------------------------------- X 100
Number of total fruits
All data were subjected to ANOVA and the treatment means were separated by applying SPSS (version 10.0).

RESULTS AND DISCUSSION

Effect of different treatments on leaves of cucumber
Numbers of leaves at 27 DAS in three treatments (T1, T2 and T4) were more or less same and statistically there were no significant differences among them. The highest number was 15.60 ± 10.06 in the T3 (Carbofuran). A significant difference was found at 5% level, when the Carbofuran was compared with other three treatments. At 37 DAS the highest number of leaves were being 23.00 ± 11.68 in the Carbofuran. Other three treatments showed approximately same results and there were no significant differences among the treatments (Table 1).

Effect of different treatments on plant height of cucumber
Highest plant height showed by the Carbofuran while net barrier performance was statistically same (Table1).A significant difference in the plant height of these treatments and the other treatment did exist. The lowest plant height was performed by the control and Diazinon and these two treatments showed no significant differences between them.

Effect of different treatments on root length of cucumber
Highest root length was performed by the Carbofuran than the net barrier and lowest performance by the control and Diazinon. Statistically there were no significant differences among them (Table 1).

Table 1: Effect of net barrier and some synthetic pesticides on different agronomic characteristics of cucumber (plot wise data)








Treatments No. of leaves at 27 DAS/plot ± SD No. of leaves at 37DAS ± SD Plant height (cm) at 27 DAS ± SD Root length (cm) ± SD Total no. of harvested fruits ± SD
Control 6.00 ± 2.12 b 13.80 ± 5.89 7.00 ± 2.92 b 5.35 ± 1.58 7.20 ± 4.02
Net barrier 6.20 ± 3.35 b 12.20 ± 7.85 22.20 ± 20.73 ab 17.544± 16.66 4.20 ± 2.39
Carbofuran 15.60 ± 10.06 a 23.00 ± 11.68 38.60 ± 28.79 a 19.80 ± 11.52 9.60 ± 5.18
Diazinon 6.20 ± 0.84 b 13.40 ± 4.22 7.70 ± 1.72 b 6.50 ± 2.78 4.80 ± 2.05
F – value 3.71 2.82 3.62 2.51 2.67
P – value P< 0.05 NS P< 0.05 NS NS


Effect of net barrier and some synthetic pesticides on cucumber pest status
Data was collected from beetle infested leaves at 27 and 37 DAS. Where, at 27 DAS the control showed a highest number of leaf infestation and zero infestation was observed in the net barrier. At 37 DAS, the control also showed the highest infestation and lowest by the Carbofuran and it was significant at 5% level (Table 2).
There were significant differences among the treatments incase of fruit infestation. The highest fruit infestation was occurred by the T1. Lowest infestation occurred by T2 while the Carbofuran and Diazinon treated plants gave statistically the same results. (Table 2).
Table 2: Effect of net barrier and some synthetic pesticides on cucumber pest status


Treatments No. of beetle infested leaves at 27DAS ± SD No. of beetle infested leaves at 37DAS ± SD No. of infested fruits ± SD
Control 3.00 ± 1.22 a 3.80 ± 1.30 a 2.20 ± 1.30 a
Net barrier 0.00 ± 0.00 b 2.40 ± 1.34 ab 0.60 ± 0.89 b
Carbofuran 0.20 ± 0.45 b 0.80 ± 0.84 b 2.00 ± 0.71 ab
Diazinon 0.60 ± 0.89 b 1.40 ± 2.61 b 1.00 ± 1.41 ab
F – value 11.82 3.79 3.47
P – value P< 0.01 P< 0.05 P = 0.05

Yield records :
To observe the yield performance data were collected from both infested and non infested fruits. During the harvesting period all harvested fruits were marketable size. Data was collected plot wise (64m2) in kilogram and was converted to ton/hectare. The Carbofuran gave the highest yield (1.24 t/ha) and second highest was performed by the control (1.23 t/ha), where the Diazinon and net barrier yielded 0.55 t/ha and 0.41 t/ha, respectively (Fig.1).
Though there is a dramatic growth rate was occurred in the treatment net barrier but at the final stage yield was not at satisfactory level. Obviously it is true that plants remain free of infestation when it is in the net barrier, but a month after removed of net barrier, the plants showed more susceptibility to the red pumpkin beetle and other insects also. It may be that due to open condition plants of other treatments built a resistance against different natural threats and finally they gave an acceptable yield, but growth and yield was drastically reduced in the treatment net barrier. After removing the net barrier environment friendly materials like some botanicals had to be used to save the plants.

Yield records :
To observe the yield performance data were collected from both infested and non infested fruits. During the harvesting period all harvested fruits were marketable size. Data was collected plot wise (64m2) in kilogram and was converted to ton/hectare. The Carbofuran gave the highest yield (1.24 t/ha) and second highest was performed by the control (1.23 t/ha), where the Diazinon and net barrier yielded 0.55 t/ha and 0.41 t/ha, respectively (Fig.1).
Though there is a dramatic growth rate was occurred in the treatment net barrier but at the final stage yield was not at satisfactory level. Obviously it is true that plants remain free of infestation when it is in the net barrier, but a month after removed of net barrier, the plants showed more susceptibility to the red pumpkin beetle and other insects also. It may be that due to open condition plants of other treatments built a resistance against different natural threats and finally they gave an acceptable yield, but growth and yield was drastically reduced in the treatment net barrier. After removing the net barrier environment friendly materials like some botanicals had to be used to save the plants.
REFERENCES

Alam, M. Z. 1969. Pest of cucurbit vegetables. In: Insect-Pests of vegetables and Their Control in East Pakistan. Agricultural Information Service, Department of Agriculture, Dacca, pp. 89-110.

Anonymous. 1992. Annual Research Report (1991-92), Entomology Division, Bangladesh Agricultural Research Institute, Joydebpur, Gazipur. 137p.

Anonymous. 1993a. Research and development of vegetable crops. Paper presented in the workshop on March 9-10, 1993 at IPSA, Gazipur. pp. 1-7.

Anonymous. 1993b. Annual Research Report (1992-93), Entomology Division, Bangladesh Agricultural Research Institute, Joydebpur, Gazipur. 112p.

Anonymous. 1994. Annual Research Report (1993-94), Entomology Division, Bangladesh Agricultural Research Institute, Joydebpur, Gazipur. 132p.

Azim, M. I. I. 1966. Studies on the biology of red pumpkin beetle, Aulacophora foveicollis (Lucas) (Chrysomelidae: Coleoptera) in East Pakistan. M. Sc. Thesis. Department of Entomology. Bangladesh Agricultural University, Mymensingh. pp. 1-95.

Bhaduri, M., Gupta, D.P. and Ram, S. 1989. Effect of vegetable oils on the ovipositional behaviour of Callosobruchus maculatus (Fab.). Proc. 2nd Intl. Symp. On Brouchids and Legumes (ISLB-2) held at Okyayamace (Japan), Sept. 6-9, 1989. pp. 81-84.

Butani, D. K. and M. G. Jotwani. 1984. Insects in vegetables. Periodical Expert Book Agency. Vivek-Vihar, Delhi (India). pp. 69-79.

Chattopadhyay, P. 1992. Keetatatta, keetadaman O Shasya Sanrakshan. West Bengal State Book Board, Arjo Mansion (9th floor), 6A, Raja Subodh Mollick Square, Calcutta-700013, India. 2nd Edition. 375p. (in Bangla).
Desmarchelier, Y.M. 1985. Bolivian of pesticide residues on stored grain, Aciar Prof. Series, Australian Centre Int. Agril. Res. 14: 19-29.

Devi, D.A., Mohandas, N. and Vistakshy, A. 1986. Residues of Fenthion, Quinphos and Malathion in paddy grains following surface treatment of gunny bags. Agril. Res. J.Kerala. 24(2): 222-224.

Fishwick, R.B. 1988. Pesticide residues in grain arising from post harvest treatments. Aspects Appl. Biol. 17(2): 37-46.

Hagen, K.S. and Franz, J.M. 1973. A history of biological control. pp. 433-467. In: Smith, R.F., Mittler, T.E. and Smith, C.N. (eds.). History of Entomology. Annual Rev. Inc., Palocetto, California. 872 p.

Karim, M. A. 1992. Insect pests of vegetable crops and their management. In: Vegetable production and Marketing. Lopez, K. and E. Libas (eds.). Proc. National Review and Workshop held at BARI, Gazipur, Bangladesh on January 26-29. 1992. Asian Vegetable Research and Development Center, Shanhua, Tainan,
Taiwan. Publication No. 92-379. pp. 110-112.

Kavadia, V.S., Pareek, B.L. and Sharma, K.P. 1984. Residues of malathion and carbaryl in stored sorghum.
Bull. Grain Tech. 22(3): 247-250.

Maniruzzaman, F.M. 1981. Plant protection in Bangladesh, National book center: Bangladesh, Purana Paltan,
Dhaka: pp.249-251.

MCC Bangladesh Research Result, 2003. The effects of a net barrier and thiamethoxam seed treatment on cucumber growth in the first four weeks after emergence at Mannan Nagar, 29: 35-38.
Nair, M. R. G. K. 1986. Insects and Mites of Crops in India. Publication and Information Division, Indian Council of Agricultural Research. New Delhi. pp. 162-169.

Pawlacos, J. G. 1945. The biology and control of Aulacophora foveicollis (Lucas) in Greece. Rev. Appl. Ent. Ser. A. 33: 16-17.

Saha, L. R. 1992. Handbook of plant protection. Kalyani publishers, 1/1, Rajinder Nagar, Ludhiana-141008, India. First Edition, Reprinted. 928p.

Srivastava, K.P. and Butani, D.K. 1998. Pest Management in Vegetables Part –I, Research Periodicals and Book Publishing House Houston, Texas.
TERJEMAHAN

AKIBAT DARI HALANGAN JARING DAN PESTISIDA SINTETIK PADA KUMBANG JIPANG MERAH DAN HASIL INVESTASI DARI KETIMUN

MA Rahaman 1), MDH PRODHAN2)

1)Technical Officer (Pertanian), Kemitraan dalam Penelitian dan Penyuluhan Pertanian (PARE) Program, Mennonite Central Committee (PKS), Bangladesh, Jublee Bagan Lane, Sirajgonj-6700, 2) Scientific Officer, Entomologi Divisi, Bangladesh Agricultural Research Institute, Joydebpur, Gazipur-1701, Bangladesh
Diterima untuk publikasi: 14July, 2007

ABSTRAK

Rahman, MA dan Prodhan, MDH 2007. Effects of Net Barrier dan sintetik Pestisida pada kumbang jipang merah dan Yield dari Ketimun. Int. J. Mempertahankan. Tanaman Prod. 2 (3): 30-34
Efek penghalang bersih dan beberapa pestisida sintetis kumbang jipang merah dan hasil mentimun diteliti menggunakan ladang petani di satu lokasi, Madhupur, Tangail selama tahun 2005-2006. Itu perlakuan kontrol, kelambu penghalang, carbofuran (tanah pencampuran pestisida) dan penyemprotan foliar Diazinon-60EC. Ada perbedaan dalam hal kinerja keseluruhan perawatan dan dalam beberapa kasus itu kurang lebih sama. Namun, dalam kendali tertinggi ada kutu daun dan buah-buahan oleh merah labu kumbang tapi hasil sangat dekat hasil kinerja tertinggi karena bersih tanaman penghalang
bebas dari dihinggapi tetapi sebulan setelah dihapus dari tanaman penghalang bersih menunjukkan lebih banyak kerentanan terhadap kumbang jipang merah dan serangga lain juga. The carbofuran kinerja yang baik dibandingkan dengan perawatan lainnya.

Keywords: Synthetic pestisida, bersih penghalang, hasil

PENDAHULUAN

Bangladesh adalah sebuah negara defisit sayuran. Sayuran tidak diproduksi secara merata sepanjang tahun ini negara. Kurang dari seperempat dari sayuran yang dihasilkan selama musim kharif dan lebih dari tiga - keempat diproduksi di musim Rabi (Anonymous, 1993a). Dengan demikian, jumlah yang lebih kecil sayuran yang ditanam di yang kharif (Musim Panas & hujan bulan) musim. Sayuran utama tumbuh di musim panas adalah cucurbits. Mentimun adalah populer dan sayuran cucurbitaceous dibudidayakan secara luas di Bangladesh. Orang-orang seperti itu dimasak dan mentah. Sebagian besar orang ingin memiliki sebagai salad. Di sisi lain keuntungan ekonomi yang baik akan datang melalui budidaya. Namun produksi ini sangat dipengaruhi oleh beberapa serangga hama. Di antara hama serangga ini, kumbang jipang merah
Kumbang (RPB) dan lalat buah yang paling merusak dan hama utama (Alam, 1969; Butani dan Jotwani, 1984). The RPB, Aulacophora foveicollis (Lucas), telah dilaporkan oleh Azim (1966) sebagaihama serangga yang paling merusak dari cucurbitaceous sayuran, khususnya mentimun dan melon, di Bangladesh. Hama serangga ini secara luas didistribusikan di seluruh Asia Tenggara serta kawasan Laut Tengah ke arah barat dan Australia di timur (Butani dan Jotwani, 1984).
Kumbang dewasa berwarna merah, lonjong dan panjang sekitar 6-8 mm dan bertelur di dasar timun batang. Satu betina dapat meletakkan telur 150-300 (Srivastava dan Butani, 1998). Kumbang yang dewasa makan lahap pada lamina daun membuat lubang-lubang tidak teratur dan juga menyerang cotyledons dan bunga (Butani dan Jotwani, 1984). Mereka makan bibit, muda dan lembut daun dan bunga. Mereka biasanya terjadi dalam jumlah besar. The belatung adalah putih kekuningan dan ketika di dalam tanah menyebabkan cedera pada akar (Maniruzzaman, 1981).
Saat ini petani benar-benar tergantung pada penggunaan insektisida untuk mengendalikan hama ini. Kontrol RPB oleh menerapkan insektisida telah dilaporkan oleh beberapa pekerja di rumah (Alam, 1969; Karim, 1992; Anonymous, 1992, 1993b, 1994) dan di luar negeri (Pawlacos, 1945; Butani dan Jotwani, 1984; Nair, 1986; Chattopadhyay, 1992 dan Saha, 1992). Tapi sembarangan penggunaan pestisida tidak hanya rumit manajemen, tetapi juga menciptakan beberapa efek samping seperti resistensi hama, wabah hama sekunder (Hagen dan Franz, 1973), bahaya kesehatan (Bhaduri et al., 1989) dan pencemaran lingkungan (Kavadia et al., 1984; Desmarchelier, 1985; Devi et al., 1986; Fishwick, 1988). Jadi selalu kita mencari alternatif dan ramah lingkungan metode pengendalian hama. Penggunaan jaring penghalang ditemukan untuk memberikan perlindungan yang memadai dari serangan RPB. Fisik penghalang mencegah orang dewasa dari memberi makan pada daun dan batang mencapai bertelur adalah metode kontrol potensial dan sejak kelambu tersedia secara luas di Bangladesh, ini dapat dengan mudah diperoleh oleh para petani untuk tujuan tersebut. Lebih baik untuk mengikuti kebutuhan aplikasi berbasis pestisida pada tindakan ambang batas dan ekonomi.
Ada tujuan di balik persidangan ini, yang adalah sebagai berikut: Untuk melihat efektivitas jaring penghalang untuk mengontrol kumbang jipang merah pada tahap semai dan akhirnya pada tahap produksi, untuk menemukan yang ramah lingkungan teknologi yang kurang berbahaya bagi lingkungan dan ramah terhadap serangga bermanfaat, dan untuk melihat efek pestisida sintetis yang berbeda pada hasil panen ketimun.

BAHAN DAN METODE

Studi ini dilakukan di bidang petani Jalchatra, Madhupur, Tangail di bawah yurisdiksi pasangan organisasi, Jalchatra Misi dari Mei hingga Agustus 2005. Perawatan diletakkan di desain RCB dengan 5 ulangan. Perawatan adalah sebagai berikut --
T1 = Kontrol
T2 = Kelambu penghalang
T3 = Penggunaan Carbofuran (tanah pencampuran pestisida) dan
T4 = Foliar penyemprotan Diazinon 60-EC.
Tanah disiapkan oleh empat membajak dan diratakan dengan benar. Direkomendasikan dosis kompos, 40kg/decimal dan pupuk kimia seperti urea: 460g, TSP: 460g dan MP: 230g per desimal yang dicampur tanah selama akhir persiapan diikuti oleh tanaman PKS kalender (2003). Luas area unit plot 2mX 8m = 16m 2 , Di mana total tanah 64M 2 ukuran. Plot utama dibagi menjadi 20 subplot. Tiga benih ditabur di setiap bukit dan bukit-bukit diatur dalam baris, di mana 1,5 m jarak antar tanaman disimpan untuk menanam dan baris ke baris. Sebuah kanal drainase
dari 25cm antara dua baris itu disimpan.
Kelambu pembatas itu ditetapkan setelah menabur benih dan saluran seperti itu untuk melihat. Pada 30 hari setelah penaburan (DAS) penghalang bersih telah dihapus. Dalam setiap bukit akhirnya satu tanaman itu disimpan dan mencabut dua lainnya dan kali ini panjang tunas dan akar data yang tercatat. Dalam pengobatan Carbofuran (sebagai bahan kimia pencampur tanah) - yang pestisida dicampur dengan tanah bukit sebelum menabur benih. Pada 30 hari, penipisan tanaman dilakukan dan menjaga satu per bukit dan pada waktu itu root dan menembak tercatat data panjang. Dalam perawatan menggunakan Diazinon 60EC sebagai folier semprot, itu disemprotkan ke lapangan dan itu mulai dari minggu pertama setelah munculnya dan itu terus sekali per minggu sampai panen.
Diperlukan antar operasi dilakukan dengan benar. Petani ini terkait dengan segala macam kegiatan persidangan. Mereka tidak begitu tertarik untuk melakukan hal itu dan itulah sebabnya asisten penelitian kami harus menghabiskan banyak waktu untuk tujuan ini. 50cm tinggi tongkat bambu yang diposting di sekitar bukit dan pestisida disemprot ke lapangan di setiap 8, 15 dan 21 hari. Data yang tercatat pada tahapan yang berbeda selama periode tanam. Pada setiap panen, jumlah dan berat baik penuh dan buah-buahan sehat direkam dan adanya kutu buah dihitung. Itu plot kumulatif hasil yang sehat dan penuh buah-buahan itu dikonversi ke hasil per hektar. Buah kutu itu dihitung dengan menggunakan rumus berikut:
Jumlah penuh buah-buahan
Buah kutu menurut jumlah (%) = ------------------------------------------ - x 100
Jumlah total buah-buahan
Semua data yang mengalami ANOVA dan perawatan sarana dipisahkan dengan menggunakan SPSS (versi 10.0).

HASIL DAN DISKUSI

Efek pengobatan yang berbeda pada daun mentimun
Jumlah daun pada 27 DAS dalam tiga perawatan (T 1,T 2 dan T 4 ) Lebih atau kurang sama dan secara statistik ada ada perbedaan yang signifikan antara mereka. Jumlah tertinggi adalah 15,60 ± 10,06 dalam T 3 (Carbofuran). Sebuah ditemukan perbedaan yang signifikan pada tingkat 5%, bila dibandingkan dengan Carbofuran tiga perawatan lainnya. Di 37 DAS jumlah tertinggi daun sedang 23,00 ± 11,68 di Carbofuran. Tiga lainnya perawatan menunjukkan hasil yang kurang lebih sama dan tidak ada perbedaan yang signifikan antara perlakuan (Tabel 1).

Efek pengobatan yang berbeda pada ketinggian tanaman ketimun
Tinggi tanaman tertinggi menunjukkan oleh penghalang bersih Carbofuran sementara statistik kinerja yang sama (Table1). A perbedaan yang signifikan dalam ketinggian pabrik perawatan ini dan perawatan lainnya memang ada. Tanaman terendah ketinggian dilakukan oleh DNS dan Diazinon dan kedua perawatan tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan di antara mereka

Efek pengobatan yang berbeda pada panjang akar ketimun
Panjang akar tertinggi dilakukan oleh Carbofuran daripada penghalang bersih dan terendah kinerja dengan kontrol dan Diazinon. Secara statistik tidak ada perbedaan yang signifikan antara mereka (Tabel 1).

Tabel 1: Efek penghalang bersih dan beberapa sintetis pestisida pada karakteristik agronomi yang berbeda ketimun (plot data bijaksana)


Perawatan Jumlah daun pada 27 DAS / plot ± SD Jumlah daun pada 37DAS ± SD Plant height (cm) pada 27 DAS ± SD Panjang akar (cm) ± SD Total no. dari dipanen buah-buahan ± SD
Kontrol 6.00 ± 2.12 b 13.80 ± 5.89 7.00 ± 2.92 b 5.35 ± 1.58 7.20 ± 4.02
Net penghalang 6.20 ± 3.35 b 12.20 ± 7.85 22.20 ± 20.73 ab 17.544± 16.66 4.20 ± 2.39
Carbofuran 15.60 ± 10.06 a 23.00 ± 11.68 38.60 ± 28.79 a 19.80 ± 11.52 9.60 ± 5.18
Diazinon 6.20 ± 0.84 b 13.40 ± 4.22 7.70 ± 1.72 b 6.50 ± 2.78 4.80 ± 2.05
F – nilai 3.71 2.82 3.62 2.51 2.67
P – nilai P< 0.05 NS P< 0.05 NS NS

Efek hambatan bersih dan beberapa sintetis pestisida pada hama mentimun status
Data dikumpulkan dari daun kumbang penuh pada 27 dan 37 DAS. Di mana, pada 27 DAS kontrol menunjukkan jumlah tertinggi kutu daun dan kutu nol diamati dalam jaring penghalang. Pada 37 DAS, pengendalian juga menunjukkan kutu tertinggi dan terendah oleh Carbofuran dan itu signifikan pada tingkat 5% (Tabel 2).
Ada perbedaan yang bermakna antara perawatan kutu membungkus buah. Kutu buah tertinggi ini terjadi oleh T 1. Kutu terendah terjadi oleh T 2 sementara Diazinon diperlakukan Carbofuran dan tanaman statistik memberikan hasil yang sama. (Tabel 2).
Tabel 2: Efek penghalang bersih dan beberapa sintetis pestisida pada hama mentimun status

Perawatan Jumlah daun kumbang penuh pada 27DAS ± SD Jumlah daun kumbang penuh di 37DAS ± SD Jumlah penuh buah-buahan ± SD
Kontrol 3.00 ± 1.22 a 3.80 ± 1.30 a 2.20 ± 1.30 a
Net penghalang 0.00 ± 0.00 b 2.40 ± 1.34 ab 0.60 ± 0.89 b
Carbofuran 0.20 ± 0.45 b 0.80 ± 0.84 b 2.00 ± 0.71 ab
Diazinon 0.60 ± 0.89 b 1.40 ± 2.61 b 1.00 ± 1.41 ab
F – nilai 11.82 3.79 3.47
P – nilai P< 0.01 P< 0.05 P = 0.05

Yield catatan: Untuk mengamati kinerja hasil data dikumpulkan dari kedua penuh dan non dipenuhi buah-buahan. Selama periode panen semua buah dipanen adalah ukuran dipasarkan. Pengumpulan data plot bijaksana (64M 2 ) Di kilogram dan diubah menjadi ton / hektar. Para Carbofuran memberikan hasil tertinggi (1.24 t / ha) dan kedua tertinggi dilakukan oleh kontrol (1,23 t / ha), di mana penghalang Diazinon dan bersih menghasilkan 0,55 t / ha dan 0,41 t / ha, masing-masing (Gambar 1).
Meskipun ada pertumbuhan dramatis itu terjadi dalam perawatan penghalang bersih tetapi pada tahap akhir adalah hasil tidak pada tingkat memuaskan. Jelas benar bahwa tanaman tetap bebas dari kutu saat dalam jaring penghalang, tetapi sebulan setelah dihapus dari penghalang bersih, tanaman menunjukkan lebih banyak kerentanan terhadap kumbang labu merah dan lain-lain serangga juga. Mungkin karena kondisi terbuka tanaman perawatan lain membangun sebuah perlawanan terhadap berbagai ancaman alam dan akhirnya mereka memberikan hasil yang dapat diterima, tetapi pertumbuhan dan hasil itu secara drastis dikurangi dalam net perawatan penghalang. Setelah menghilangkan penghalang bersih bahan-bahan yang ramah lingkungan seperti beberapa tumbuhan harus digunakan untuk menyimpan tanaman

REFERENSI

Alam, MZ 1969. Hama sayuran labu. Dalam: Hama Serangga-sayuran dan Kontrol mereka di Timor Pakistan. Layanan Informasi Pertanian, Departemen Pertanian, Dhaka, hlm. 89-110.

Anonim. 1992. Tahunan Research Report (1991-92), Entomologi Divisi, Bangladesh Pertanian Research Institute, Joydebpur, Gazipur. 137p.

Anonim. 1993a. Penelitian dan pengembangan tanaman sayuran. Makalah disajikan dalam lokakarya pada Maret 9-10, 1993 di IPSA, Gazipur. hal. 1-7.

Anonim. 1993b. Laporan Penelitian Tahunan (1992-93), Entomologi Divisi, Bangladesh Pertanian Research Institute, Joydebpur, Gazipur. 112p.

Anonim. 1994. Tahunan Research Report (1993-94), Entomologi Divisi, Bangladesh Pertanian Research Institute, Joydebpur, Gazipur. 132p. Azim, MII 1966. Studi tentang biologi kumbang jipang merah, Aulacophora foveicollis (Lucas) (Chrysomelidae : Coleoptera) di Pakistan Timur. M. Sc. Tesis. Department of Entomology. Bangladesh Agricultural University, Mymensingh. hal. 1-95.

Bhaduri, M., Gupta, DP dan Ram, S. 1989. Efek minyak nabati pada perilaku ovipositional Callosobruchus maculatus (Fab.). Proc. 2 Intl. Symp. Pada Brouchids dan Kacang-kacangan (ISLB-2) yang diadakan di Okyayamace (Jepang), 6-9 September, 1989. hal. 81-84.

Butani, DK dan MG Jotwani. 1984. Serangga di sayuran. Buku Ahli Badan berkala. Vivek-Nagar, Delhi (India). hal. 69-79.

Chattopadhyay, P. 1992. Keetatatta, keetadaman O Shasya Sanrakshan. Benggala Barat Buku Negara Board, Arjo Mansion (lantai 9), 6A, Raja Subodh Mollick Square, Calcutta-700013, India. 2nd Edition. 375p. (dalam bahasa Bangla).

Desmarchelier, YM 1985. Bolivia residu pestisida pada biji-bijian yang disimpan, Prof Seri ACIAR, Australia Centre Int. Agril. Res. 14: 19-29

Devi, DA, Mohandas, N. dan Vistakshy, A. 1986. Residu Fenthion, Quinphos dan Malathion padi butir berikut perawatan permukaan tas goni. Agril. Res. J. Kerala. 24 (2): 222-224.
Fishwick, RB 1988. Residu pestisida pada biji-bijian yang timbul dari perlakuan pasca panen. Aspek Appl. Biol. 17 (2): 37-46.

Hagen, KS dan Franz, JM 1973. Sejarah kontrol biologis. hal. 433-467. Dalam: Smith, RF, Mittler, TE dan Smith, CN (eds.). History of Entomology. Tahunan Rev Inc, Palocetto, California. 872 hal

Karim, MA 1992. Serangga hama tanaman sayuran dan manajemen. Dalam: sayur produksi dan Pemasaran. Lopez, K. dan E. Libas (eds.). Proc. National Review dan Workshop diselenggarakan di Bari, Gazipur, Bangladesh pada 26-29 Januari. 1992. Sayur asian Pusat Penelitian dan Pengembangan, Shanhua, Tainan, Taiwan. Publikasi No 92-379. hal. 110-112.

Kavadia, VS, Pareek, BL dan Sharma, KP 1984. Residu malathion dan disimpan carbaryl di sorgum. Bull. Grain Tech. 22 (3): 247-250.

Maniruzzaman, FM 1981. Perlindungan tanaman di Bangladesh, pusat buku Nasional: Bangladesh, Purana Paltan, Dhaka: pp.249-251.

PKS Bangladesh Hasil Penelitian, 2003. Efek dari penghalang bersih dan perawatan benih thiamethoxam timun pertumbuhan dalam empat minggu pertama setelah munculnya di Mannan Nagar, 29: 35-38
.
Nair, MRGK 1986. Serangga dan Kutu Tanaman di India. Publikasi dan Informasi Divisi, India Dewan Penelitian Pertanian. New Delhi. hal. 162-169. Pawlacos, JG 1945. Biologi dan pengendalian Aulacophora foveicollis (Lucas) di Yunani. Rev Appl. Ent.
Ser. A. 33: 16-17.

Saha, LR 1992. Handbook perlindungan tanaman. Kalyani penerbit, 1 / 1, Rajinder Nagar, Ludhiana-141008, India. Edisi Pertama, Dicetak ulang. 928p.

Srivastava, KP dan Butani, DK 1998. Pest Management di Sayuran Bagian-aku, Periodicals Penelitian dan Buku Publishing House Houston, Texas.