Selasa, 11 Mei 2010

DAMPAK PENGGUNAAN DDT (Dichloro-diphenyl-trichloroethan) SEBAGAI PESTISIDA

DAMPAK PENGGUNAAN DDT (Dichloro-diphenyl-trichloroethan) SEBAGAI PESTISIDA

A. Pendahuluan
1. Latar Belakang Masalah
Kajian tentang implikasi Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terhadap kondisi kesehatan lingkungan belum banyak dilakukan. Kebanyakan kajian implikasi UU ini dilakukan hanya pada persoalan migas dan sumber daya alam (kajian ekonomi sumber daya) dan kajian ilmu lingkungan itu sendiri .
Salah satu masalah lingkungan hidup yang berkaitan dengan farmakologi adalah penggunaan pestisida. Tidak bisa dipungkiri bahwa pestisida adalah salah satu hasil teknologi modern dan mempunyai peranan penting dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pestisida merupakan zat kimia serta jasad renik dan virus yang digunakan membunuh hama dan penyakit. Penggunaannya meliputi sektor perikanan, perkebunan dan pertanian tanaman pangan yang menangani komoditi padi, palawija, dan hortikultura (sayuran, buah-buahan dan tanaman hias ).
Sebagian besar petani masih menggunakan pestisida karena kemampuannya untuk memberantas hama sangat efektif. Bahkan, penggunaan pestisida di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat. Menurut Atmawijaya, pada tahun 1985 diperkirakan menggunakan 10.000 ton pestisida, pada tahun 1991 meningkat menjadi 600.000 ton. Jumlah ini mencapai 5 % konsumsi dunia .
Praktek pengendalian hama menggunakan insektisida organik sintetik berkembang sejak Perang Dunia II yang di mulai dengan penggunaan DDT. DDT diproduksi secara massal pada tahun 1939, setelah seorang kimiawan bernama Paul Herman Moller menemukan dengan dosis kecil dari DDT maka hampir semua jenis serangga dapat dibunuh dengan cara mengganggu sistem saraf mereka. Pada waktu itu, DDT dianggap sebagai alternatif murah dan aman sebagai jenis insektisida jika dibandingkan dengan senyawa insektisida lainnya yang berbasis arsenik dan raksa. Sayangnya, tidak seorangpun yang menyadari kerusakan lingkungan yang meluas akibat pemakaian DDT .
Pada bulan Juli 1998, perwakilan dari 120 negara bertemu untuk membahas suatu pakta Persatuan Bangsa Bangsa untuk melarang penggunaan DDT sebagai insektisida dan 11 bahan kimia lainnya secara global pada tahun 2000. Amerika Serikat dan negara-negara industri lain menyetujui pelarangan ini karena bahan-bahan kimia ini adalah senyawa kimia yang persisten dimana senyawa-senyawa ini dapat terakumulasi dan merusak ekosistem alami dan memasuki rantai makanan manusia. Namun banyak negara tidak setuju dengan pelarangan DDT secara global karena DDT digunakan untuk mengkontrol nyamuk penyebab malaria. Malaria timbul di 90 negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia, dan merupakan penyebab kematian dalam jumlah besar terutama daerah ekuatorial Afrika .
Organisasi Kesehatan Dunia memperkirakan bahwa 2.5 juta orang tewas setiap tahun akibat malaria dan ini kian terjadi di berbagai belahan dunia. Namun karena DDT begitu efektif dalam mengontrol nyamuk penyebab malaria, banyak ahli berpikir bahwa insektisida menyelamatkan lebih banyak jiwa dibandingkan bahan kimia lainnya .
2. Rumusan masalah
Apa sajakah dampak DDT sebagai pestisida?
3. Tujuan Penulisan
Paper ini ditulis untuk mengetahui dampak DDT sebagai pestisida
4. Manfaat Penulisan
Paper ini ditulis sebagai referensi dalam penggunaan DDT sebagai pestisida.





B. Tinjauan Pustaka
1. Pestisida
a. Tinjauan Teori Tentang Pestisida
Menurut The United States Environmental Pesticide Control Act, pestisidaadalah :
1) Semua zat atau campuran zat yang khusus digunakan untuk mengendalikan, mencegah, atau menangkis gangguan serangga, binatang mengerat, nematoda, gulma, virus, bakteri, jasad renik yang dianggap hama, kecuali virus, bakteri atau jasad renik lainnya yang terdapat pada manusia dan binatang.
2) Semua zat atau campuran zat yang khusus digunakan untuk mengatur pertumbuhan tanaman atau pengering tanaman. .

Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1973, tentang “ Pengawasan atas Peredaran dan Penggunaan Pestisida” yang dimaksud dengan Pestisida adalah sebagai berikut ;
“ Semua zat kimia dan bahan lain serta jasad renik dan virus yang digunakan untuk memberantas atau mencegah hama-hama dan penyakit-penyakit yang merusak tanaman, memberantas rerumputan, mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan, mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian tanaman tidak termasuk pupuk, memberantas atau mencegah hama-hama air, memberantas atau mencegah binatang-binatang yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia atau binatang yang perlu dilindungi dengan penggunaan pada tanaman, tanah dan air” .

Pengertian menurut Sub Dit P2 Pestisida (1990), adalah semua bahan kimia, binatang maupun tumbuhan yang digunakan untuk mengendalikan hama. Pengertian lain tentang pestisida adalah semua zat kimia dan bahan lain serta jasad renik dan virus digunakan untuk:
1) memberantas atau mencegah hama dan penyakit yang merusak tanaman.
2) memberantas rerumputan
3) mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak iinginkan.
4) mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian tanaman.
5) memberantas atau mencegah hama luar pada hewan peliharaan.
6) memberantas atau mencegah hama-hama air.
7) memberantas atau mencegah binatang dan jasad renik dalam rumah, alat-alat angkutan, dan alat-alat pertanian.
8) memberantas atau mencegah binatang yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia atau binatang yang dapat menyebabkan penyakit yang perlu dilindungi .
b. Macam-Macam Pestisida
Berdasarkan tujuannya, pestisida dibagi menjadi beberapa jenis :
a) Insektisida : untuk serangga.
b) Fungisida : untuk cendawan (fungus).
c) Herbisida : untuk tanaman pengganggu.
d) Bakterisida : untuk bakteri .
Berdasarkan bahan aktifnya, pestisida dibagi menjadi 3 jenis yaitu:
a) Pestisida organik (Organic pesticide) : pestisida yang bahan aktifnya adalah bahan organik yang berasal dari bagian tanaman atau binatang, misal : neem oil yang berasal dari pohon mimba (neem).
b) Pestisida elemen (Elemental pesticide) : pestisida yang bahan aktifnya berasal dari alam seperti: sulfur.
c) Pestisida kimia/sintetis (Syntetic pesticide) : pestisida yang berasal dari campuran bahan-bahan kimia .
Berdasarkan cara kerjanya, pestisida dibagi menjadi 2 jenis yaitu :
a) Pestisida sistemik (Systemic Pesticide)
Pestisida sistemik adalah pestisida yang diserap dan dialirkan keseluruh bagian tanaman sehingga akan menjadi racun bagi hama yang memakannya. Kelebihannya tidak hilang karena disiram. Kelemahannya, ada bagian tanaman yang dimakan hama agar pestisida ini bekerja. Pestisida ini untuk mencegah tanaman dari serangan hama. Contoh : Neem oil.
b) Pestisida kontak langsung (Contact pesticide)
Pestisida kontak langsung adalah pestisida yang reaksinya akan bekerja bila bersentuhan langsung dengan hama, baik ketika makan ataupun sedang berjalan. Jika hama sudah menyerang lebih baik menggunakan jenis pestisida ini. Contoh : Sebagian besar pestisida kimia . Pestisida dapat digolongkan menurut penggunaannya dan disubklasifikasi menurut jenis bentuk kimianya. Dari bentuk komponen bahan aktifnya maka pestisida dapat dipelajari efek toksiknya terhadap manusia maupun makhluk hidup lainnya dalam lingkungan yang bersangkutan.:
Tabel 1. Penggolongan Pestisida

c. Pestisida Organophosphat
Lebih dari 50.000 komponen organophosphate telah disynthesis dan diuji untuk aktivitas insektisidanya. Tetapi yang telah digunakan tidak lebih dari 500 jenis saja dewasa ini. Semua produk organophosphate tersebut berefek toksik bila tertelan, dimana hal ini sama dengan tujuan penggunaannya untuk membunuh serangga. Beberapa jenis insektisida digunakan untuk keperluan medis misalnya fisostigmin, edroprium dan neostigmin yang digunakan utuk aktivitas kholinomimetik (efek seperti asetyl kholin). Obat tersebut digunakan untuk pengobatan gangguan neuromuskuler seperti myastinea gravis. Fisostigmin juga digunakan untuk antidotum pengobatan toksisitas ingesti dari substansi antikholinergik (mis: trisyklik anti depressant, atrophin dan sebagainya). Fisostigmin, ekotiopat iodide dan organophosphorus juga berefek langsung untuk mengobati glaucoma pada mata yaitu untuk mengurangi tekanan intraokuler pada bola mata .
1) struktur komponen organophosphate
Organophosphat disintesis pertama di Jerman pada awal perang dunia ke II. Bahan tersebut digunakan untuk gas saraf sesuai dengan tujuannya sebagai insektisida. Pada awal synthesisnya diproduksi senyawa tetraethyl pyrophosphate (TEPP), parathion dan schordan yang sangat efektif sebagai insektisida, tetapi juga cukup toksik terhadap mamalia. Penelitian berkembang terus dan ditemukan komponen yang poten terhadap insekta tetapi kurang toksik terhadap orang (mis: malathion), tetapi masih sangat toksik terhadap insekta .
Tabel 2. Struktur Kimia organophosphate
Nama Structure

Tetraethylpyrophosphate (TEPP)

Parathion

Malathion

Sarin


2) Mekanisme toksisitas
Organophosphat adalah insektisida yang paling toksik diantara jenis pestisida lainnya dan sering menyebabkan keracunan pada orang. Termakan hanya dalam jumlah sedikit saja dapat menyebabkan kematian, tetapi diperlukan lebih dari beberapa mg untuk dapat menyebabkan kematian pada orang dewasa. Organofosfat menghambat aksi pseudokholinesterase dalam plasma dan kholinesterase dalam sel darah merah dan pada sinapsisnya. Enzim tersebut secara normal menghidrolisis asetylcholin menjadi asetat dan kholin. Pada saat enzim dihambat, mengakibatkan jumlah asetylkholin meningkat dan berikatan dengan reseptor muskarinik dan nikotinik pada system saraf pusat dan perifer. Hal tersebut menyebabkan timbulnya gejala keracunan yang berpengaruh pada seluruh bagian tubuh .

Penghambatan kerja enzim terjadi karena organophosphate melakukan fosforilasi enzim tersebut dalam bentuk komponen yang stabil.


3) Gejala keracunan
Gejala keracunan organofosfat sangat bervariasi. Setiap gejala yang timbul sangat bergantung pada adanya stimilasi asetilkholin persisten atau depresi yang diikuti oleh stimulasi.saraf pusat maupun perifer .
Tabel 4. Efek muskarinik, nikotinik dan saraf pusat pada toksisitas organofosfat.
Efek Gejala
1. Muskarinik - Salivasi, lacrimasi, urinasi dan diaree (SLUD)
- Kejang perut
- Nausea dan vomitus
- Bradicardia
- Miosis
- Berkeringat
Efek Gejala
2. nikotinik - Pegal-pegal, lemah
- Tremor
- Paralysis
- Dyspnea
- Tachicardia


3. sistem saraf pusat - Bingung, gelisah, insomnia, neurosis
- Sakit kepala
- Emosi tidak stabil
- Bicara terbata-bata
- Kelemahan umum
- Convulsi
- Depresi respirasi dan gangguan jantung
- Koma

Gejala awal seperti SLUD terjadi pada keracunan organofosfat secara akut karena terjadinya stimulasi reseptor muskarinik sehingga kandungan asetil kholin dalam darah meningkat pada mata dan otot polos .
d. Pestisida Organochlorin
Pestisida Organoklorin atau biasa disebut juga sebagai hidrokarbon berklorin, merupakan jenis pestisida yang tidak mudah larut dalam air, namun mudah larut dalam minyak. Pestisida organoklorin merupakan jenis pestisida yang tidak mudah terurai di alam setelah digunakan, penggunaan pestisida organoklorin telah dilarang oleh pemerintah sejak tahun 1971 karena sifatnya yang persisten sehingga akan dapat menimbulkan dampak negative yang besar tehadap lingkungan dan mahluk hidup sekitarnya. Organokhlorin atau disebut “Chlorinated hydrocarbon” terdiri dari beberapa kelompok yang diklasifikasi menurut bentuk kimianya .
Tabel 5. Klasifikasi insektisida organokhlorin
Kelompok Komponen
Cyclodienes Aldrin, Chlordan, Dieldrin, Heptachlor, endrin, Toxaphen, Kepon, Mirex.
Hexachlorocyclohexan Lindane
Derivat Chlorinated-ethan DDT

Contoh di atas dapat digolongkan sebagai senyawa aktif yang terkandung pada jenis-jenis pestisida organoklorin dengan toksisitas yang berbeda.
Berdasarkan Toksisitasnya dapat digolongkan sebagai berikut:
1) sangat toksik : aldrin, endosulfan, dieldrin
2) toksik sederhana : Clordane, DDT,lindane, heptaklor
3) kurang toksik : Benzane hexacloride (BHC)
Keracunan karena senyawa organoklorin seringkali terjadi, pada umunya keracuan terjadi karena adanya kontak secara langsung dengan racun jenis ini. Apabila keracunan, pada umumnya racun ini langsung menyerang pada syaraf pusat yang dapat menyebabkan kejang ataupun bisa menyebabkan koma, sesak nafas, serta bisa juga berujung pada maut .
.
2. DDT (Dichloro Diphenyl Trichlorethane)
a. Tinjauan Teori Tentang DDT
DDT (Dichloro Diphenyl Trichlorethane) adalah insektisida “tempo dulu” yang pernah disanjung “setinggi langit” karena jasa-jasanya dalam penanggulangan berbagai penyakit yang ditularkan vektor serangga. Tetapi kini penggunaan DDT di banyak negara di dunia terutama di Amerika Utara, Eropah Barat dan juga di Indonesia telah dilarang. Namun karena persistensi DDT dalam lingkungan sangat lama, permasalahan DDT masih akan ber¬lang¬sung pada abad 21 sekarang ini. Adanya sisa (residu) insektisida ini di tanah dan perairan dari penggunaan masa lalu dan adanya bahan DDT sisa yang belum digunakan dan masih tersimpan di gudang tempat penyimpanan di selurun dunia (termasuk di Indonesia) kini meng¬hantui mahluk hidup di bumi .
Bahan racun DDT sangat persisten (tahan lama, berpuluh-puluh tahun, bahkan mungkin sampai 100 tahun atau lebih), bertahan dalam lingkungan hidup sambil meracuni ekosistem tanpa dapat didegradasi secara fisik maupun biologis, sehingga kini dan di masa mendatang kita masih terus mewaspadai akibat-akibat buruk yang diduga dapat ditimbulkan oleh keracunan DDT .
DDT pertama kali disintesis oleh Zeidler pada tahun 1873 tapi sifat insekti¬sidalnya baru ditemukan oleh Dr Paul Mueller pada tahun 1939. Penggunaan DDT menjadi sangat populer selama Perang Dunia II, terutama untuk penanggulangan penyakit malaria, tifus dan berbagai penyakit lain yang ditularkan oleh nyamuk, lalat dan kutu. Di India, pada tahun 1960 kematian oleh malaria mencapai 500.000 orang turun menjadi 1000 orang pada tahun 1970. WHO memperkirakan bahwa DDT selama Perang Dunia II telah menyelamatkan sekitar 25 juta jiwa terutama dari ancaman malaria dan tifus, sehingga Paul Mueller dianugerahi hadiah Nobel dalam ilmu kedokteran dan fisiologi pada tahun 1948 .
b. Sejarah DDT
DDT adalah insektisida paling ampuh yang pernah ditemukan dan digunakan manusia dalam membunuh serangga tetapi juga paling berbahaya bagi umat manusia manusia sehingga dijuluki “The Most Famous and Infamous Insecticide ”.
Pada tahun 1962 Rachel Carson dalam bukunya yang terkenal, Silenty Spring menjuluki DDT sebagai obat yang membawa kematian bagi kehidupan di bumi. Demikian berbahayanya DDT bagi kehidupan di bumi sehingga atas rekomendasi EPA (Environmental Protection Agency) Amerika Serikat pada tahun 1972 DDT dilarang digunakan terhitung 1 Januari 1973. Pengaruh buruk DDT terhadap lingkungan sudah mulai tampak sejak awal penggunaannya pada tahun 1940-an, dengan menurunnya populasi burung elang sampai hampir punah di Amerika Serikat. Dari pengamatan ternyata elang terkontaminasi DDT dari makanannya (terutama ikan sebagai mangsanya) yang tercemar DDT. DDT menyebabkan cang¬kang telur elang menjadi sangat rapuh sehingga rusak jika dieram. Dari segi bahayanya, oleh EPA DDT digolongkan dalam bahan racun PBT (persistent, bioaccumulative, and toxic) material .
c. Sifat kimiawi dan fisik DDT
Senyawa yang terdiri atas bentuk-bentuk isomer dari 1,1,1-trichloro-2,2-bis-(p-chlorophenyl) ethane yang secara awam disebut juga Dichoro Diphenyl Trichlorethane (DDT) diproduksi dengan menyam¬purkan chloralhydrate dengan chlorobenzen e.

Gambar 3. Struktur kimia DDT .

DDT-teknis terdiri atas campuran tiga bentuk isomer DDT (65-80% p,p'-DDT, 15-21% o,p'-DDT, dan 0-4% o,o'-DDT, dan dalam jumlah yang kecil sebagai kontaminan juga terkandung DDE [1,1-dichloro-2,2- bis(p-chlorophenyl) ethylene] dan DDD [1,1-dichloro-2,2-bis(p-chlorophenyl) ethane]. DDT-teknis ini berupa tepung kristal putih tak berasa dan tak berbau. Daya larutnya sangat tinggi dalam lemak dan sebagian besar pelarut organik, tak larut dalam air, tahan terhadap asam keras dan tahan oksidasi terhasap asam permanganat .
Dua sifat buruk yang menyebabkan DDT sangat berbahaya terhadap lingkungan hidup adalah:
1) Sifat apolar DDT: ia tak larut dalam air tapi sangat larut dalam lemak. Makin larut suatu insektisida dalam lemak (semakin lipofilik) semakin tinggi sifat apolarnya. Hal ini merupakan salah satu faktor penyebab DDT sangat mudah menembus kulit
2) Sifat DDT yang sangat stabil dan persisten. Ia sukar terurai sehingga cenderung bertahan dalam lingkungan hidup, masuk rantai makanan (foodchain) melalui bahan lemak jaringan mahluk hidup. Itu sebabnya DDT bersifat bioakumulatif dan biomagnifikatif.
Karena sifatnya yang stabil dan persisten, DDT bertahan sangat lama di dalam tanah; bahkan DDT dapat terikat dengan bahan organik dalam partikel tanah .
Dalam ilmu lingkungan DDT termasuk dalam urutan ke 3 dari polutan organik yang persisten (Persistent Organic Pollutants, POP), yang memiliki sifat-sifat berikut:
1) tak terdegradasi melalui fotolisis, biologis maupun secara kimia,
2) berhalogen (biasanya klor),
3) daya larut dalam air sangat rendah,
4) sangat larut dalam lemak,
5) semivolatile,
6) di udara dapat dipindahkan oleh angin melalui jarak jauh,
7) bioakumulatif,
8) biomagnifikatif (toksisitas meningkat sepanjang rantai makanan)

C. Pembahasan
Mekanisme toksisitas dari DDT masih dalam perdebatan, wlaupun komponen kimia ini sudah disinthesis sejak tahun 1874. Tetapi pada dasarnya pengaruh toksiknya terfokus pada neurotoksin dan pada otak. Saraf sensorik dan serabut saraf motorik serta kortek motorik adalah merupakan target toksisitas tersebut. Dilain pihak bila terjadi efek keracunan perubahan patologiknya tidaklah nyata. Bila seseorang menelan DDT sekitar 10mg/Kg akan dapat menyebabkan keracunan, hal tersebut terjadi dalam waktu beberapa jam. Perkiraan LD50 untuk manusia adalah 300-500 mg/Kg.
Akibat lain dari penggunaan DDT, banyak binatang dalam mata rantai makanan yang panjang akan terkena dampaknya. Proses mata rantai makanan dari satu hewan ke hewan lain yang mengakumulasi zat DDT akan ikut tercemar zat DTT, termasuk pada manusia. DDT yang telah masuk ke dalam tubuh kemudian larut dalam lemak, terakumulasi sepanjang waktu hingga mengakibatkan efek negatif.
Penggunaan DDT berdampak pada biological magnification (pembesaran biologis) pada organisme sehingga dapat merusak jaringan tubuh setiap makhluk hidup yang secara perlahan dapat menyebabkan penyakit kanker, dapat menimbulkan otot kejang hingga kelumpuhan, serta dapat menghambat proses pengapuran dinding telur pada hewan bertelur yang mengakibatkan telur itu tidak dapat menetas.
Di Amerika Serikat, DDT masih terdapat dalam tanah, air dan udara: kandungan DDT dalam tanah berkisar sekitar 0.18 sampai 5.86 parts per million (ppm), sedangkan sampel udara menunjukkan kandungan DDT 0.00001 sampai 1.56 microgram per meter kubik udara (ug/m3), dan di perairan (danau) kandungan DDT dan DDE pada taraf 0.001 microgram per liter (ug/L). Gejala keracunan akut pada manusia adalah paraestesia, tremor, sakit kepala, keletihan dan muntah. Efek keracunan kronis DDT adalah kerusakan sel-sel hati, ginjal, sistem saraf, system imunitas dan sistem reproduksi. Efek keracunan kronis pada unggas sangat jelas antara lain terjadinya penipisan cangkang telur dan demaskulinisasi
DDT dihentikan penggunaannya sejak tahun 1972, tetapi penggunaannya masih berlangsung sampai beberapa tahun kemudian, bahkan sampai sekarang residu DDT masih dapat terdeteksi. Sejak tidak digunakan lagi (1973) kandungan DDT dalam tanaman semakin menurun. Pada tahun 1981 rata-rata DDT dalam bahan makanan yang termakan oleh manusia adalah 32-6 mg/kg/hari, terbanyak dari umbi-umbian dan dedaunan. DDT ditemukan juga dalam daging, ikan dan unggas.

D. Penutup
1. Kesimpulan
Meskipun DDT telah dilarang penggunaannya, namun sebagian masyarakat masih menggunakannya baik itu untuk kebutuhan pertanian, dalam hal bidang kesehatan (membasmi nyamuk) dan sebagainya. Hal ini karena daya efektifitas DDT dalam membunuh hama-hama serangga dalam waktu singkat.
DDT disatu sisi memang efektif dalam membasmi hama-hama serangangga, namun lebih banyak dampak negatifnya daripada manfaatnya.
2. Saran
Berdasarkan uraian di atas, penulis menyarankan agar sosialisasi bahaya penggunaan DDT lebih ditingkatkan. Uraian di atas juga menyampaikan mengenai dampak jangka panjang penggunaan DDT sehingga harus dilakukan upaya penanggulangannya di berbagai wilayah. Disamping itu, perlu dilakukan penemuan alternatif-alternatif lain untuk menggantikan DDT sebagai pestisida yang efektif dan tidak membahayakan. Dalam hal ini dibutuhkan kerjasama dari berbagai pihak yang berkompeten terutama dari bidang pertanian, peternakan, kedokteran hewan, dan kesehatan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Frank C. Lu. 1995, Toksikologi Dasar (Azas, Organ Sasaran dan Penilaian Resiko) Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia
Riza V.T. dan gayatri. 1994. “Ingatlah Bahaya Pestisida : Residu Pestisida dan Alternatifnya” Bunga Rampai Press.
Sumarwoto, et al. 1978. Residu Pestisida dalam Hasil Pertanian, Seminar Pengendalian Pencemaran Air.
Tarumingkeng, R.C. 1992. Insektisida: Sifat, Mekanisme Kerja dan Dampak Penggunaannya. UKRIDA Press
Untung K. 1993. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

TEKNOLOGI PENGOLAHAN SUSU DAN PEMBUATAN YOGHURT,KEJU dan MENTEGA

PENDAHULUAN

Susu segar merupakan bahan makanan yang bergizi tinggi karena mengandung zat-zat makanan yang lengkap dan seimbang seperti protein, lemak, karbohidrat, mineral, dan vitamin yang sangat dibutuhkan oleh manusia. Nilai gizinya yang tinggi juga menyebabkan susu merupakan medium yang sangat disukai oleh mikrooganisme untuk pertumbuhan dan perkembangannya sehingga dalam waktu yang sangat singkat susu menjadi tidak layak dikonsumsi bila tidak ditangani secara benar..

Proses pengolahan susu bertujuan untuk memperoleh susu yang beraneka ragam, berkualitas tinggi, berkadar gizi tinggi, tahan simpan, mempermudah pemasaran dan transportasi, sekaligus meningkatkan nilai tukar dan daya guna bahan mentahnya. Proses pengolahan susu selalu berkembang sejalan dengan berkembangnya ilmu dibidang tekologi pangan. Dengan demikian semakin lama akan semakin banyak jenis produk susu yang dikenal. Hal ini sangat menggembirakan dan merupakan langkah yang sangat tepat untuk mengimbangi laju permintaan pasar.

ISI

  1. TEKNOLOGI PENGOLAHAN SUSU

Dari perkembangan teknologi pengolahan susu maka di dapatkan berbagai produk pangan asal dari susu sapi , antara lain yaitu:

  • Yoghurt adalah produk yang diperoleh dari susu yang telah dipasteurisasi kemudian difermentasi dengan bakteri tertentu sampai diperoleh keasaman, bau dan rasa yang khas, dengan atau tanpa penambahan bahan lain yang diizinkan.
  • Karamel adalah kembang gula yang mempunyai tekstur lunak dan merupakan produk susu.
  • susu penuh kental manis (Sweetened Condensed Whole Milk), ialah susu yang sesudah dicampur dengan gula (sakarosa), kemudian dilakukan pemanasan atau pemekatan di dalam kaleng-kaleng tertutup selama beberapa waktu pada suhu sekurang-kurangnya 100OC.
  • Butter atau mentega dari susu adalah suatu masa dari susu hasil penumbukan (churring) krim atau susu segar (whole milk).
  • Keju adalah suatu substansi yang dibentuk oleh koagulasi atau penggumpalan susu hewan menyusui oleh rennet atau oleh semacam enzim proteolitik.
  • Kefir juga merupakan susu asam seperti yoghurt, namun rasanya lebih segar karena selain asam juga sedikit terasa alkohol dan soda.
  • Es krim merupakan suatu produk makanan beku yang dibuat dari campuaran produk susu, bahan kering tanpa lemak ditambah gula, bahan penyedap, bahan penstabil, kuning telur, dengan atau tanpa buah-buahan dan kacang-kacangan dengan kadar lemak minimal 8%.

Penyebaran produksi susu akan lebih mempercepat perbaikan gizi masyarakat. Dengan penyebaran ilmu pengolahan teknologi pengolahan susu hingga pelosok desa akan menopang penggunaan pengolahan susu pasteurisasi. Teknologi pengolahan susu yang telah dikenal rakyat seperti pengolahan dadih dan danke di Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan dapat mempercepat dan merupakan cikal bakal diversifikasi penggunaan susu.

Diversifikasi air susu sapi ini bisa dikelola secara home industry maupun secara besar-besaran, dan sudah barang tentu untuk yang kedua ini diperlukan peralatan yang serba praktis dan modern, agar diperoleh hasil yang maksimal.

  1. PEMBUATAN MENTEGA DARI SUSU

Mentega adalah produk olahan susu yang bersifat plastis, diperoleh melalui proses pengocokan (Churning) sejumlah krim. Mentega yang baik harus mengandung lemak minimal 80%. Kadar air maksimal 16%, kadar protein maksimal 1% dan MSNF (Milk Solids-Non-Fat) tidak lebih dari 2 %. Warna kuning pada mentega disebabkan oleh zat warna β karoten dalam krim. Nilai gizi mentega banyak tergantung pada kandungan lemak dan vitamin-vitamin yang larut dalam lemak. Mentega merupakan sumber vitamin A yang sangat baik dan merupakan makanan yang berenergi tinggi (7-9 kalori/g), tidak mengandung laktosa dan mineral serta berprotein rendah

PROSES PEMBUATAN MENTEGA DARI SUSU

Bahan dan alat :

Susu murni

Separator, adukan, Termometer.

Cara Pembuatan mentega :

1. Kepala susu yang telah dipisahkan lalu dipasteurisasi pada suhu 70 C selama 30 menit atau pada 80øC selama 1 menit. Kemudian didinginkan hingga mencapai suhukamar.

2. Tambahkan starter sebanyak 3% dan diaduk hingga rata. Biarkan pada suhu kamar hingga kepala susu menjadi asam biasanya memerlukan waktu sekitar 6 jam, dan disimpan dalam lemari es, didinginkan hingga suhu mencapai ñ 4øC.

3. Setelah dingin dan kental lalu ditumbuk (churned) untuk memisahkan bahan mentega dari susu tumbuknya (buttermilk). Bahan mentega dicuci dengan air dingin (air es) beberapa kali untuk membersihkan sisa-sisa susu tumbuk.

4. Kemudian bahan mentega yang masih tinggi kadar airnya itu diuli untuk mengeluarkan air yang berlebih, dan mengkompakkan butir-butir mentega menjadi suatu massa yang lebih padat (kompak). Kadar air yang diperlukan dalam mentega sekitar 16-17%. Pengulian dilakukan beberapa kali hingga kadar air yang dipersyaratkan tercapai.

5. Setelah kadar air memenuhi, lalu ditambah garam (garam halus), 0,5-2% diaduk hingga rata. Setelah selesai penggaraman mentega dibungkus. Warna mentega alami didapat, karena makanan hijauan yang banyak mengandung carotene yang berwarna kuning dan larut dalam lemak.

  1. PEMBUATAN KEJU DARI SUSU

Prinsip pembuatan keju adalah fermentasi asam laktat yang terdapat dalam susu.Proses pembuatan keju diawali dengan memanaskan/pasteurisasi susu, kecuali pada jenis2 keju tertentu seperti Emmentaler dari Swiss yang menggunakan susu mentah. Kemudian zat pembantu penggumpalan (rennet, sejenis enzim penggumpal yang biasa terdapat dalam lambung sapi dan/atau bakteri yang dapat mengasamkan susu) ditambahkan.

Setelah setengah sampai 5 jam, susu akan menggumpal sehingga terpisah menjadi sebuah gumpalan besar (curd) dan bagian yang cair (whey). Gumpalan ini dipotong-potong menjadi bagian-bagian yang sama besar, agar bagian yang cair (whey) semakin banyak yang keluar. Semakin kecil potongan, semakin sedikit cairan yang dikandung oleh keju nantinya, sehingga keju semakin keras.Potongan-potongan ini kemudian diaduk, dipanaskan, dan kadang dipress untuk menghilangkan lebih banyak lagi cairan.

Setelah itu, bakal keju yang masih lunak itu dibubuhi jamur dan dibentuk. Lalu diolesi atau direndam dalam air garam untuk membunuh bakteri merugikan yang mungkin terdapat di dalamnya. Ada juga jenis keju yang direndam sebelum diberi jamur.Terakhir, bakal keju dimatangkan dalam kondisi tertentu. Semakin lama dimatangkan, keju akan semakin keras

PROSES PEMBUATAN KEJU DARI SUSU

Bahan dan alat :

1 galon susu murni (bukan ultra-dipasteurisasi)

1 / 4 tablet Rennet

1 / 4 cup air dingin (klorin gratis)

2 t. asam sitrat

1-2 t. keju garam

Stock Pot (bukan aluminium)

Sendok stainless steel

Mangkuk microwave

Microwave

Thermometer

Cara pembuatan keju :

1. Crush 1 / 4 tablet Rennet dalam 1 / 4 cup air dingin dan sisihkan.

2. Tempatkan saham baja stainless panci di atas kompor dan tuangkan dalam galon susu. Hidupkan kompor ke api sedang.

3. Taburkan 2 sendok teh asam sitrat dalam susu dan aduk perlahan-lahan susu sampai suhu 88 derajat.

4. Setelah mencapai 88 derajat, tambahkan campuran Rennet dan air. Aduk perlahan dan kadang-kadang sampai mencapai 105 derajat. Matikan api. Anda harus melihat keju dan whey memisah.

5. Terbentuklah keju yang berbentuk padat.

  1. PEMBUATAN YOGHURT DARI SUSU

Yoghurt adalah produk yang diperoleh dari susu yang telah dipasteurisasi kemudian difermentasi dengan bakteri tertentu sampai diperoleh keasaman, bau dan rasa yang khas, dengan atau tanpa penambahan bahan lain yang diizinkan. Persyaratan yoghurt menurut SNI (1995) adalah dengan penampakan kental-semi padat, bau dan rasa yang normal serta memiliki kandungan lemak maks. 3,8%, BKTL min. 8,2, Protein min. 3,5, Abu min. 1,0 dan Jumlah asam laktat 0,5-2,0% (b/b). Yoghurt harus memiliki kandungan lemak susu minimal 3,0%, Bahan Kering Tanpa Lemak (BKTL) min. 8,2% (b/b), sedangkan yoghurt dengan sebagian skim harus memiliki kandungan lemak min. 0,5% (b/b) dan yoghurt yang dibuat dengan susu skim harus memiliki kandungan lemak maks. 0,5% (b/b) (Codex, 1975). Bakteri yoghurt, Lactobacillus delbrueckii subsp. bulgaricus dan Streptococcus thermophilus atau beberapa bakteri asam laktat lain seperti Leuconostoc messenteroides, Lactococcus lactis, Lactobacillus acidophilus, Bifidobacteria dan species lainnya secara alami terdapat dalam susu atau sengaja ditambahkan sebagai kultur starter sebanyak 2-5%. Suhu fermentasi optimum adalah 42-45°C selama 3-6 jam, hingga dicapai pH 4,4 dan kadar asam tertitrasi mencapai 0,9-1,2%.

PROSES PEMBUATAN YOGHURT DARI SUSU

Bahan:

- Susu sapi atau susu bubuk

- Bakteri starter lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus

- Flavour buatan (bila perlu)

- Gula atau sirup (bila perlu)

Alat:

- panci email

- kompor

- alat pengaduk

- inkubator (bila tersedia)

Cara pembuatan yoghurt :

Susu murni à Diencerkan dengan air hangat à Dipanaskan sampai mendidih à + susu skim bubuk à + gula 6-8% dari susu segar à Diaduk dengan rata à Didinginkan hingga mencapai 45 C à + bakteri starter yoghurt à Dimasukkan ke dalam botol à steril atau gelas plastik à inkubasi 12-14 jam pada susu ruang à YOGHURT

DAFTAR PUSTAKA

Astawan M. W. dan M. Astawan, 1989. Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Tepat Guna. Akademi Presindo. Jakarta

Buckle, K.A., R. A. Edwards, G.H. Fleet and M. Woolton., 1987. Ilmu Pangan. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta

http://library.usu.ac.id/download/fp/ternak-eniza.pdf.

Minggu, 09 Mei 2010

KANDUNGAN UBI JALAR YANG MENCENGANGKAN!!!


Ubi jalar ( Ipomea batatas L.) merupakan tanaman sumber karbohidrat , selain itu juga merupakan sumber vitamin dan mineral. Diharapkan dengan mengkonsumsi ubi jalar sebagai makanan tambahan dapat meningkatkan konsumsi vitamin A dan C lebih banyak (Mahmud,1980).

Konsumsi ubi jalar sebagai pangan, sebagian besar dilakukan dengan cara disantap dari pemasakan ubi segar. Keragaman-keragaman kecil dilakukan dengan perubahan bentuk atau penambahan bumbu seperti ubi rebus, ubi goreng, kolak dan keripik. Filipina telah mengembangkan produk olahan ubi jalar menjadi berbagai produk seperti manisan, asinan, jam, sari buah dan berbagai jenis minuman pada tingkat komersial (Truong, 1986).

Pati merupakan bagian terbesar dalam ubi jalar dan amilopektin merupakan bagian terbesar dari pati ubi jalar. Langlois and Wagoner ( 1967) menyatakan bahwa kandungan amilosa pati ubi jalar sebesar 17,8 % sedangkan menurut Onwueme (1978), fraksi pati pada ubi jalar terdiri atas seperempat bagian amilosa dan tigaperempat bagian amilopektin.

Pantastico (1986) menyatakan, bahwa pada ubi jalar basah yang berdaging lunak kandungan patinya antara 13-20 %, sedangkan pada jenis yang lebih kering, umbinya lebih kompak mengandung 18-25 % zat pati. Jenis ubi jalar yang berwarna putih mengandung kadar air yang lebih sedikit daripada yang berwarna merah. Varietas ubi jalar yang berwarna kuning tidak semanis varietas yang berwarna putih tetapi memiliki bau dan rasa serta sifat-sifat yang baik untuk dimasak. Jumlah kandungan gizi ubi jalar dalam 100 gram bahan yang dapat dimakan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan gizi ubi jalar setiap 100 gram bahan yang dapat dimakan

Komponen

Ubi Jalar Merah

Ubi Jalar Putih

Air (g)

Kalori (kal)

Protein (g)

Lemak

Karbohidrat (g)

Kalsium (mg)

Fosfor (mg)

Zat Besi (mg)

Vitamin A (Iu)

Vitamin B1 (mg)

Vitamin C (mg)

Bagian Yang Dapat Dimakan (g)

68,5

123

1,8

0,7

27,90

30,00

49,00

0,70

7700,00

0,09

22,00

86,00

68,5

123

1,8

0,7

27,90

30,00

49,00

0,70

60,00

0,09

22,00

86,00

Sumber : Rukmana (1997)

Selain mengandung zat gizi yang sangat diperlukan oleh tubuh, ubi jalar juga mengandung zat anti gizi tripsin inhibitor dengan jumlah 0,26 %;43,6 IU per 100 gram ubi jalar segar ( Bradbury, 1985). Tripsin inhibitor tersebut akan menutup gugus aktif enzim tripsin sehingga aktivitas enzim tersebut terhambat dan tidak dapat melakukan fungsinya sebagai pemecah protein. Namun demikian, aktivitas tripsin inhibitor tersebut dapat dihilangkan dengan pengolahan sederhana yakni dengan cara pengukusan, perebusan dan pemasakan ( Bradbury and Halloway, 1988).

Senyawa lain yang tidak menguntungkan pada ubi jalar adalah senyawa-senyawa penyebab flatulensi, namun senyawa tersebut belum teridentifikasi secara jelas. Flatulensi dapat disebabkan oleh senyawa karbohidrat yang tidak tercerna yang difermentasi oleh bakteri tertentu dalam usus sehingga menghasilkan gas H2 dan CO2. Diduga flatulensi disebakan oleh karbohidrat jenis rafinosa, stakios dan verbaskosa (Palmer, 1982).

Produktivitas ubi jalar cukup tinggi dibandingkan dengan padi. Ubi jalar dengan masa panen 4 bulan dapat menghasilkan produk lebih dari 30 ton/Ha, tergantung dari bibit, sifat tanah dan pemeliharaannya. Walaupun saat ini rata-rata produktivitas ubi jalar nasional baru mencapai 12 ton/Ha, tetapi jumlah ini masih lebih besar, jika kita bandingkan dengan produktivitas padi (+/-4.5 ton/Ha). Selain itu, masa tanam ubi jalar juga lebih singkat dibandingkan dengan padi.

Karbohidrat yang dikandung ubi jalar masuk dalam klasifikasi Low Glycemix Index (LGI, 54), artinya komoditi ini sangat cocok untuk penderita diabetes. Mengonsumsi ubi jalar tidak secara drastis menaikkan gula darah, berbeda halnya dengan sifat karbohidrat dengan Glycemix index tinggi, seperti beras dan jagung.Sebagian besar serat ubi jalar merah merupakan serat larut, yang menyerap kelebihan lemak/kolesterol darah, sehingga kadar lemak/kolesterol dalam darah tetap aman terkendali. Kandungan karotenoid (betakaroten) pada ubi jalar, dapat berfungsi sebagai antioksidan. Antioksidan yang tersimpan dalam ubi jalar merah mampu menghalangi laju perusakan sel oleh radikal bebas. Kombinasi betakaroten dan vitamin E dalam ubi jalar bekerja sama menghalau stroke dan serangan jantung. Betakarotennya mencegah stroke sementara vitamin E mecegah terjadinya penyumbatan dalam saluran pembuluh darah, sehingga dapat mencegah munculnya serangan jantung.

Dengan perkembangan ilmu dan teknologi, ubi jalar dapat digunakan untuk beberapa keperluan terutama setelah ditemukan metode pengolahan hasil atau pasca panen yang lebih lebih baik. Penelitian ke arah pemanfaatan ubi jalar secara luas di Indonesia telah banyak dilakukan. Thenawidjaya (1976) telah mencoba membuat tepung ubi jalar, Setyawati (1981) dan Kadarisman (1985) meneliti tentang pembuatan pati/tepung ubi jalar. Balai besar Industri hasil Pertanian (BBIHP) Bogor juga telah mencoba meneliti pembuatan tepung dan pemanfaatannya dalam pembuatan beberapa produk. Purnomo et al (2000) telah mengembangkan tepung ubi jalar termodifikasi menggunakan enzim alpha-amilase yang ditujukan untuk memproduksi pati atau tepung ubi jalar termdofikasi sebagai ingredient pangan Sementara Anwar, et al (1993) mencoba pemanfaatan tepung ubi jalar dalam pembuatan produk-produk roti, cookies dan biskuit dengan hasil yang cukup memuaskan. Produk-produk dari tepung ubi jalar ternyata cukup disukai oleh konsumen. (sumber dari : om lordbroken)

Nah untuk anda yang belum terbiasa dgn menu ubi jalar silahkan klik di sini sebagai referensi anda. semoga bermanfaat. dan untuk mengetahui manfaat ubi jalar silahkan Klik disini

Rabu, 05 Mei 2010

TANAH PASIR BISA PRODUKTIF???


Hasil penelitian Syamsul A Siradz dan Siti Kabirun, mahasiswa Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, pada 2003 menyebutkan, lahan pasir pantai DIY yang luasnya mencapai 13.000 hektar memang miskin unsur hara. Di Kulon Progo luas lahan pasir mencapai 4.434 ha.

Kandungan hara lahan pasir hanya terbatas pada fosfor yang jumlahnya sangat sedikit (5,1-20,5 ppm). Sementara itu, bahan-bahan organik lain hanya 0,4-0,8 persen, natrium 0,05-0,08 persen, dan kalium 0,09-0,2 persen.

Temperatur permukaan lahan pasir juga amat tinggi, rata-rata di atas 30 derajat celsius. Embusan angin kencang juga mendukung penguapan air di pantai. Karakter lahan semacam ini sangat tidak menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman.
pertengahan 1985, Sukarman, pemuda Desa Bugel, Panjatan, itu tak sengaja menemukan cara mengolah lahan itu.

Kotoran sapi

Ditemui di kediamannya, Jumat (26/3), Sukarman menceritakan, pengetahuan itu didapat dari hasil mengamati sejumlah batang tanaman cabai merah yang hidup di atas kotoran sapi kering bercampur pasir pantai. ”Dari situ saya berpikir untuk mencoba menanam cabai di atas lahan pasir,” ujarnya.

Eksperimen perdana dilakukan dengan menanam bibit cabai di atas lahan pasir seluas 200 meter. Ladang garapan Sukarman berjarak sekitar 50 meter dari bibir pantai.

Sebelum menanam, alumni Akademi Perindustrian Yogyakarta ini mencampur pasir dengan kotoran sapi. Tanaman cabai dapat tumbuh, tetapi banyak juga yang layu akibat kekurangan air. Setiap hari Sukarman harus menggotong air tawar dari sumur di desa.

”Sekali waktu saya lelah menggotong air, lalu iseng menggali pasir. Ternyata saya mendapatkan air. Sampai kedalaman sekitar 3 meter, air seperti memancar,” kenangnya.

Air dari resapan Sungai Progo tersebut kemudian dialirkan Sukarman ke dalam bak-bak penampungan berbentuk buis (lingkaran) dari bahan cor semen-cikal bakal irigasi ”sumur renteng”.

Sukarman hanya butuh waktu 3 bulan untuk membuktikan keberhasilan pertanian lahan pasir. Ia ingat jumlah panen cabai merah perdana, 17 kilogram. Satu demi satu tetangganya mulai mengikuti usahanya.

Kini, sekitar 6.000 keluarga di 10 desa pesisir Kulon Progo, mulai dari Pantai Trisik hingga Congot, menjadikan pertanian lahan pasir berstatus milik Keraton Paku Alam (Paku Alam Ground) sebagai mata pencaharian utama. Lahan itu juga bisa ditanami semangka, melon, sawi, terung, kentang, jagung.

Dengan luas kepemilikan lahan rata-rata 0,2 ha, setiap keluarga bisa mendapat pendapatan panen minimal Rp 5 juta per tiga bulan. Cabai merah dipetik 1-2 kali per minggu dengan tingkat produktivitas 1 ton untuk lahan 0,2 ha. Harga cabai merah rata-rata Rp 7.000 per kilogram.

Padahal, kata Supriyadi, Ketua Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo, tanaman cabai merah bisa tahan hingga 20 kali petik jika pupuk kandang diberikan intensif.

Kesuksesan pertanian lahan pasir juga menarik minat kalangan akademisi. Dja’far Shiddieq, ahli Ilmu Tanah Fakultas Pertanian UGM adalah salah satu peneliti yang aktif mendatangi pesisir Kulon Progo sejak tahun 1996. Ia kerap membawa mahasiswa belajar sistem pertanian lahan pasir itu langsung dengan petani. Terakhir, ia membawa sekitar 30 mahasiswa dan dosen asing.

Inovasi terbaru yang dilakukan Dja’far adalah menambah lapisan bentonit pada berbagai variasi kedalaman lahan, mulai dari 15 sampai 45 sentimeter. Bentonit bersifat kedap menahan kandungan air lebih lama di lahan pasir. Produktivitas pun pertanian naik 20-25 persen.

Selain itu petani lahan pasir juga menerapkan penggunaan mulsa plastik dan jerami untuk mengurangi penguapan. Dengan demikian, kelengasan tanah benar-benar terjaga dan akar tanaman bisa menyerap air dengan lebih baik.

”Penggunaan mulsa juga mengurangi perkembangbiakan hama dan gulma. Kami tidak perlu lagi menggunakan obat-obatan kimia beracun,” kata Sumanto.

Untuk menghalau tiupan angin kencang yang membawa uap garam, petani memagari lahan garapan mereka dengan pelepah daun kelapa. Sejumlah petani mulai menanam cemara udang. Tanaman berdaun jarum ini juga menjaga permukiman warga dari badai dan tsunami.

Pertanian terpadu

Tidak hanya bermanfaat bagi manusia, pertanian lahan pasir juga bermanfaat bagi ternak. Sisa tanaman pascapanen bisa diolah menjadi pakan ternak. Sebuah siklus terbentuk: limbah pertanian dimanfaatkan ternak dan limbah peternakan berupa kotoran hewan diolah menjadi pupuk kandang.

Dja’far menyebut siklus ini sebagai wujud nyata dari sistem pertanian terpadu sekaligus pertanian organik. ”Pertanian terpadu amat ramah lingkungan, nyaris tak ada limbah terbuang. Zero waste,” kata Dja’far.

sumber dari : kompas cetak